Argentina dipenuhi dengan pemain-pemain kelas wahid. Bukan hanya mereka yang sekedar menghangatkan bangku cadangan klub-klub eropa, Argentina adalah gudang pemain-pemain penting bagi klubnya.
Dan Lionel Messi, pemain yang baru saja dinobatkan sebagai pemain terbaik piala Dunia Brasil beberapa jam lalu, mewakili Argentina, sedikit banyaknya menghisap kelebihan individu-individu yang dimiliki pemain-pemain argentina lainnya.
Permainan Messi sangat cantik. Mungkin ia satu-satunya penduduk dunia yang memiliki bakat, kesempatan dan kekuatan untuk itu.
Tapi masalah terdapat pada tekanan psikologis yang begitu besar. Tekanan ini mungkin hanya ia yang memilikinya, berbeda dengan puluhan milyar penduduk bumi lainnya. Mungkin hanya presiden pada masa sekarang ini saja yang memiliki daya tarik yang lebih tinggi daripada bintang-bintang sepakbola, dalam hal kinerja profesinya.
Sebagai olahraga paling digemari di seluruh dunia, semua mata memandang kepada Messi. Mungkin hanya orang AS yang memiliki olahraga “football” nya sendiri, yang nyaris tidak pernah menggunakan Foot/kaki, dengan Ball/Bola yang tidaklah bulat, saja yang tidak terlalu memandang Messi..
Meski terdapat kecenderungan kepentingan individualis pada pemain argentina, yang mungkin pada piala Dunia kali ini memikirkan bagaimana kontrak dan bayarannya di tim professional, sesuai dengan nasib Argentina sebagai Negara berkembang, yang belakangan terlibat krisis yang signifikan dalam perekonomiannya, all and all, sudah sepantasnya tekanan terhadap Messi sedikit diturunkan.
Dan pada ajang Piala Dunia kali ini Argentina beruntung memiliki Angel Di Maria, yang masih dapat mengekspresikan kelihaiannya dalam bermain bola pada level tinggi yang memecah secara sempurna konsentrasi lawan dalam mengarahkan perhatian melulu pada Messi. Ini terbukti yang tanpa Di Maria, di dua pertandingan terakhir, Argentina tidak mampu meraih kemenangan.
Dan Messi seperti menghisap kehandalan pemain-pemain Argentina lainnya dalam bermain di lapangan. Gonzalo Higuain yang prosentasi pencetakan golnya adalah salah satu yang tertinggi di dunia saat ini, misalnya, menjadi seseorang yang enggan untuk menembak kearah gawang.
Enzo Perez yang merupakan nyawa permainan di Benfica, karena dribble nya, sedikit enggan berdribble. Sergio Aguerro yang membuktikan diri di Manc. City sebagai bomber yang handal, tapi tidak mampu mencetak satu gol pun pada perhelatan piala dunia kali ini. Begitu juga Ezequiel Lavezzi yang merupakan salah satu nyawa dalam kesuksesan Paris Saint Germain merajai Liga Perancis.
Carlos Tevez yang begitu moncer atas kesuksesan Juventus di Itali dikabarkan tidak terpanggil karena gossip atas ketidakcocokannya dengan Messi.
Meski Messi terlihat sangat dewasa, tapi Messi hanyalah seorang manusia biasa.
Dikontradiksikan dengan Cristiano Ronaldo yang meramu tekanan atas harapan orang kepadanya untuk bermain baik dengan sedikit arogansi, meski sebaik apapun dirinya sendiri berdeterminasi, terlalu besar kesempurnaan yang dihadapkan kepada Messi.
Belum lagi orang-orang di belakangnya yang terlalu berpengaruh. Dan Messi dituduh sebagai penggelap pajak, sesuatu yang jauh dari fisik dan visi bermain bola. Lingkaran orang sekitarnya yang meskipun mendukungnya beribu-ribu persen tapi sedikitnya menyebabkan hal lain berjalan lurus pada sisi yang berkebalikan, bahwa kehidupan mereka masing-masing sendiri kemudian bermasala dan tidak mampu juga menahan tekanan atas pesona Messi-nya.
Dan Final Piala Dunia barusan mirip dengan final pemilihan presiden langsung yang diselenggerakan di Indonesia dengan menampilkan dua tim.
Tim Prabowo di satu sisi dan Tim Jokowi di sisi lain.
Jerman identik dengan ketegasan. Sementara Argentina, kali ini, identik dengan Messi.
Tim Prabowo dianalogikan dengan Jerman dan Messi dengan Jokowi seorang.
Tim Prabowo, sebagaimanapun apatisnya masyarakat Indonesia memandang politik, mewakili perwakilan suara sebenarnya masyarakat Indonesia.
Dan pemilihan legislative yang lalu adalah perwakilan suara masyarakat pada ide dan manifestasi yang modern mengenai demokrasi. Pada asosiasinya dengan Jerman, Prabowo,mewakili tim modern yang didukung dengan filosofi yang rasional.
Seperti yang dikatakan Franz Beckenbauer dalam menghadapi pertandingan dengan Brasil di Semifinal yang lalu yang berkesudahan dengan angka telak 7-1, yang kemudian bisa juga diletakkan dalam konteks final versus Argentina, “Tim Jerman tidak akan pernah menyamai Brasil yang memiliki bakat-bakat sepakbola, namun Jerman memiliki spirit yang tidak dimiliki bangsa lain untuk memenangkan pertandingan”. Sangatlah jauh jika menyamakan Jerman dengan Jokowi. Prabowo mewakili kebanggaan atas diri sendiri yang identik dengan spirit Bangsa Jerman.
Di atas semuanya (Uber Alles), Saya yakin, Prabowo juga akan menang pada Pemilihan presiden kali ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H