Mohon tunggu...
Yusuf L. Henuk
Yusuf L. Henuk Mohon Tunggu... Ilmuwan - GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 - Sumatera Utara, INDONESIA

GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 -- Sumatera Utara, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

MIANGAS Punya Patung Santiago NDANA Punya Patung Sudirman

14 Mei 2015   03:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:04 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1431547873487979678

2. Ndana Pusat Pertahanan Jepang di Perang Dunia II

Menelusuri dataran pasir pantai Pulau Ndana yang datar dan lebar tampak adanya bekas-bekas parit yang pernah digali dan terletak melintang mulai dari kaki tebing Pulau Ndana hingga ke pantainya. Jarak dari parit yang satu ke parit berikutnya sekitar 100 meter. Menurut ceritera rakyat, parit-parit tersebut digali di masa Perang Dunia II oleh para Romusha (kuli paksaan) asal Rote di bawah komando Tentara Pendudukan Jepang dengan tujuan untuk mencegah mendaratnya pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara Australia.

Pada kenyataannya, Pulau Ndana merupakan pulau terselatan Indonesia yang menghadap ke Samudra Indonesia, sehingga Komando Angkatan Bersenjata Tentara Pendudukan Jepang pernah menempatkan satu kompi pasukannya di sana untuk mengawal pulau itu yang memiliki arti strategis disertai dengan adanya ratusan Romusha di masa lalu membuktikan Pulau Ndana memiliki sumber daya alam pendukung kehidupan bagi mereka semua berupa sumber-sumber air yang ada di sana.

3. Legenda Pulau Ndana

Ndana dahulu merupakan Negara Pulau dalam syair (bini) disebut Ndana Kona do Nusa Lai. Nusak Ndana kemungkinan diambil dari nama moyang pertama yang menemukan/mendiami pulau ini. Sedangkan, Nusa Lai adalah pulau kosong (pulau karang), termasuk wilayah Kerajaan/Nusak Lole yang terletak di laut bagian Selatan. Nama pulau ini berasal dari nama moyang Nusa Lai. Anak dari Nusa Lai dan moyang Ndana memiliki hubungan keluarga, sehingga dalam bahasa ritual disebut Ndana Kona do Nusa Lai. Masyarakat Ndana telah dimusnahkan oleh Nale Sanggu bersama orang-orang Thie sebagai wujud balas dendam merekaatas kematian ayahnya (Sangguana) oleh Raja Ndana (Takala’a). Sangguana dibunuh oleh Raja Ndana karena tidak disukai berhubungan dengan anak perempuannya yang bernama Duitaka. Dari pembantaian ini hanya tersisa lima puluh orang saja. Dari merekalah lahir keluarga Mesakh yang saat ini menjadi pemilik adat terhadap Pulau Ndana. Penulis/editor pernah berkata: “Nusak Ndana dahulunya ada, tetapi kini telah tiada. Kini malah di nusak ini telah berdiri Patung Jenderal Besar Sudirman, sehingga orang Rote Ndao menganggap nusak initelah memiliki seorang raja asal Pulau Jawa bernama: “Manek Sudirman” dan orang Rote Ndao menyebut seluruh rakyatnya bernama: “Soldadu” (Tentara Nasional Indonesia: TNI)”.

Legenda Sangguana sudah dikenal luas diantara komunitas-komunitas suku Thie. Dasar legendanya sama, namun terdapat beberapa versi yang berhubungan dengan diakhirinya pemukiman di Pulau Ndana di masa lalu. Versi umum mengatakan hampir penduduk Ndana dipunahkan oleh Nale Sanggu. Versi lain menyebutkan bahwa hanya keluarga raja saja yang dimusnahkan sedangkan penduduk lainnya melarikan diri. Tetapi ada pula versi yang mengatakan sesudah pembunuhan atas keluarga Raja Ndana, seluruh penduduk Pulau Ndana melarikan diri dan kemudian bermukim ke daratan Rote. Versi terakhir, lebih cenderung memelihara keutuhan dan kesatuan seluruh komunitas suku Thie mengatakan bahwa penduduk Pulau Ndana dipaksa pindah ke daratan Rote berhubung pulau ini sering diserang oleh pembajak laut (“Badalao”).

3.1. Sangguana Pencipta Sasando

Seorang penduduk Desa Namotane bernama Sangguana bersama pamannya bernama Manukoa berlayar meninggalkan Daehenda dengan sebuah biduk untuk mencari ikan. Namun mereka diserang badai, sehingga terdampar di pantai sebuah pulau. Pantai tempat mereka mencari perlindungan itu disebut Fufu, tetapi di kemudian hari diberi nama Sangguana. Dalam upaya mempertahankan hidup mereka sambil menunggu badai reda, mereka mencari kepiting dan kerang serta ikan-ikan kecil di pantai.

Beberapa hari kemudian, mereka ditemukan oleh penduduk pulau iutu lalu dibawa menghadap raja, yang istananya terletak di tengah pulau lalu mereka ditahan sambil menunggu badai reda. Nama raja negeri itu Taka La’a, berdiam di Nusak Lain. Sedangkan, fetornya bernama Leo La’a, bermukim di Oehenda. Raja Taka La’a mempunyai beberapa orang putri yang cantik. Setiap bulan purnama, seluruh rakyat berkumpul di Hus Dale untuk mengadakan tarian berkelompok “kebak” (Kebalai) sambil diiringi nyanyian syair-syair. Sejak Sangguana datang ke pulau itu, keramaian kebak bertambah semarak, karena syair-syairnya indah dan suaranya merdu sekali. Tak seorangpun yang tidak datang ke keramaian bulan purnama itu karena keberadaan Sangguana. Seorang di antara putri raja Taka La’a diam-diam jatuh cinta pada Sangguana.

Setiap hari hati sang putri merindukan Sangguana. Suatu ketika Sangguana dipanggil oleh putri raja menghadap ke istana sekadar untuk melihat wajahnya sambil melepas rindu. Ketika ditanyai mengapa Sangguana dipanggil ke istana, sang putri menjawab untuk mengelak perasaannya bahwa Sangguana di dimintanya menciptakan sebuah alat permainan yang baru untuk menghibur rakyat, di samping keramaian kebak yang sudah dikenal. Demikianlah Sangguanan diperintahkan menciptakan benda itu.

Sangguana paham bahwa perintah itu tak langsung dari putri itu mengandung ancaman maut dari pihak raja. Andaikata dalam tenggang waktu yang sudah ditentukan itu ia tidak dapat menciptakan alat itu, mustahillah ia dapat bebas. Namun seandainya berhasil menciptakan alat itu, ia mustahil dapat melepaskan dirinya dari sang putri yang telah jatuh cinta kepadanya untuk kembali bertemu dengan istrinya di kampung halamannya di Daehenda.

Berhari-hari lamanya Sangguana risau dengan bunyi perintah itu. Sambil gelisah memikirkan nasibnya dan hatinya gundah tentang alat keramaian itu, ia jatuh tertidur. Ia bermimpi tentang sebuah alat terbuat dari sebuah bambu. Alat itu akan mengeluarkan bunyi yang indah. Ketika terbangun, mimpi itu tetap lengket dalam ingatannya. Sambil memikir-mikirkan mimpinya, ia berjalan meuju ke pantai. Ketika tiba di pantai, ia menemukan sebatang bambu yang terdampar di situ di bawa arus laut. Bambu itu dibawanya pulang. Menurut mimpinya, Sangguana mengerat bambu itu lalu diambilnya seruas. Dipilihnya semacam senar dari serat akar gantung beringin lalu dikaitkannya pada kedua ujung ruas bambu itu, dan diberinya sebuah penyangga. Ketika senar itu dipetik, keluarlah bunyi. Tetapi bunyinya tunggal saja lalu dipilihnya lagi beberapa helai senar kemudian dipasangkan pada ruas bambu itu dan diberinya penyangga.

Berhari-hari lamanya Sangguana tinggal di dalam rumahnya sambil mencoba memainkan alat musik ciptaannya. Mulailah ia memetik senarnya lalu terdengarlah bunyi yang indah. Ia mencoba sambil terus berlatih dengan temuan alat temuannya yang baru selama berhari-hari. Sang putripun sangat merindukan Sangguana karena sudah berhari-hari tidak pernah melihat wajahnya. Dengan sembunyi-sembunyi pergilah sang putri ke rumah Sangguana. Ketika mendekat, sang putri terhenyak mendengar suatu bunyi yang aneh tetapi amat merdu dari dalam rumah Sangguana. Sang putri sangat terpesona mendengar Sangguana bernyanyi menggunakan seruas bambu yang mengiringinya bernyanyi aneh dan indah. Ia menanyakan nama alat musik itu, tetapi Sangguanapun tidak mengetahui apa nama alat musiknya. Jika senar itu digetarkan (sando), karena dipetik (sari), ia mengeluarkan bunyi. Sangguana menjawab kepada sang putri bahwa alat musik penemuannya bernama “Sari Sando”. Sang putri pun jatuh cinta kepada Sangguanan dan Sari Sandonya. Ia memerintahkan Sangguana datang ke istana utnuk mengajarinya memetik Sari Sando itu. Sangguana menyiapkan sebuah Sari Sando yang baru dibuatnya dengan tujuh senar dan dinamakanhya “Depohitu”.

Sejak saat itu, Sangguana dengan bebas masuk keluar istana, entah siang maupun malam hari, sebagai pelatih Sari Sando Depohituk sang putri raja, kapanpun sang putri menyuruhnya datang. Tetapi akibat kebebasan tidaklah mendatangkan kebaikan bagi Sangguana. Sang putri menginginkan lebih dari sekadar berlatih Sari Sando. Ia menyerahkan dirinya ke dalam pelukan Sangguana lalu hamillah sang putri raja.

Raja Taka La’a sangat gusar ketika mengetahui bahwa putrinya dihamili Sangguana. Bagi sang Raja, Sangguanalah hanya seorang pelatih Sari Sando bagi putrinya, bukanlah suaminya. Sangguana diperintahkan oleh raja untuk diajukan ke pengadilan para tua adat negerinya. Para Tua Adat menyesalkan peristiswa memalukan yang dilakukan Sangguana terhadap putri raja. Selama ini mereka senang dengan kehadiran Sangguana. Tetapi mereka harus mengangkat muka raja mereka, sehingga mereka sepakat menjatuhkan hukuman mati bagi Sangguanan dan pamannya Manukoa. Keduanya dibakar hidup-hidup. Berita kematian Sangguana dan Manukoa disampaikan oleh teman mereka, seorang penduduk asli Ndana kepada istri Sangguana di Desa Namotane.

3.2. Istri Sangguana Melahirkan Nale Sanggu dan Menemukan Nama Pulau Ndana

Sementar itu, istri Sangguana telah melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama Nale Sanggu. Ia seorang anak penggembira. Setiap kali ia menang dalam suatu permainan, ia berseru-seru karena gembira. Tetapi teman-temannya mengejeknya sebagai anak tak punya ayah tidak seperti mereka. Nale Sanggu menanyakan nama ayahnya kepada ibunya. Setiap kali ditanyai, ibunya selalu menjawab bahwa ayahnya pergi berlayar mencari ikan di laut. Tetapi oa balik bertanya mengapa begitu lama ayahnya pergi meninggalkan mereka? Kemudian ibunya berkisah bahwa ayahnya telah mati dibunuh di sebuah pulau. Lalu ditanya Nale Sanggu lagi: “Di pulau yang mana?” Ibunya menjawab sambil menunjuk ke arah pulau yang di seberang: “Nda na!” (‘Sebenarnya di sana!). sejak saat itulah pulau itu dikenal oleh orang Thie dengan nama : “Ndana”.

