Mohon tunggu...
Febrian Arham
Febrian Arham Mohon Tunggu... pegawai negeri -

alumni DIII STAN' 04, (harusnya) DIV STAN' 08

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Sosial Media dan Calon Presiden yang Cuma 2

31 Oktober 2014   15:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:04 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertemuan Prabowo dan Jokowi serta JK kemudian, baru-baru ini, saya bayangkan, tidak lain adalah suatu bentuk konsolidasi atas tagihan-tagihan yang dibebankan kepada Prabowo selama masa kampanye yang pasti menghabiskan uang triyunan rupiah lebih.

Kata-kata langsungnya adalah : Prabowo : “ kembalikan Uang Saya”. Sementara Jokowi-JK, yang mengalami kesulitan fundamental dalam menghadapai kekuatan parlementer yang membelakangi Prabowo mengatakan : “baik!”.

Meski apapun, masalah persatuan Indonesia menjadi selesai.

Sayangnya baru-baru ini persatuan tersebut sepertinya terancam dikorup dengan adanya niat untuk menguasai parlemen juga oleh partai pendukung Jokowi dengan membuat DPR tandingan. Pun dengan adanya penangkapan seorang tukang sate karena menghina kepala pemerintahan (yang sebelumnya belum) terpilih.

Saya memilih Prabowo pada pilpres lalu. Tidak lain dan tidak bukan karena ketulusan hati saya melihat HARUS membanggakannya Negara Indonesia bagi warganya di mata dunia.

Dengan kekuatan penduduk yang besar, demokrasi yang super liberal pada masa kepemimpinan SBY, ekonomi yang berkembang, berbasis konsumsi, tanpa diketahui banyak penduduk dunia, Indonesia amat sangat tidak pantas dipimpin oleh seorang Tukul, maaf, Jokowi.

Demokrasi super liberal berbasis televisi serta social media (pengguna Twitter dan facebook 3 besar dunia) yang sebenarnya merupakan kelemahan politik, politik yang sebelumnya enggan diakui tapi merupakan bentuk ke – sophisticated – an masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari pada latar belakang SARA (Bhineka Tunggal Ika) yang beragam, diejawantahkan pada tingkat nyata di lapangan melalui social media tersebut.

Yang menyebabkan tidak ada individu yang memiliki citra cukup baik dalam politik untuk dapat disokong secara ekonomi selain 2 tokoh  yang memiliki jaringan social media dari awal, melalui kampanye Pilkada DKI Jakarta sebelumnya :  Prabowo dan Jokowi, untuk menjadi Presiden di Indonesia.

Indonesia, Negara yang sebelum perang dunia kedua bukan merupakan Negara. Negara yang sebenarnya terdiri dari berbagai Negara-negara dalam bentuk kerajaan-kerajaan yang tidak memiliki arti, selama masa kemajuan 200 tahun terakhir, dalam hubungan pergaulan global karena dikuasai “perusahaan” dan pemerintahan Belanda.

Sulit jika mengacu kepada Amerika yang telah melewati ratusan tahun mencoba demokrasi tersebut dengan berperang, membunuh satu sama lain, Termasuk  eropa yang juga merupakan Negara-negara sendiri, yang sedang mencoba konsep supra nasional pada uni eropa, maupun membagi identitas yang sama, pada Indonesia.

Dengan terpilihnya Jokowi, masyarakat Indonesia bahkan akan dapat memiliki keleluasaan yang lebih lagi berpolitik di social media mengingat tiadanya kekuatan nyata Jokowi sebagai individu.

Dan kembali kepada masa reformasi yang sesungguhnya murni berbasis atau disebabkan oleh ekonomi serta krisis kebatinan kepemimpinan  nasional, demokrasi dan desentralisasi tiba-tiba mencuat menjadi jawaban atas permasalahan tersebut.

Jawaban yang sedikit overestimated dimana akhirnya Timor-timur lepas dari Indonesia.

Berprosiklikal dengan perbaikan ekonomi dan hukum yang menjadi sedikit lebih transparan karena demokrasi liberal yang masih muda juga, Jogja kemudian berniat membentuk referendum tersendiri untuk lepas dari Negara kesatuan RI beberapa tahun setelahnya.

Mengutip Fukuyama mengenai ramalan struktur masyarakat di masa depan yaitu “smaller state, bigger market”, marjin kemenangan Jokowi yang rapuh dengan hanya keunggulan tipis atas Prabowo, dengan kemenangannya dan cara budayanya yang sungguh berbeda dibandingkan dengan masyarakat lain di Indonesia, jauh dari, misalnya seorang yang dapat saya banggakan dengan budaya saya sendiri, masyarakat yang telah belajar di demokrasi social media, mungkin, akan menjadikan Indonesia menjadi 2, 3, 4 ,5 dan akhirnya tiada nantinya.

Ketokohan Jokowi yang berbasis pada pengkultusan ketokohannya dan bukan kepercayaan masyarakat pada perwakilannya di parlemen adalah berbeda, dan bukan merupakan pesan seperti apa yang dipidatokan oleh Barrack Obama beberapa waktu lalu di Indonesia, “the transfer of power from the hands of the colonial to the hands of it’s own people” mengenai kemajuan demokrasi di Indonesia.

Orang-orang Indonesia, tanpa bersama-sama, yang mungkin tidak bisa dielakkan, akan memudahkan asing untuk berpenetrasi kepada Indonesia.

Atau sesama Indonesia menjadi asing.

Dan ada sebuah lelucon dalam pergaulan social dunia dimana laki-laki asia dan perempuan negro adalah jenis manusia yang paling tidak diinginkan oleh lawan jenis.

Laki-laki Indonesia pada penggolongan laki-laki asianya bahkan cenderung berada di tempat yang lebih rendah dibanding laki-laki asia lainnya yang berkulit lebih terang.

Ini juga yang menyebabkan logika tanpa dasar, seperti remaja-remaja asia menjadi gandrung pada K-Pop. Atau Ahok, meski sebagaimanapun busuk dan jahat otaknya, menjadi orang yang lebih dapat dipercaya dibanding laki-laki Indonesia lainnya.

Lelucon yang dalam prakteknya di pergaulan social yang di ejawantahkan sebagai “street smart” ini,  berevolusi dan sejalan dengan menjadi virtual smart pada masa sekarang.

Sementara, golongan lain manusia yang “school smart” pada umumnya tidak akan mengakui hal ini.

Faktanya street smart dan social media, yang bias, lebih penting berlaku pada kebanyakan masyarakat. Ini terwakili pada Jokowi, kemudian dielaborasi lebih mendalam pada Susi Pujianti. Menteri yang bahkan tidak lulus SMP tapi mampu menaklukkan 3 laki-laki dari “barat” sebagai suaminya.  kalau tidak mampu mengakui kerasisan manusia Indonesia dengan mengatakan mereka sebagai “bule”. Perempuan asia, yang bersama laki-laki negro berada, di kasta yang lebih tinggi di kasta penggolongan bule tersebut.

Sebenarnya tokoh perempuan tidak berpendidikan yang menjadi panutan bukanlah suatu hal yang baru dan menjadi sorotan di Indonesia. Sebelumnya ada Megawati Soekarnoputri yang menjadi Presiden Indonesia.

Jika pilihan “Atau sesama Indonesia menjadi asing” diambil, dikarenakan dominannya keputusan berdasarkan street smart dan virtual smart, maka Indonesia yang besar tanpa diketahui banyak penduduk dunia ini pasti akan menjadi semakin nyata.

Boro-boro akhirnya diperhitungkan, namanya sendiri pun bisa jadi hanya akan tinggal sejarah karena perpecahan oleh demokrasi super liberal yang semakin berkembang karena sosial media ini.

sebagai fans baru JK, harapan saya kepada beliau, sebagai pemimpin yang relatif kuat, formal maupun virtual, dalam dunia sebenarnya, yang dari sisi "school smart" pun diterima, segala macam kepentingan di Indonesia bisa disatukan secara bersama  dengan bijaksana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun