Mohon tunggu...
Febrian Arham
Febrian Arham Mohon Tunggu... pegawai negeri -

alumni DIII STAN' 04, (harusnya) DIV STAN' 08

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Wisata Human Courtesy di Jawa Tengah untuk Indonesia

13 Oktober 2014   18:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:12 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Malam itu saya berangkat ke terminal lebak bulus sendirian dengan membawa perlengkapan seadanya,satu ransel berkapasitas 5 kilo gram an, dengan isi berupa 4 baju kaos, 1 celana jeans serta 2 celana pendek/dalam.

Sejak ditiadakannya terminal Antar Kota Antar Propinsi (AKAP), Lebak bulus pukul 8 malam tidak menjanjikan banyak pilihan bus bagi orang-orang untuk bepergian.

Saya memang memutuskan pada malam itu untuk berpergian tanpa tujuan yang pasti. Meski begitu big picture yang terdapat dalam pikiran saya adalah mengelilingi Jawa Tengah.

Satu-satunya loket bus yang buka pada malam itu digawangi oleh 3 orang. 2 laki-laki dengan aksen medan dan 1 perempuan yang merokok. Mereka duduk  di depan loket, dimana salah satunya ketika saya masih melihat-lihat situasi di atas ojek langganan yang saya sewa dari rumah, sudah memburu menanyakan kemana tujuan saya.

Mereka menawarkan tiket ke Solo dengan harga 185 ribu rupiah dengan fasilitas executive serta toilet di dalam bus, dengan iklan “bus nya akan segera berangkat”.

Saya menawar 150 ribu rupiah, mereka menawarkan bus lain dengan harga segitu, dengan fasilitas yang tanpa toilet di dalam, setelah kepergian bus yang akan segera berangkat tersebut.

Saya memutuskan untuk menolak tawaran tersebut. Keduanya.

Saya sebelumnya melihat di internet bahwa terdapat tiket kereta api yang akan berangkat malam itu juga dengan harga 60 ribu yang namun karena, entah kenapa, tiket tersebut tidak bisa dibooking, saya akhirnya memutuskan untuk melarikan diri ke lebak bulus ini.  Perkiraan saya tiket bus akan seharga sekitar itu juga. Namun ternyata, seperti tersirat, perbedaan harganya sangat jauh.

Saya akhirnya naik Kopaja AC P20 jurusan senen dengan harapan saya masih bisa membayar tiket yang seharga nilai di internet yang sebelumnya tersebut.

Tapi di Stasiun KA Senen, ternyata tidak ada tiket yang saya maksud tersebut.

Birokrasinya adalah, anda tidak bisa membayar di tempat, tiket kereta api yang baru berangkat keesokan harinya. Penjualan tiket untuk keberangkatan malam itu ditutup pukul 11 sesuai dengan jadwal kereta yang akan berangkat pada hari itu. Setidaknya itulah pemahaman saya pada saat itu.

Setelah bertampang galau sedikit, seorang calo mendekati dan menawarkan saya untuk membeli tiket kepadanya dengan keberangkatan malam itu juga dengan harga 150 ribu rupiah.

Dan setelah meriset kecil-kecilan disana-sini dan menimbang baik-buruknya, Saya menerima tawaran itu.

Modusnya, Ia mempalsukan KTP dengan mengandalkan foto yang terdapat pada KTP saya untuk disesuaikan dengan tiket yang akan dicetak dan telah dibooking sebelumnya oleh jaringannya, yang kemudian saya ketahui, dengan harga 60 ribu rupiah tersebut.

Pertimbangan saya adalah daripada saya kehilangan momentum kemauan untuk travelling, dengan kembali ke rumah dan memikirkan kembali bagaimana caranya untuk menghibur dan menyegarkan diri, yang berakibat pada siklus yang begitu-begitu lagi : libur-menghibur diri-berencana-gagal menghibur diri, saya ambil tiket dari calo tersebut.

I was just going by the flow. I didn’t planned anything, I didn’t failed on anything.

Saya pikir itulah esensi dari berlibur. Pada tingkat pemikiran yang lebih mendalam, walau justru terdengar sangat “abangan”, berlibur adalah menemukan diri kembali dalam luasnya perbedaan kenyataan secara spiritual. Kesadaran saya “Ingin” ke Jawa Tengah adalah karena sudah cukup lama saya tidak kesana, dan selama saya berkarir dalam 10 tahun terakhir ini tidak pernah ditugaskan ke kota di Jawa tengah. Saya berbulan madu setelah pernikahan saya sekaligus mengikuti test beasiswa yang diberikan kantor saya di Jogja, untuk kemudian jalan-jalan ke Magelang dan melanjutkan keliling Jawa Timur pada 2008.  Pada saat itu, test mengikuti ujian masuk yang didasari beasiswa yang akan diongkosi kantor saya itu gagal saya raih. Tapi untungnya pernikahan saya tidak. J

Anyway, tiket kereta yang saya beli bertujuan akhir di staisun Lempuyangan Jogja. berangkat sekitar pukul 11 malam dan sampai pukul 7 pagi.

Sebenarnya kali itu jugalah saya naik kereta lagi setelah terakhir tahun 2008 dari Jogja ke Surabaya. Meski begitu tidak banyak yang bisa dilakukan. Saya duduk di pinggir, jalur orang berlalu lalang. Pemandangan dari jendela tidak dapat dilihat, sehingga akhirnya saya banyak menghabiskan waktu sekitar 6 jam dengan tidur-tidur ayam.

Pada saat mentari sudah mulai muncul dan kereta sudah memasuki wilayah jawa tengah, saya berdiri di ujung gerbong, membuka pintu kereta dan merasakan angin dan cahaya matahari Jawa tengah sebelah barat laut sambil melihat-lihat pemandangan.

Di tempat itu ada seorang yang juga berpikiran sama dengan saya. Ia merokok disana. Dipicu olehnya, saya pun ikut memantik rokok saya beberapa kali dan berkenalan.

Hendra namanya. Ia asli Jogja tapi baru saja dari Bogor untuk bekerja bersama temannya dan menanyakan kemana saya pergi dan akan tinggal dimana di Jogja. Sepertinya ia mengira saya orang yang sekampung dengannya. Yang kemudian saya jelaskan kepadanya mengenai motif kepergian saya. Dari ngobrol basa-basi saja, Ia memberikan informasi baru bagi saya mengenai bagaimana di pinggiran rel, lupa saya namanya, agak di luar kota Jogja, sering terjadi pelacuran terselubung, agak seperti Pasar Kembang (Sarkem) yang terkenal.

Dari pembicaraan kami, ia menawarkan saya untuk tinggal saja di tempatnya. Dan Inilah yang saya suka dari orang Indonesia, khususnya orang Jawa, yang saya kenal, walaupun lusuh dan cara berbicaranya penuh dengan cengiran, tapi penawarannya terdengar tulus. Saya tidak memutuskan apapun, tapi kami berbagi nomer handphone setelahnya dan berpisah di tengah grasa-grusu orang yang keluar kereta di stasiun tujuan akhir, Lempuyangan, Jogja.

Dari stasiun, mumpung kondisi pagi yang cukup bersahabat,  saya berniat berjalan-jalan saja dan mencari sarapan di sekitar stasiun. Namun tidak menemukan sesuatu yang cukup menarik. Saya kemudian menawar Ojek dan kemudian berjalan-jalan dan sarapan Gudeg di Malioboro.

Gudegnya tidak istimewa. Dari pembicaraan dengan Hendra tadi, saya jadi tertarik untuk pergi ke Pasar kembang itu sendiri. Beberapa kali saya ke Jogja, dan beberapa kali mendengar, saya tidak pernah tahu apa yang dimaksud dengan Pasar kembang itu sebenarnya.

Dengan kedewasaan seperti sekarang, setelah melewati stasiun Tugu (another stasiun di Jogja) saya akhirnya memasuki lorong-lorong yang dimaksud dengan lokalisasi tersebut.

Suasana sepi. Tidak ada satupun wanita-wanita yang berpakaian menor atau norak akan layaknya stereotype saya mengenai Pekerja Seks Komersial.

Tapi saya yakin bahwa saya sedang ada yang dimaksud dengan lokalisasi Pasar Kembang tersebut karena saya melihat di rumah-rumah di dalam lorong-lorong tersebut dimana-mana terdapat botol bir, stiker iklan Kondom dan obat kuat.

Sesuatu yang sebenarnya, selama beberapa kali ke Jogja ini, rasanya dulu pernah saya lewati juga. Tapi dulu saya tidak tahu bahwa ini adalah lokalisasi pelacuran yang menarik bagi para kaum hidung belang.

Dan dari kepergian tanpa rencana ini, hingga akhirnya bisa mengetahui seperti apa Pasar Kembang, saya akhirnya menyadari bahwa rasanya saya sudah cukup puas dengan Jogja.

Sesuai dengan Big Picture saya mengenai keliling Jawa Tengah, dari Pasar Kembang saya kemudian masuk ke Stasiun Tugu. Karena, dari yang Hendra katakan sebelumnya bahwa jika ingin Ke Jawa Tengah, maka yang terbaik adalah membeli tiket kereta Paramex dari Lempuyangan ke Solo, Saya agak ragu juga mengenai kepastian apakah ada tiket yang dimaksud di Staisun Tugu Juga.

Dan ternyata ada.

Menghabiskan waktu hanya sekitar 2 jam di Jogja akhirnya saya naik kereta, jam 10, yang ternyata sangat nyaman, seharga 10 ribu rupiah ke Solo.

Sekitar 1 jam-an kemudian Kereta sudah terparkir di Stasiun Balapan Solo.

Cuaca agak panas. Saya membeli rokok di warung di luar stasiun sekaligus menanyakan cara untuk mencapai pusat kota Solo. Sang penunggu warung merekomendasikan agar saya naik Busway-nya Solo di halte di depan warungnya. Bus tersebut lewat sekitar 15 menit sekali.

Dari keterkesanan sana mengenai harga tiket yang hanya seharga 3500 rupiah, dengan adanya kenek perempuan yang berpakaian rapi, walau masih agak seperti sales keliling di Jakarta, bukannya berhenti di tengah kota, akhirnya saya berhenti di perhentian terakhir bus yang sudah masuk daerah  Sukoharjo. Sang kenek sebelumnya menanyakan pula kemana tujuan saya. Dan saya pun dengan spontan berkata “ujung”. Dengan menaiki Busway ini saya seperti sudah melihat-lihat seluruh pemandangan yang bisa dipandang di Kota Solo.

Sebelum sampai di terminal di Sukoharjo tersebut, sang kenek memberhentikan bisnya di salah satu rumah sakit dan mempersilakan saya turun. Rupanya alih-alih menyangka saya akan ikut sampai terminal akhir atau ujung, sang Kenek dan sang supir menyangka saya akan turun di rumah sakit yang terdapat praktek dokter bernama Tunjung.

Saya kemudian membayar lagi ongkos pada rit yang kedua. Dengan bersahabat, sang kenek menanyakan mengenai kepergian saya lagi. Hingga akhirnya saya mengatakan saya akan ke keraton Solo, yang tadi tidak sempat terlewati.

Saya berganti busway yang bertrayek lain setelah diarahkan oleh sang kenek hingga sampai di dekat gerbang keraton solo di Jl. A.Yani.

Sebenarnya Solo dan Keraton Solo bukan hal yang baru bagi saya. Ayah saya dulu pernah punya suatu toko baju yang merupakan produk konveksinya di Solo ini. Tapi itu berpuluh-puluh tahun lalu, ketika saya masih berumur 8-10 tahun. Tapi memang rasanya Solo telah cukup berubah dengan baik.

Di Keraton Solo yang sepi dan panas sekitar pukul 1 siang, setelah menikmati segelas es dawet yang segar, saya membayar tiket masuk dan disambut di gerbang oleh penjaga perempuan yang sayangnya berperangai ketus. Permintaan saya untuk difoto olehnya di depan pendopo ditolak.

Saya kemudian berjalan lagi ke arah museum keraton, berkeliling dengan becak dan pengemudinya yang ramah dengan imbalan 20 ribu rupiah, berfoto-foto di depan kerbau Albino dan melihat-lihat barang-barang dan cerita sejarah keraton.

Si tukang becak menanyakan kenapa saya jalan-jalan sendirian. Dan Saya mengatakan bahwa saya suka sendirian.

Setelah sholat di Mesjid Agung Solo, makan nasi kucing, masih di area Keraton, saya berjalan lagi. Ide yang muncul di pikiran saya adalah tidur di daerah sejuk malam itu yaitu di Salatiga yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari Solo.

Saya naik lagi Busway di halte yang sama dengan tempat saya diturunkan sebelumnya, dengan ekspektasi busway akan menuju terminal di Sukoharjo. Dan karena penumpang penuh, sang kenek tidak sempat menanyakan arah tujuan saya untuk membenarkan ekspektasi tersebut. Alih-alih ke Sukoharjo, Busway itu membawa saya ke Karanganyar. Suatu ujung kota lain di luar Solo.

Sial karena di terminal busway di karanganyar tidak ada bus yang menuju Salatiga, saya sebenarnya beruntung karena dengan bermodal sekitar 10 ribu rupiah dapat berkeliling 3 kota sekaligus, utamanya Solo, dari ujung ke ujung. Saya akhirnya menanyakan kepada kenek busway pada mengenai kemungkinan bis yang dapat membawa  ke Salatiga.

Dari terminal penghubung AKAP di tengah kota solo, saya naik bus AC, yang lagi-lagi nyaman,  jurusan Semarang dengan harga 8000 rupiah hingga sampai di pusat kota Salatiga.

Selepas maghrib setelah berjalan-jalan dan bertanya-tanya sedikit saya akhirnya menyewa sebuah kamar losmen tua di tengah kota Salatiga.

Malamnya, saya makan malam dan nongkrong sebentar sambil menikmati sejuknya, walau tidak sesejuk yang saya harapkan, kota Salatiga dengan ditemani susu murni campur kopi yang hangat di alun-alun yang tidak jauh dari Losmen saya dan kantor Bupati Salatiga.

Salatiga adalah kota yang cukup dipengaruhi Belanda dan Kristen rasanya. Meski di alun-alun ada mesjid muhammadiyah yang cukup besar, yang saya dengar cukup dibanggakan di Salatiga, Banyak saya lihat Gereja Kristen Jawa dan makanan-makanan yang berasosiasi dengan babi atau anjing, misalnya. Pun saya mendengar mengenai salah satu Universitas Swasta yang cukup baik yaitu Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) disini.

Esoknya setelah sarapan dengan dengan ikut Angkotan Kota secara acak, saya keliling Kota Salatiga. Banyak pula mahasiswa dari dari Indonesia Timur saya lihat. Pun, menurut supir angkot yang saya ajak ngobrol , mereka rata-rata merupakan mahasiswa UKSW. Di UKSW ini pun banyak juga terlibat orang-orang dari Belanda. Meski begitu saya yakin Salatiga adalah kota yang harmonis.

Puas di Salatiga, saya kemudian menaiki bus menuju Semarang.

Kali ini bukan bis AC lagi, tapi masih dengan harga 7000 rupiah seperti jalur Solo-Salatiga.

Di samping saya duduk seorang Bapak tua yang mengira saya adalah salah satu mahasiswa dari Indonesia timur. Ia bercerita bahwa ia dulu pernah tinggal di Ambon dan ia ke Semarang hendak menghampiri istrinya yang sedang sakit di Rumah Sakit dengan biaya dari BPJS.

Saya tersenyum dalam hati mendengar dugaan dan cerita-cerita beliau sambil sesekali menanggapi. Meski keling begini, tapi baru kali ini ada orang yang menyangka saya dari Indonesia Timur. Sebuah sudut pandang yang menarik.

Di semarang saya turun bersama bapak tersebut di rumah sakit, karena tiba-tiba teringat mengenai deadline suatu permohonan sekolah lanjutan saya yang membutuhkan sertifikat kesehatan dari rumah sakit.

Dari Rumah Sakit, terinspirasi di Solo, saya pun berusaha menaiki Buswaynya Semarang. Tapi sayang Buswaynya sangat-sangat penuh dan waktu tunggunya lama.  Akhirnya saya memutuskan untuk berkeliling dengan menggunakan taksi.

Saya baru kali ini di Semarang. Semarang saya pikir sudah merupakan suatu kota metropolitan. Jalan-jalan lebar. Saya pikir Semarang bahkan lebih berkembang daripada Bandung atau Medan.

Supir Taksi yang saya minta pendapatnya mengenai wisata di Semarang pun mengimplisitkan kesan tersebut. Rata-rata orang luar kota ke Semarang untuk berbisnis, sementara Bandung dan Medan sedikit banyaknya terbantu oleh efek ekonomi pariwisata.

Setelah berkeliling semarang barat, timur-selatan dan utara, walau hanya ujung-ujungnya saja, saya kemudian diantar makan siang ke restoran ayam goreng dengan harga terjangkau yang populer dan besar, di  jarak sekitar 1 KM dari Simpang Lima.

Selesai makan saya naik angkot menuju Lawang Sewu. Berfoto-foto dan melihat-lihat sedikit, saya kemudian bergerak ke Klenteng Sam po Kong dengan naik angkot lagi.

Klenteng Sam Po Kong sangat mengesankan menurut saya. Dengan keluasannya dan kemegahan bangunan-bangunannya, jika saja cuaca tidak panas, maka orang akan berpikir telah berada di Negara lain di luar Indonesia, saya rasa.

Mendekati Maghrib, saya pun berniat untuk menjamak shalat Dzuhur dan Ashar saya di mesjid di sekitar situ. Mengesankannya lagi, Klenteng Sam po Kong, meskipun, semacam peribadatan umat beragama lain, menyediakan mushalla di dalam kompleknya.

Saya menghabiskan waktu hingga gelap disana.

Saya bertemu seseorang dari Jakarta, yang memakai celana panjang di atas tumit dengan jenggot, sendirian, sedang berlibur, setelah baru saja dipecat sebagai debt collector dari suatu bank swasta asing disana.

Setelah menimbang-nimbang mengenai tawarannya untuk menjelajahi Semarang besok jika saja saya tinggal di Semarang, saya akhirnya pamit darinya untuk memutuskan bahwa akan menginap di Wonosobo, kota sejuk lainnya, malam itu.

Dari Sam Po Kong saya menaiki Taksi model Van baru yang tidak saya temui di Jakarta, yang merupakan unit usaha Peter Sondakh, menuju terminal bis yang dapat membawa saya ke Wonosobo.

Pukul 8 Malam Bus menuju Wonosobo berangkat dari Semarang. Agak mengherankan bahwa bus yang kumuh, non AC, dengan jarak yang tidak terlalu berbeda antara Semarang- Solo, mengenakan tariff sebesar 3 kali lipat atau 25 ribu rupiah kepada penumpangnya.

Jalan Semarang-Wonosobo yang cukup sempit memaksa Bus sempat menghentikan perjalanannya sekitar 1 jam dikarenakan ada kecelakaan yang menyebabkan macet total sehingga waktu tempuh menjadi tertunda.

Di tengah penghentian bus tersebut saya mengobrol dengan salah seorang penumpang.

Dari kekhawatiran saya bahwa bus akan sampai lewat tengah malam dikarenakan macet tersebut, lagi lagi, dengan keramahan khas Jawa,  tanpa tedeng aling-aling saya ditawari untuk bermalam di rumah penumpang tersebut, dengan dugaannya, hotel di Wonosobo mungkin tidak akan ada yang buka.

Dan benar saja, melewati Kabupaten Semarang lagi dan kali ini Temanggung, Bis tersebut sampai di terminal Wonosobo pukul 12 malam. Dan Hotel yang terletak di depan terminal, yang sebelumnya direkomendasikan oleh si penumpang Wonosobo, telah mengunci pagarnya. Bus tidak memasuki kawasan kota Wonosobo yang banyak hotel, dan Saya telah menolak tawaran penumpang tersebut.

Berjalan 500 meter ke belakang, saya melihat ada satu hotel lagi dan satu mesjid yang mungkin dapat saya inapi malam itu.  Hotel masih menyediakan satu kamar tapi dengan harga termahal. Dan hotel tidak lagi menjual makanan, yang sedikit mengurangi kepastian saya untuk memutuskan akan menyewa hotel tersebut atau tidak, karena saya lapar, belum sempat makan malam.

Agak kecewa, saya kembali berbalik jalan kaki di tengah malam itu menuju satu warung yang sebelumnya sudah saya lihat , yang sepertinya satu-satunya yang masih buka, di depan terminal.

Warung tersebut ternyata warung minuman Jahe, tidak menyediakan makanan. Tapi akhirnya dengan baik hati ia memberikan satu bungkus nasi yang sebenarnya untuk dirinya kepada saya.  Penjaga warung tersebut sangat ramah. Ia menceritakan bagaimana bahwa baru-baru ini Jokowi dan Gubernur Jawa Tengah yang baru saja dilantik mampir ke warungnya tersebut, dan betapa gugupnya ia menerima “kunjungan” petinggi Negara yang baru akan diketahui kemudian jadi presiden Indonesia sebentar lagi.

Seorang Supir taksi datang ke warung tersebut kemudian dan saya akhirnya menyewa jasanya untuk mencari Hotel di daerah kota.

Pukul 1 pagi tidak ada lagi satupun hotel yang buka di Wonosobo, kecuali Hotel yang tadi telah saya hampiri tadi. Berbalik arah lagi ke hotel tersebut, saya memutuskan untuk menyewa kamar yang tersedia.

Sang sopir taksi sebelumnya sudah memberitahu bahwa jika saya ingin ke dieng, daerah wisata yang dekat dengan Wonosobo, saya dapat naik angkot dari hotel tersebut untuk kemudian naik bis kecil dari daerah yang telah ditunjukkan sebelumnya di kota.

Uang 20 ribu rupiah saya berikan kepada Supir yang mengoperasikan satu dari tidak lebih dari 10 armada taksi yang ada di kota tersebut.

Mendekati tengah hari saya bergerak ke dataran tinggi dieng.

Dengan tarif 8000 rupiah, setelah sebelumnya keliling di sekitar alun-alun, Bus sedang dari Wonosobo mengantarkan saya ke satu persimpangan yang merupakan titik tolak untuk berwisata pesona dataran tinggi dieng pada pukul setengah 3 siang.

Saya memutuskan untuk menyewa Ojek dari pengkalan yang terdapat di persimpangan tersebut.

Sewanya : 50 ribu rupiah.

Dengan perkiraan bahwa Ojek tersebut hanya akan mengantarkan saya dari satu tempat ke tempat lainnya, yaitu Telaga Warna, Batu Pandang, Kawah Sikidang dan Candi Pandawa, ternyata, sang abang ojek juga bertindak sebagai guide dan fotografer pribadi yang menjelaskan dan mendampingi saya hingga selesai menikmati keempat obyek tersebut dan menolak untuk diberikan uang lebih.

Saya kembali ke kota Wonosobo mendekati waktu Maghrib.

Tujuan selanjutnya adalah Purwokerto dan-atau langsung ke Jakarta. Saya masih belum jelas.

Melewati Kabupaten Banjarnegara (walaupun sudah saya lewati sebelumnya,karena Dieng terdapat di Banjarnegara) dan Kabupaten Purbalingga, akhirnya saya sampai di Kabupaten Banyumas dimana terdapat Kota yang sebelumnya merupakatan Kota Administratif tersendiri, Purwokerto, pada pukul 9 malam di terminal barunya, disambut music keroncong yang diputar oleh pengeras suara di terminal tersebut.

Tidak terdapat lagi Bus langsung menuju Jakarta pada waktu itu. Ada bus yang bertujuan ke jawa barat untuk kemudian saya dapat melanjutkan dengan bis lain ke Jakarta, dengan harga yang harus saya bayar sekitar 150 ribu. Saya menyewa seorang tukang ojek dari terminal yang menyarankan saya untuk menaiki kereta api jika masih sempat dibeli tiketnya malam itu, dengan tujuan awal berkeliling kota Purwokerto.

Keliling Purwokerto, melewati Banjarnegara dan sebelumnya Purbalingga, semakin mengingatkan saya bahwa Pulau Jawa adalah memang daratan dengan penduduk terpadat di dunia.

Menghadapi isu tiket kereta api ke Jakarta di Purwokerto, saya akhirnya mengetahui bahwa tiket dapat dibeli pada hari yang sama di toko sembako retail terdekat.

Tidak ada calo yang mendekati saya,  lewat pukul 00.00 saya sudah dapat membeli tiket seharga 45 ribu rupiah dari Purwekerto ke Jakarta. Saya bermalam di Purwekorto, makan getuk goreng dan tempe mendoan dan berangkat pagi hari dengan kereta ekonomi berAC ke Jakarta, melewati Jawa Barat. Bagi saya, walaupun pesisir utaranya belum terlewati, niat keliling Jawa Tengah telah tercapai. Catatannya, kesan yang kuat mengenai wisata dengan konsep melihat manusia dan cara bertindak-tanduknya merupakan sesuatu yang  dapat dialternatifkan.

Indonesia, pada situs the most hated country polling, menduduki peringkat 20 besar dunia karena perlakuan orang lokalnya terhadap orang/turis asing yang selalu menginginkan uang mereka.

Bagi wisatawan lokal itu tidak terjadi.

Bukan tanpa alasan jika Malaysia yang pilihan wisatanya jauh lebih sedikit dengan lingkup jauh lebih kecil dengan identitas yang mirip dengan Indonesia, memiliki jumlah wisatawan / turis asing yang mencapai hingga 4 kali lipat dari Indonesia. Kemungkinan penyebabnya yang belum ditelisik lebih jauh sebagai dasar penyelesaian adalah adab orang Indonesia yang belum mapan dalam menghadapi bangsanya sendiri, yang menyebabkan bangsa asing merasa tidak nyaman berada di tengah-tengah itu.

Banyak dari orang Indonesia tidak mengenal dan mengalami adab (courtesy) lain selain tempat mereka tinggal dan dibesarkan. Sementara budaya Indonesia terdiri dari ratusan kebiasaan dan kepercayaan keseharian  yang penyatuannya salah satunya didasarkan pada, tidak dapat terelakkan, ciri fisik yang mirip satu sama lain, selain tentu saja bahasa Indonesia.

Jika didukung oleh pola pikir dan pola kerja yang dapat dipertanggungjawabkan oleh masing-masing individu di Indonesia, penggarapan wisatawan lokal dengan keunggulan perbedaan pandangan sumber daya manusia seharusnya sudah merupakan kekuatan sendiri untuk menuju pengembangan ekonomi komprehensif yang berkelanjutan. Termasuk nanti, efek social multipliernya, peningkatan citra Indonesia oleh wisatawan asing.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun