Mohon tunggu...
Febrian Arham
Febrian Arham Mohon Tunggu... pegawai negeri -

alumni DIII STAN' 04, (harusnya) DIV STAN' 08

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Semua Murah tapi Semua Menginginkan Uang Anda (Menjaga Stabilitas Keuangan)

21 Oktober 2014   00:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:20 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu hal yang membedakan Negara maju dengan Negara sedang berkembang, khususnya Indonesia adalah kepastian hukum. Di Negara maju hampir semua usaha berbadan hukum dan semua yang berbadan hukum tersebut membayar pajak kepada Negara.

Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang memiliki usaha informal yang tidak memiliki kepastian hukum, dimana-mana.

Usaha Informal dapat diasosiasikan sebagai Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

Mulai dari bangun tidur, seorang yang bekerja atau sekolah, misalnya pagi-pagi sudah membayar makanan kepada mereka yang melakukan usaha dengan informal.

Lebih dari sekedar usaha pangan dan makanan pastinya, lansiran Bank Indonesia menaksir bahwa terdapat setidaknya 52 juta UMK di Indonesia dan memberikan sumbangan yang tidak kecil pada perekonomian yaitu sekita 60 % dari pendapatan nasional Indonesia (PDB).

Bukan tanpa alasan, jika  Mark Zuckerberg, yang dapat dikatakan sebagai pebisnis besar dari Negara maju, datang ke Indonesia baru-baru ini secara khusus menyorot mengenai keinginan kerjasamanya mengembangkan sektor UMK atau UKM (Usaha Kecil dan Mikro) di Indonesia.

Definisi UMK sendiri jika disederhanakan adalah usaha yang tidak memiliki badan hukum (kecuali koperasi) yang (pada umumnya) tidak perlu membayar pajak.

Ini berkesesuaian dengan anggaran Negara, termasuk pendapatan pajak sebagai variabel pengurang dari PDB yang berkisar antara 10-13% pertahunnya selama 20 tahun terakhir, tapi tidak termasuk pembiayaan, yang kesemuanya jika dijumlahkan berkisar pada 20% dari PDB.

Menariknya, dalam 20 tahun terakhir ini, Rasio Pajak terhadap PDB selalu sama, bahkan cenderung menurun. Sebaliknya, rasio pajak terhadap anggaran Negara, selalu naik, yang dipengaruhi oleh terus meningkatnya belanja Negara dengan menurunnya rasio penerimaan migas.

Dari pembahasan sederhana ini, jadi, hanya bersisa sekitar 20% dari penghasilan yang dihasilkan masyarakat Indonesia, per tahun, yang adalah usaha atau kegiatan bernilai ekonomi yang bersifat legal atau formal, yang, sudah termasuk di dalamnya ekspor dan Impor.

Analogi praktisnya, seorang di Indonesia, yang hendak atau sedang memulai suatu usaha formal, dapat mengharapkan rata-rata 20% penghasilan dari apa yang diinvestasikan dari usahanya, pertahun. Pada tataran lebih pragmatis, penggambaran dunia nyata adalah misalnya seorang pegawai swasta, maupun negeri, yang melakukan korupsi atau usaha informal, meski telah mendapatkan gaji dari Negara/perusahaan yang merupakan sector formal, dimana misalnya gaji dari Negara/perusahaan adalah 2 juta perbulan tapi korupsi yang dilakukannya per bulan adalah 4 juta.

Bantalan keamanan penghasilan rata-rata setahun 20% dari usaha formal di Indonesia adalah pembiayaan dari Negara yang mengeluarkan surat utang dengan memberikan imbal balik sekitar 12% pertahun, nyaris tanpa resiko, oleh seorang tanpa harus melakukan apa-apa.

Sesuatu yang belum eksis hingga sejak pasca reformasi 1998.

Sebelum terjadinya reformasi 1998, bahkan sebelum tahun 2002, satu-satunya instrumen keamanan yang menjamin imbal balik dari suatu investasi di Indonesia adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yaitu instrumen imbal balik yang berhubungan dengan Bank, sebagai sektor usaha sekunder, yang memiliki imbal balik jangka pendek dan dapat berubah nilainya dengan mudah.

Dengan adanya pembiayaan melalui surat utangnya maka pemerintah (Indonesia) telah mulai terlibat lebih langsung dan mendalam pada kegiatan usaha formal yang dilakukan oleh masyarakat.

Krisis moneter yang melandasi reformasi 1998 sendiri adalah krisis beban usaha operasional jangka panjang oleh sektor usaha formal di Indonesia, melalui utang jangka pendek, kepada dunia (Luar Negeri).

Meski begitu, lagi, indikasi perubahan pola berpikir ke arah keterlibatan pemerintah Indonesia yang lebih adaptif terhadap sistem ekonomi dunia telah terlihat pada rasio pajak terhadap PDB yang selama 20 tahun terakhir yang cenderung terhitung begitu-begitu saja, tersebut, untuk kemudian diperkuat dengan trend pembiayaan yang melalui modal, dan bukan utang, yang digambarkan melalui Indeks harga di bursa saham Indonesia, yang meningkat.

Di masa kini, ketergantungan usaha formal terhadap arus modal menjadi jauh lebih seimbang ketika dipertautkan dengan utang.

Indeks pembiayaan melalui modal, yang tergambar pada indeks harga bursa saham, dan derivatifnya, meningkat hingga 1.000 persen dibandingkan pada masa 5 tahun sebelum dan sesudah reformasi.

Krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun 2008 yang kuat mempengaruhi Indonesia pada kasus elitis Bank Century, sangat berbeda dengan krisis yang melandasi reformasi 1998 di Indonesia.

Antara 1998 sampai 2008 hingga kesini, pemerintah mengalihkan kecenderungan berutang usaha formal dengan “mengorbankan” dirinya sendiri untuk berutang hingga  ratusan trilyun dari yang sebelumnya nihil.

Usaha Informal? Tetap pada bentuk awalnya, konstan, akan halnya konsep perekonomian yang telah digariskan oleh Bung Hatta mengenai ekonomi kerakyatan Indonesia.

Dan Stiglitz mempertanyakan system perekonomian dunia sekarang mengenai Negara berkembang yang mungkin tidak akan pernah menyamai Negara maju dimana sistem yang menjadi standar perekonomian dunia sekarang berbasis pada siapa yang memiliki permodalan yang kuat dialah yang akan berjaya.

Indonesia sebagai bagian dari dunia adalah Negara dengan basis pancasila yang bergantung pada nilai-nilai kebersamaan dan keadilan sosial.

Pancasila tidak mengimplisitkan mengenai adanya pengaturan hukum yang jelas mengenai perilaku ekonomi masyrakatnya.

Dengan mengandalkan pada evolusi manusia dengan informasi yang tidak berbatas pada satu sisi, maka terdapat kesenjangan kenyataan antara UKM, atau UMKM jika ditambahkan usaha Menengah sebagai pembentuk akronimnya, yang tidak mungkin akan pernah benar-benar berkembang di Indonesia, secara akumulatif, sebagai jiwa perekonomian Indonesia, pada sisi lainnya.

Pesannya : UMKM diharapkan tambah banyak, tapi orang kaya diharapkan tidak muncul dari situ.

Dengan pembiayaan yang kecil, yang didatangkan dari modal, U(M)KM tidak diharapkan untuk berkembang lebih dari 12 % per tahun atau lebih dari bantalan utang bebas resiko pemerintah Indonesia.

Bahayanya, pembiayaan terhadap pengembangan UKM ini didatangkan dari sektor informal lainnya, yang sedikit banyaknya dipengaruhi pemerintah dengan mengharapkan imbal balik lebih dari 12 % tersebut, melalui usaha sekunder (ya, sudah sekunder, informal pula) yaitu utang, yang lazim disebut sekarang di dunia sebagai shadow banking.

Sulit untuk mengartikan shadow banking ini sebagai bank bayangan karena definisi luas di luaran  mengartikan Shadow Banking yaitu segala sesuatu yang memiliki pengaliran dana dari dan kepada nasabah dengan usaha informal termasuk usaha pangan, transportasi illegal, keamanan, pembantu rumah tangga, pelacuran, calo, korupsi, pencucian uang dan lain-lain yang tidak memiliki portfolio yang kuat untuk mendapatkan utang dari bank konvensional.

Usaha Informal menyebabkan harga-harga barang menjadi murah.

Dan Ini diakui di luaran dimana PDB Indonesia yang mendekati angka 9000 Trilyun atau sudah termasuk 15 besar dunia, dari sudut pandang Purchasing Power Parity (PPP), bahkan adalah nomer 9 dunia. Dimana PPP menggambarkan harga-harga barang dan jasa di di suatu negara dibandingkan dengan Negara lain, yang memang berpatokan pada pemeringkatan.

PDB riil Indonesia yang lebih rendah dibandingkan dengan PDB berdasarkan PPPnya menggambarkan harga-harga barang dan jasa di Indonesia yang lebih murah dibandingkan standar dunia. Meski begitu hampir semua Negara sedang berkembang memang memiliki nilai PDB per PPP yang lebih besar dibandingkan PDB riilnya.

Nilai PDB berdasarkan PPP Indonesia yang sekitar 24.000 Trilyun, atau tiga kali lipat dari PDB riilnya, sangat dipengaruhi kuat oleh sektor informal.

Dengan adanya shadow banking, insentif sektor informal atau UKM untuk mengharapkan keuntungan dari usaha yang dilakukan di dalam negeri sendiri menjadi relatif tidak terkendali.

Semua murah, tapi sektor usaha informal dengan turunan usahanya, dengan prinsip kebersamaan dan keadilan sosial, menjadikan semua orang di Indonesia akhirnya menginginkan uang anda,

Anda, individu yang hidup merdeka dan menghasilkan barang dan jasa yang bernilai uang di negeri Indonesia, melalui “pajak-pajak informal” yang tidak tercatat dalam sistem.

Krisis usaha sekunder yang berhasil dilewati Indonesia pada 2008-2009 lalu adalah indikasi ketidakstabilan system yang lebih besar yang akan dijalankan Indonesia di masa yang akan datang ke depannya.

Mengingat unifikasi yang lebih kuat antara system kebijakan fiskal-sekunder dengan makroekonomi yang telah dilakukan di masa lalu, tercermin misalnya dari kasus Bank century dimana pokok pangkal penyebabnya adalah investasi anataboga yang dijual diluar system perbankan yang menyebabkan menteri keuangan yang notabene seorang pengelola fiscal harus turun tangan,  misalnya, di masa mendatang, jika pemerintah menaikkan harga minyak, dengan menurunkan pembayaran subsidi dari anggarannya, ketidakstabilan itu akan menghasilkan kekacauan.

Dan sektor usaha sekunder seperti bank, baik yang tradisional maupun bank investasi, dan institusi financial pemerintah, yang mendapatkan manfaat ataupun keuntungan dari sektor usaha riil, adalah bisnis/kegiatan yang berbasiskan pada kepercayaan.

Yang sangat penting dilakukan sekarang untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan dari ketidakpastian hukum pada arus utang dan modal yang terdapat di sektor informal di Indonesia, adalah dengan mengatur sistem deteksi pengawasan oleh pemerintah yang dapat dipercaya dengan sosialisasi kepada masyarakat Indonesia mengenai adanya kesenjangan ini sejak dini.  Lebih dari itu, utopianya,  harus ada pemakaian standar baru dalam sistem ekonomi dunia yang dapat diikuti Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun