Ada yang menarik dalam pilpres beberapa waktu yang lalu, dimana terjadi saling jual beli "serangan" antar media. Hal ini cukup langka terjadi , setidaknya ketika dalam masa sebelum pemilu berlangsung. Di masa normal, biasanya semua media massa mempunyai satu isu atau agenda yang homogen, misalnya kekompakan semua media menyangkut isu-isu pemberantasan korupsi, sepak terjang SBY atau tengok pula ketika media massa sama-sama mengekspos habis para pejabat yang menjadi tersangka KPK, dimana biasanya mereka saling melengkapi , kritis dan bahkan untuk kasus-kasus tertentu yang menjadi musuh bersama mereka  mengadakan "trial by press" tanpa melakukan "Cover both side" . Ini menandakan media massa solid dan kompak dalam membangun opini publik sehingga agenda yg bersifat homogen terjadi,  karena sedikit motif kepentingan mereka untuk menjadi partisan.
Namun dalam masa kampanye, masyarakat tiba-tiba disuguhi perang kepentingan antar media. Siapapun, bahkan orang awam sekalipun, tentu menyadari bahwa terjadi perang korupsi fakta yg vulgar pada media yang mendukung capres tertentu, dengan mata telanjang dan bukan menjadi rahasia umum lagi jika Metro Tv, Tempo, Detik selalu menjadi "HUMAS" sekaligus attacking dog dari tim jokowi-jk sebaliknya semua juga sepakat kalau TV ONe, MNC media, Okezone adalah perpanjangan lidah dari koalisi merah putih. Selama sebulan penuh masyarakat "dipaksa" terbelah menjadi dua, opini dikemas seolah-olah menjadi FAKTA, informasi media yang seharusnya bisa menjadi pengetahuan berubah menjadi sumbu kompor dari rasa kebencian yang sayangnya diarahkan kepada sesama anak bangsa sendiri yang berupaya memperbaiki negeri.
Ketika kebencian memuncak  panas, KPI sempat menegur beberapa stasiun TV yang dalam memberitakan suatu isu tidak proporsional, memihak dan tanpa melakukan kalrifikasi. Namun, hal ini seperti angin lalu saja. Sampai saat ini media masih terbelah, dimana Metro TV dkk selalu menjadi jubir kepentingan jokowi-jk sedangkan media lain sebagai penyeimbang. Saya pribadi suka dengan informasi yg heterogen tidak harus selalu identik, namun yang menjadi soal jika perbedaan informasi itu bercampur dengan fitnah dan motif kepentingan tertentu. Apalagi bagi indonesia yang memiliki masyarakat dengan tingkat pendidikan mayoritas rendah, informasi yang ditelan mentah-mentah sangat berbahaya. Sedikit provokasi bagi mereka , maka negeri ini diambang disintegrasi bangsa, hanya karena kepentingan segelintir para cukong pemilik modal dan pimpinan redaksi media-media partisan.
Pilpres tahun ini juga membuka mata sekaligus memberikan pelajaran berharga bagi kita semua betapa pentingnya melakukan filter suatu informasi, tidak gampang untuk terbawa isu yang belum dilakukan klarifikasi atau konfirmasi sebelumnya. Joseph Goebbels pernah berkata : "Kebohongan yang dikatakan berulang-ulang, akan dianggap sebagai suatu kebenaran", maka agar tidak terjebak pada fatamorgana/ilusi fakta ada baiknya kita menjadi pemirsa atau pembaca  yang pintar membedakan mana opini, mana yang fakta.
Anda tidak akan bisa menemukan kasus lapindo Bakri Grup di bahas secara mendalam di TV one, anda juga tidak akan bisa melihat Metro TV , Tempo & Detik tiba-tiba mengkritik jokowi-jk atau Ahok. Jika fenomena ini terus berlangsung, saya khawatir informasi dari media lambat laun tidak lagi dianggap sebagai referensi yang ilmiah karena kecendrungan bersifat opini lebih dominan daripada sebuah Fakta. Misalkan menjelang  pemilu, saya melihat Metro TV pernah memberitakan bantuan kepada 3 warga yg ala kadarnya, hal yang sangat biasa dan dilakukan semua partai namun diberitakan NASDEM peduli masyarakat. Ini betul-betul penggiringan opini, walau hanya saya tanggapi dengan geleng-geleng kepala dan senyum kecut, ternyata ekpos Metro TV terhadap pidato-pidato surya paloh di pangung kampanye yg rata-rata sepi penonton dan juga aksi-aksi bantuan sosial kader-kader nasdem yg berbau pencitraan ini mampu mendongkrak perolehan suara partai nasdem yg bahkan melewati partai-partai yang jauh lebih senior.
Hal yang jauh lebih mengelikan yaitu cara yang dilakukan partai hanura, membuat acara kuis kebangsaan WIN-HT, dimana sempat terjadi kehebohan di media sosial karena sebelum pertanyaan selesai dilontarkan oleh host, ada seorang penelepon yang sudah bisa menjawabnya dengan benar, sungguh memalukan ,ini hanya akal-akalan money politic hary tanoe yang berbungkus acara kuis kebangsaan.
Yang saya khawatirkan dari fenomena ini adalah, Pertama : hak masyarakat luas untuk mengakses informasi yang benar sesuai fakta sebenarnya tidak tercapai, bukan sekedar opini yang dikemas seolah-olah menjadi fakta. Kedua: fungsi media yang tereduksi, Denis McQuail dalam buku Mass Communication Theory (1994:65-66) menjelaskan salah satu fungsi dari media adalah Sebagai jendela (a window on events and experiences), yang membukakan cakrawala pengetahuan kita mengenai berbagai hal di luar diri kita tanpa campur tangan dari pihak lain. Dengan kata lain, dalam hal ini realitas disampaikan apa adanya kepada publik/masyarakat.
KETIGA : ini yang paling saya khawatirkan yaitu hilangnya fungsi KONTROL SOSIAL dari media massa partisan, saya khawatir Metro TV, Detik, Merdeka.com atau Tempo berubah fungsi menjadi "pengacara" Jokowi-JK selama 5 tahun kedepan, menutupi kelemahan dengan mempengaruhi opini publik untuk menjadi bias.
Hal ini sudah tercium ketika jargon-jargon jokowi-jk tidak sesuai ketika sudah terpilih sebagai presden. Misalnya media partisan itu menutupi kabinet jokowi yang penuh dengan posisi dari parpol sebagai "Alokasi profesional parpol" ketimbang memberitakan dengan bagi-bagi jabatan/koalisi dg syarat.
Kalau hal ini yang terjadi, maka yang dirugikan adalah rakyat banyak. Saatnya kita tidak terjebak informasi sesat dan melakukan filter pada apapun yang diberitakan media partisan baik dari kubu Jokowi-JK maupun Koalisi merah putih...MERDEKA !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H