Nale Sanggu menemukan sebuah pedang milik ayahnya di loteng rumah mereka lalu dibawanya turun dari loteng rumah mereka. Sambil mengasahnya, Nale Sanggu bersumpah hendak membalas dendam kepada penduduk Pulau Ndana yang telah menghabisi nyawa ayahnya. Setiap hari setelah mengasah pedangnya, dicobanya menebas sesuatu untuk menguji ketajaman pedangnya. Nale Sanggu mengajak ibunya menyaksikan ketajaman pedangnya ketika dicobanya menebas sebatang pisang. Sekali tegas, putus. Kemudian dikebatnya tujuh lembar pelepah lontar menggunakan pedangnya yang terus diuji ketajamannya. Kebatan pelepah lontar itu putus sekali sabet. Ia bertanya kepada ibunya, seberapa kekarkah tubuh manusia di Pulau Ndana. Ibunya menjawab: “Hanya sekekar batang pisang!”. Kini Nale Sanggu sudah siap hendak menumpas habis penduduk Ndana. Sebelum pergi ke Ndana, Nale Sanggu mencari hasihat dari para tua-tua negerinya tentang bagaimana strategi menaklukkan Ndana. Ia dinasihatkan membawa seekor kerbau belang ke Ndana dan menempatkannya di tengah Danau OE Mbilas pada malam hari. Penduduk Ndana akan datang menonton kerbau belang itu, karena belum pernah mereka melihatnya. Ia harus bersembunyi di lorong masuk ke istana raja dan membunuh semua penduduknya di situ ketika mereka usai menonton kerbau belangnya.

Nale Sanggu dengan temannya mengambil seekor kerbau belang lalu membawanya menggunakan biduk menuju Pulau Ndana. Temannya disuruh membawa serta sepucuk bedil yang telah diisi dengan mesiu. Bedil itu harus ditembakkannya atas aba-aba Nale Sanggu. Setelah malam hari tibalah mereka membawa kerbau itu dan menempatkannya di tengah danau OE Mbilas yang terletak di depan Nusak Lain.

Ketika pagi hari tiba, ada penduduk yang menjadi panik melihat adanya keajaiban di tengah danau. Seluruh isi negeri itu berbondong-bondong datang untuk melihat binatang ajaib itu. Sementara penduduk berkerumun menonton binatang ajaib itu, Nale Sanggu memberi aba-aba kepada temannya untuk menembakkan bedilnya. Mendengar letupan bedil itu, semua penduduk panik dan berlarian meninggalkan danau mencari perlindungan ke istana yang terletak di Nusak Lain.

Nale Sanggu telah siap menunggu kedatangan mereka di ujung tangga sempit menuju istana raja. Setiap penduduk yang naik ke atas disabetnya dan dijatuhkan ke dalam ngarai. Pedangnya yang berlumuran daran itu dibersihkannya di danau, yang menyebabkan airnya merah hingga kini. Masyarakat Thie mennamakan danau itu OE Mbilas (Air Merah) sebagai peringatan atas peristiwa Nale Sanggu tersebut.

Akibatnya, punahlah penduduk Ndana, kecuali seorang wanita bernama Loe’La’a, seorang wanita bangsawan dari Marga Raja Taka La’a yang telah membantu Nale Sanggu menuju Danau OE Mbilas pada malam sebelummya. Lo’eLa’a kemudian kawin dengan pemuda Thie dan anak-anaknya memakai keturunan Ndana, walaupun ibunya berdarah Ndana. Nale Sanggu mengambil Sari Sando ciptaan ayahnya lalu bersama Lo’eLa’a kembalilah mereka ke Daehenda. Sejak saat itu, Sari Sando diperkenalkan kepada penduduk Thie. Kini masyarakat umum mengenalnya alat musik itu dengan sebuah nama populer: “Sasando”. Dalam bentuk modernnya, Sasando diberi 48 helai senar dan disebut : “Sasando Biola” di susul : “Sasando Elektronik” yang diberi pengeras suara.

Contoh Sasando Biola dan Sasando Elektronik

Beberapa tahun setelah perisitiwa itu, maka anak Raja Termanu meminang anak Raja Thie dan sebagai mas kawin (belis) anak Raja Thie menuntut banyak binatang untuk disembelih dan sepasang rusa yang dilepas ke Pulau Ndana. Akibatnya, hingga kini jenis fauna yang paling dominan terdapat di Pulau Ndana adalah rusa Timor (servusTimorensis).

3.3. Status Kepemilikan Pulau Ndana

Sekilas tentang sejarah musnanya pemukiman di Pulau Ndana berawal pada tahun 1680 dimana terjadi pembantaian di Kerajaan Ndana oleh Nale Sanggu bersama orang-orang Thie sebagai wujud balas dendamnya atas kematian ayahnya (Sangguana) oleh Raja Ndana (Takala’a). Sangguana dibunuh oleh Raja Ndana karena tidak disukai berhubungan dengan anak perempuannya yang bernama Duitaka. Dari pembantaian ini hanya tersisa lima puluh orang saja. Dari merekalah lahir keluarga Mesakh yang saat ini menjadi pemilik adat terhadap Pulau Ndana. Keluarga Mesakh pemegang hak ulayat atas Pulau Ndana yang dikukuhkan Pengadilan Negeri setempat pada 8 Januari 1909. Pulau itu juga sudah ditetapkan sebagai taman buru nasional sesuai keputusan Menteri Kehutanan tahun 1993.

Sejak tahun 1993 Pulau Ndana telah ditetapkan sebagai Kawasan Taman Buru dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 83/Kpts-II/1993 dengan luasan mencapai 1.562 ha. Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat diselenggarakannya perburuan secara teratur. Meskipun sebagai taman buru, tidak berarti semua orang dapat berburu seenaknya. Perburuan satwa buru diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian manfaat dengan memperhatikan populasi, daya dukung habitat dan keseimbangan ekosistem. Pihak yang akan berburu harus mengantongi surat izin berburu (Permenhut No. P.18/Menhut-II)2010) yang diterbitkan oleh Kepala UPT KSDA setempat atau pejabat yang ditunjuk. Terkait dengan perburuan di Pulau Ndana, pihak yang akan berburu juga harus mendapat izin dari Keluarga Mesakh.Satwa yang dimaksud sebagai buruan di Pulau Ndana adalah rusa timor (Cervus timorensis). Satwa ini memang tidak termasuk satwa langka, namun dilindungi menurut Cites (convention on international trade in endangered species of Wild Fauna and Flora) dalam apendik II. Artinya bahwa kalau tidak diatur (dibatasi) dalam pemanfaatannya, satwa tersebut dapat punah.

Secara administrasi pemerintah, Kawasan Taman Buru Pulau Ndana berada dalam pemangkuan Resort KSDA Taman Buru Pulau Ndana, Seksi Konservasi Wilayah II Camplong, Bidang KSDA Wilayah I SoE, Balai Besar SKDA NTT. Namun secara adat masih diakui sebagai milik Keluarga Mesakh yang masih ada di Pulau Rote. Sejak tahun 2006, Pulau Ndana dijaga oleh Satuan Tugas Pengamanan Pulau Terluar (Satgas Pam Puter) yang merupakan gabungan dari Marinir dan TNI AD. Disamping itu juga ada pos pemantauan dari Lantamal VII Kupang. Keluarga Mesakh memberikan hak kepada TNI untuk menggulakan lahan di Pulau Ndana untuk dijadikan markas pengamanan pulau terluar.Dalam perjanjian antara TNI dan Keluarga Mesakh disebutkan melarang anggota TNI untuk mengambil sarang burung walet di 125 gua, menembak rusa dan menjaga hutan tersebut agar tetap utuh. Surat perjanjian itu tidak berlaku lagi, jika terjadi pelanggaran. Terhitung sejak Senin, 2 Agustus 2010, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso meresmikan Patung Jenderal Sudirman di Pulau Ndana, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Patung itu berdiri di pulau tak berpenghuni seluas 14,19 km persegi atau sekitar 1.400 hektar, yang merupakan pulau terselatan Indonesia.

Sumber Kutipan:

Y.L. Henuk (Penulis/Editor, 2015). Rote Mengajar Punya Cerita. Penerbit Lembaga Penelitian, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun