Mohon tunggu...
tb rahardjo
tb rahardjo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Hukuman Mati, Perlu atau Tidak Perlu?

30 April 2015   14:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 28 April 2015, Nusakambangan, Kejaksaan RI telah bersiap-siap untuk mengeksekusi mati 9 terpidana kasus Narkoba (Narkotika dan Obat-obatan terlarang), terdiri dari 8 WNA dan 1 WNI. Eksekusi ini mau tidak mau melibatkan negara-negara sahabat yang warga negaranya akan dieksekusi mati. Banyak permohonan dari negara sahabat untuk tidak mengeksekusi, baik pengampunan maupun vonis mati dijadikan hukuman seumur hidup, sama sekali tidak digubris pemerintah. Pemerintah berdalih ini untuk penegakan hukum positif di Indonesia.

Pada tanggal 29 April 2015, pukul 00.35 eksekusi tersebut tetap dilaksanakan, dan hanya 1 terpidana yang ditangguhkan eksekusi karena ada perkembangan kasusnya di negeri asal. Pasca eksekusi ini reaksi keras langsung muncul dari negara jiran, Australia. Langsung diumumkan oleh PM Australia, Tony Abbot, menyesalkan eksekusi yang dianggap "tidak perlu" dan langsung menarik Duta Besar Australia untuk "berkonsultasi". Spoke Person United Nation juga setali tiga uang, dia mengungkapkan mengapa jika Pemerintah RI memohon pengampunan untuk TKI yang divonis mati di luar negeri, justru tidak memberikan pengampunan di dalam negeri yang notabene kasusnya lebih kecil dari kasus TKI di luar negeri (WHAT?).

Perlu atau tidak perlu??

Dari mata orang Indonesia jelas, mayoritas akan mengatakan "PERLU" tidak perlu ditanya lagi. Alasannya jelas karena narkoba telah membawa "neraka" di keluarga Indonesia. Dari era 90an sampai sekarang, dari jaman Slank masih fresh sampai sudah tua, narkoba masih eksis menghantui anak muda Indonesia. Anak muda yang harusnya produktif menjadi generasi benalu dan menyusahkan keluarga. Butuh rehabilitasi bertahun-tahun dan keinginan yang sangat kuat untuk bisa keluar dari lingkaran setan ini. Rasanya bagi rakyat Indonesia alasan ini tidak perlu dijelaskan lagi.

Dan mengapa seorang kepala pemerintahan bahkan bisa mengatakan bahwa hukuman mati "TIDAK PERLU"? Amnesty International bilang "TIDAK PERLU"? United Nations bilang "TIDAK PERLU"? bahkan Migrant Care Indonesia bilang "TIDAK PERLU"? Salah satu jawabannya adalah HUMANITY. Ya, alasan kemanusiaan yang selalu dikemukakan oleh penggiat abolisi hukuman mati. Disadari atau tidak alasan ini bermata dua. Jika sisi kemanusiaan untuk terpidana mati, bagaimana dengan sisi korban dan keluarga korban yang telah terkena dampak narkoba. That's beyond Humanity Value. Yang boleh men-judge kemanusiaan atau tidak adalah korban yaitu rakyat Indonesia, lebih spesifik lagi adalah keluarga korban narkoba. Itu baru HUMANITY.

Dibalik alasan kemanusiaan, tentu ada alasan lain pemerintah negara sahabat untuk menekan pemerintah Indonesia untuk membatalkan eksekusi mati. Salah satu adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan pembelaan kepada warga negara nya yang terlibat masalah hukum di negara lain. Lalu merujuk aksi Tony Abbot untuk menarik Dubes Australia untuk Indonesia untuk mem"protes" karena permohonan Oz tidak digubris adalah hal wajar, tapi hal ini membersitkankan sedikit tanda tanya pada penulis. Apakah salah negara tegas menerapkan kedaulatan hukum dibandingkan tekanan international? Kedaulatan (baik hukum maupun wilayah) adalah MUTLAK bagi keberlangsungan negara. Ketika itu sudah dilanggar apakah kita bisa bangga disebut sebagai negara yang tunduk oleh tekanan yang sebenarnya tidak usah digubris juga tidak masalah. Apakah ini bentuk arogansi negara sahabat melihat Indonesia sebagai Third World Country dan mereka yang menganggap dirinya First Class Country bisa mendesak negara yang inferior? Ketika sang "superior" mendesak sang "inferior" dan ternyata sang "inferior" tidak menggubris ada rasa jengkel (lebih tepat istilah bahasa jawa, nggonduk) lalu si superior ngambek (pundung). Bandingkan dengan WN Australia, Van Tuong Nguyen (Vietnamese), yang dihukum gantung oleh Singapura tahun 2005 dengan kasus yang sama Drug Traficking. Bahkan media memprotes bahwa pemerintah Oz melakukan "doing too little". Bahkan PM Oz saat itu John Howard memberikan peringatan agar anak muda menjauhi narkoba.

"I don't believe in capital punishment, he was a convicted drug trafficker and that is to be wholly condemned ... don't have anything to do with drugs. Don't use them, don't touch them, don't carry them, don't traffic in them and don't imagine for a moment—for a moment—that you can risk carrying drugs anywhere in Asia without suffering the most severe consequences" - John Howard, PM Australia 2005

Bandingkan sikap Australia sekarang dengan Indonesia dan Australia terhadap Singapura pada saat itu. Apakah itu hanya sikap arah pemerintahan PM yang berbeda atau memang hipotesis superior-inferior yang penulis kemukakan diatas adalah benar. Ahhh, hanya Tuhan dan Tony Abbot yang tahu.. :)

tetap berkhayal Indonesia as Utopia Nation guys :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun