Oleh: Yusuf Leonard Henuk
Ketika Presiden RI melakukan pertemuan dengan PM Australia di Istana Negara pada tanggal 20 Oktober 2014, penulis telah mengirim tweet sebagai berikut:
@ProfYLH: DEAR @jokowi_do2+@TonyAbbottMHR, PLEASE DISCUSS AGAIN TIMOR GAP WITH TIMOR LESTE BASED ON UNCLOS 1982 BECAUSE UNFAIR" http://pic.twitter.com/0yrqy5e8aa. Lalu disusul ketika penulis membaca berita pada tanggal 21 Oktober 2014: “@hariankompas: Keinginan Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla Menjadikan Indonesia Sebagai Negara Maritim Sudah Tepat @Irmangusman_IG @jokowi_do2 @Pak_JK“ @ProfYLH: “Yth. @@jokowi_do2 & @Pak_JK, WARGA NTT PRO-NEGARA MARITIM“, TAPI DISKUSI ULANG CELAH TIMOR BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB TAHUN 1982, KARENA AUSTRALIA CAPLOK LAUT TIMOR“. Kini disampaikan “Pokok-Pokok Pikiran Prof. Yusuf L. Henuk Kepada Presiden/Wakil Presiden RI Terkait Permasalahan Pokok Laut Timor Yang Menguntungkan Australia, Tapi Merugikan Masyarakat Nusa Tenggara Timur“ berdasarkan pustaka yang telah penulis presentasikan di konferensi nasional dan internasional maupun telah penulis terbitkan di media massa lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT).
PENGANTAR
Konferensi Warisan Otoritarianisme Demokrasi & Tirani Modal, Kampus FISIP UI Depok, 5 – 7 Agustus 2008:
ABSTRAK
MOU 1974 (INDONESIA-AUSTRALIA): WARISAN OTORITARIANISME INDONESIA DI LAUT TIMOR YANG MERUGIKAN ORANG TIMOR DAN
ORANG ROTE DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Y.L. Henuk, M.A.Noach, F. Tanoni, S.H. Ardani, Alemina, dan A.N.P. Lango
(Kelompok Pencari Keadilan bagi Orang Timor dan Orang Rote di Laut Timor)
Laut Timor yang berbatasan langsung dengan Australia memiliki dua masalah pokok yang sangat merugikan Orang Timor dan Orang Rote di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu: (1) Celah Timor (Timor Gap) dan (2) Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dengan “MoU Box”. Kedua masalah ini timbul sebagai akibat adanya Nota Kepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang dibuat oleh Pemerintah Otoritarianisme Indonesia (Orde Baru) dengan Pemerintah Australia pada tanggal 7 November 1974. Lahirnya MoU ini memperkuat Australia mengklaim batasnya dengan Laut Timor terlalu jauh memasuki bibir pantai Pulau timor sehingga menyebabkan 70% kandungan isi Laut Timor menjadi milik Australia. Akibatnya, merugikan semua Orang Timor, yaitu: (1) Kupang, (2) Kota Kupang, (3) Timor Tengah Selatan, (4) Timor Tengah Utara, (5) Belu, dan (6) Rote Ndao.
Kini masalah Celah Timor sudah menjadi milik Timor Leste setelah lepas dari Indonesia tahun 1999 dan Pemerintah Indonesia telah mengakui batas laut antara Indonesia dan Australia sudah selesai sejak ditandatanganinya Perjanjian Timor Gap yang dibuat oleh Indonesia dan Australia pada tanggal 11 Desember 1989. Namun perjanjian ini belum sah karena belum diratifikasi sehingga tidak menutup kemungkinan dilakukan perundingan ulang batas negara di Laut Timor mengingat kini sudah ada tiga negara di kawasan ini. Akibatnya, garis batas Laut Timor tidak adil yang lebih menguntungkan Australia masih bisa diperjuangkan oleh Indonesia menggunakan Garis Tengah (Median Line) sesuai ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil mengingat Timor Leste yang baru ‘merdeka kemarin’telah menggunakannya dengan Australia, sedang Indonesia telah merdeka lama tidak menggunakannya dengan Australia.
Terkait masalah Gugusan Pulau Pasir (lihat Peta 1), nelayan Indonesia Timur terutama dari Pulau Rote lebih banyak diberitakan [hingga kini] menderita dan dirugikan sebagai akibat adanya MoU ini. Kebun (garden) tempat mereka mencari nafkah di halaman belakang rumah (backyard) mereka di Pulau Pasir yang sudah lama mereka lakukan turun-temurun sejak ratusan tahun silam telah hilang. Bahkan mereka dicap telah melakukan “illegal fishing” di Laut Timor setelah MoU 1974 ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia dan “MoU Box” berlaku efektif tanggap 1 Pebruari 1975. Banyak nelayan asal Pulau Rote gugur di Laut Timor sebagai akibat adanya MoU 1974 melarang mereka menggunakan alat penangkapan ikan modern, tetapi harus tetap menggunakan alat penangkapan ikan tradisional di era serba modern ini. Konsekwensinya ada des di Rote timur yang dijuluki “Desa Janda” karena kebanyakan laki-lakinya gugur di Laut Timor. Sejak tahun 1974 sampai sekarang, banyak nelayan miskin dari Indonesia Timur asal “Kabupaten Busung Lapar” (Rote Ndao) selalu ditangkap, dipukul, perahu mereka diseret ke dalam wilayah perairan Australia lalu ditangkap. Kemudian kapal mereka dimusnahkan, lalu mereka diadili dan dihukum di Australia.
Namun para nelayan ini tidak akan pernah berhenti ke sana karena Pulau Pasir sudah merupakan kebun tempat mereka mencari nafkah turun-temurun yang terletak persis di halaman belakang rumah mereka yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka dengan jarak Pulau Pasir dari Pulau Rote hanya sekitar 140 km (± 60 mil), sedangkan jarak Pulau Pasir dari daratan Australia cukup jauh sekitar 300 km (± 300 mil) (lihat Peta 1). Selain itu, tidak ada tembok pembatas di Laut Timor yang berdiri kokoh seperti tembok pembatas antar Jerman Timur dan Jerman Barat yang sudah runtuh pada tanggal 10 November 1989 sehingga banyak nelayan Rote seringkali ditangkap karena perahu mereka tidak dibolehkan menggunakan alat pelayaran modern yang memudahkan mereka mengetahui posisi mereka mencari nafkah di Laut Timor. Oleh karena itu, “MoU Box” (lihat Peta 1) yang dibuat untuk nelayan Indonesia dengan hanya membolehkan mereka menggunakan alat pelayaran tradisional selama melaut di Laut Timor harus ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan umum yang berlaku dalam dunia pelayaran sekarang yang sudah serba modern. Deklarasi PBB tentang Hak Penduduk Asli (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People) yang telah berlaku sejak 13 September 2007 yang telah berlaku pada penduduk asli Australia (Aborigin) seharusnya diberlakukan juga bagi nelayan tradisional Rote yang telah lama mencari nafkah tidak untuk tujuan komersial tetapi semata-mata untuk menghidupi keluarga mereka (subsisten) di Laut Timor dan Gugusan Pulau Pasir. Tulisan ini membahas (1) Celah Timor (Timor Gap) dan (2) Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dengan “MoU Box” dari MoU 1974 yang telah banyak merugikan semua warga negara Indonesia yang mendiami enam kabupaten di daratan Timor dan Rote Ndao dalam wilayah Provinsi NTT yangberbatasan langsung dengan Laut Timor.
POKOK-POKOK PIKIRAN PROF. YUSUF L. HENUK SOAL LAUT TIMOR
[1]. Prof. YLH:..“Kembalikan Laut
Timor: 70 Persen Isi Laut Timor
Milik Australia“(Timorense, 21–27 November 2011: 17)
KITA boleh berbangga dengan kekayaan alam dan laut yang ada di NTT, khusus Laut Timor. Walaupun demikian, ternyata Laut Timor masih menyimpan sejumlah persoalan krusial. Ironisnya, 70 persen isi Laut Timor dikuasai Australia. Padahal, berdasarkan UNCLOS 1982 yang menerapkan garis tengah (Median Line), memberikan keuntungan bagi Indonesia dan NTT. Mengapa perjanjian UNCLOS 1982 tidak diterapkan dalam perundingan mengenai batas laut Indonesia dan Australia?
Adalah Profesor Yusuf Leonard Henuk, dalam percakapan dengan Timorense mengemukakan, Laut Timor yang berbatasan langsung dengan Australia memiliki dua masalah pokok yang sangat merugikan orang Timor dan orang Rote di NTT. Pertama, Celah Timor (Timor Gap) dan dua, gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dengan “MoU Box”. Kedua, masalah ini timbul sebagai akibat adanya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/ MoU) yang dibuat oleh Pemerintah Otoritarianisme Indonesia (Orde Baru) dengan Pemerintah Australia pada tanggal 7 November 1974.
"Lahirnya MoU ini memperkuat Australia. Bahkan Australiamengklaim batasnya dengan Laut Timor terlalu jauh memasuki bibir pantai Pulau Timor. Sehingga menyebabkan 70% kandungan isi Laut Timor menjadi milik Australia," tandas Prof. YLH, demikian sapaan akrabnya seraya menambahkan akibatnya,merugikan semua orang Timor dan orang Rote. Kerugian itu menimpa warga negara Indonesia di Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu serta Rote Ndao.
Menurut Profesor YLH, MoU 1974 yang telah dibuat oleh Indonesia dan Australia pada tanggal 7 November 1974 bukanlah sebuah perjanjian tentang batas kedaulatan Indonesia dan Australia, melainkan hanya sebuah Nota Kesepahaman biasa yang mencoba mengatur tentang hak-hak nelayan tradisional Indonesia yang beraktivitas di Laut Timor sejak 450 tahun silam jauh sebelum Australia terbentuk menjadi negara Federal.
Bahkan sejarah mencatat, perundingan bilateral antara Indonesia dan Australia terkait Laut Timor, terdiri dari lima tahap. Tahap pertama, isi nota kesepahaman atau MoU antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Australia pada tahun 1974 mengenai Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf”, atau yang dikenal MoU Box 1974 – mengatur tentang hak dan kewajiban nelayan tradisional, ketentuan penangkapan ikan, dan ketentuan lainnya di Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1974.
Kedua, pada tahun 1981 Australia dan Indonesia menghasilkan: “Memorandum of Understanding between the Republic of Indonesia and the Government of Australia Concerning the Implementation of Provisional Fisherries Surveillance and Enforcement Arrangement” atau yang disebut kesepahaman sementara antara kedua negara dalam implementasi pengawasan daerah perikanan dan tindak lanjut dari perjanjian 1974. Dan ketiga, pada tanggal 2 Maret 1989 para pejabat yaitu Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas dan Senator Luar Negeri Australia Gareth Evans mendiskusikan dan membahas tentang aktivitas kapal dan nelayan Indonesia di daerah perikanan Australia (Australian Fishing Zone) mulai dari Pantai Barat Australia sampai pada Laut Arafura serta kawasan perairan antara Pulau Jawa dan Pulau Christmas.
Tahapan keempat, pada tahun 1989 Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia menghasilkan lagi kesepakatan “Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Australia and Indonesia on Fisheries” atau yang disebut kesepakatan pertemuan yang disetujui antara pejabat Australia dan Indonesia pada daerah perikanan pada tanggal 28 April 1989. Dan tahapan terakhir, pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth, Australia dilaksanakan perjajian kesepakatan tentang penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan batas-batas laut tertentu serta tidak mengurangi hak tradisional nelayan Pulau Rote untuk menangkap ikan di Gugusan Pulau Pasir.
Masih menurut Prof YLH, Perjanjian Perth 1997 ini yang dikenal dengan Perjanjian Kerjasama RI dan Australia tentang ZEE dan batas-batas dasar laut tertentu di Laut Timor dan Laut Arafura, tercakup pula didalamnya Gugusan Pulau Pasir hingga saat ini belum diratifikasi. Perjanjian yang hanya berisi 11 pasal tersebut dengan jelas menyatakan (Pasal 11) bahwa: “Perjanjian ini harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran piagam-piagam ratifikasi”, akan tetapi Indonesia sendiri belum meratifikasi perjanjian ini dalam hukum internalnya, sehingga perjanjian ini secara praktis belum berlaku.
"Bahwa Indonesia dan Australia telah menantangani beberapa kesepakatan perjanjian dari tahun 1971–1997, meliputi penentuan batas kedaulatan kedua negara, hak-hak nelayan tradisional Indonesia hingga ZEE, termasuk juga kerjasama dalam bidang perikanan yang semuanya terkesan sangat menguntungkan Australia. Akibatnya, Australia berhasil menguasai sebagian besar Laut Timor (sekitar 85%)," tandas Prof. YLH dan menambahkan bisa dibayangkan ZEE Australia ditentukan sampai titik pertengahan antara Pulau Rote dan Gugusan Pulau Pasir yang hanya berjarak sekitar 80 km dari Pulau Rote.
Dalam perpektif demikian, tandas Prof. YLH, pihaknya telah mengangkat empat poin penting yang dapat menjadi dasar utama perjuangan yang sangat kuat bagi seluruh rakyat NTT (Indonesia) dalam upaya memdapatkan kembali hak seluruh rakyat Indonesia di Laut Timor dan Gugusan Pulau Pasir, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Ketua DPRD NTT dan jajarannya dengan Komandan Lantamal VIII Kupangpada tanggal 25 Juni 2008 di ruang Rapat Komisi B Gedung DPRD NTT.
Adapun ke-4 poin penting dimaksud adalah: (1) Buku Putih Departemen Pertahanan Republik Indonesia– “Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad ke-21“ Bab III Konteks Strategis: “perjanjian Perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas ZEE mengacu pada Perjanjian RI-Australia yang ditanda-tangani pada tanggal 14 Maret 1997, yakni penentuan batas baru kedua negara perlu dibicarakan secara trilateral dengan Timor Leste; (2) Perjanjian terakhir antara RI-Australia pada tanggal 14 Maret 1997, belum sah karena belum diratifikasi oleh kedua negara sesuai Pasal 11 perjanjian ini yang menyatakan bahwa: “perjanjian ini harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran piagam-piagam ratifikasi“; (3) Indonesia perlu perjuangkan Garis Tengah (Median Line) sesuai ketentuan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil mengingat Timor Leste yang baru ‘merdeka kemarin‘ (1999–2011) telah menggunakannya dengan Australia, sedang Indonesia yang telah mendeka lama (1945–2011) tidak menggunakannya dengan Australia–bahkan Australia telah menggunakannya dengan tetangganya, Selandia Baru; dan (4) Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa terbaru tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang telah berlaku sejak 13 September 2007 telah menjamin hampir semua masyarakat adat di dunia untuk dapat mengklaim daratan dan wilayah kelautan mereka yang telah lama mereka diami jauh sebelum para penjajah datang menjajah dan mencaplok wilayah-wilayah mereka.
Padahal, dalam kaitan dengan ZEE, ZEE diartikan, sebagai “bagian laut selebar 200 mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial. Zona ini dititipkan kepada semua negara pantai, negara kepulauan dan negara-negara pulau, sebagai warisan umat manusia”. Bahkan Pasal 74 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa ZEE antara negara-negara dengan pantai-pantai yang berhadapan atau yang bersebelahan letaknya haruslah dilakukan dengan kesepakatan atas dasar hukum internasional sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 38 Undang-undang Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam usaha mencapai suatu pemecahan yang wajar.
Oleh karena itu, Indonesia dan Australia seharusnya menerapkan Garis Tengah (Median Line) di perbatasan perairan di Laut Timor sesuai ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 308 UNCLOS 1982 yang telah ditandatangani oleh 119 negara di Teluk Montego, Jamaika pada 10 Desember 1982 telah berlaku dan mengikat semua negara yang menandatanganinya terhitung sejak 16 November 1994. (*)
[2]. ZEE RI-Australia Harus Gunakan
Garis Tengah (Timor Express, 8 Maret 2012: 4)
SENANGmembaca berita di media ini berjudul: “Landas Kontinen RI-Australia Belum Disepakati” yang merupakan rangkuman`berita dari Seminar Nasional Perbatasan Negara di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta (Kamis, 1/3) bertajuk: “Mewujudkan Wilayah Perbatasan Menjadi Halaman Depan RI” (Timor Express, Senin, 5 Maret 2012: 7). Dalam seminar nasional ini terungkap untuk batas laut, khususnya, terdapat tiga segmen batas laut teritorial, batas landas kontinen maupun batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang belum selesai adalah RI-India, RI-Filipina, RI-Thailand, RI-Palau, RI-Timor Leste dan RI-Australia. Tulisan ini fokus pada perbatasan ZEERI-Australia di Laut Timor.
Pokok Permasalahan di Laut Timor
Laut Timor yang berbatasanantara RI-Australia memiliki dua masalah pokok yang sangat merugikan orang Timor dan orang Rote di NTT. Pertama, Celah Timor (Timor Gap) dan kedua, Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dengan “MoU Box”. Kedua masalah ini timbul sebagai akibat adanya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang dibuat oleh Pemerintah Otoritarianisme RI (Orde Baru) dan Pemerintah Australia pada tanggal 7 November 1974. Lahirnya MoU ini memperkuat Australia untuk mengklaim batasnya dengan Laut Timor terlalu jauh memasuki bibir pantai Pulau Timor. Sehingga menyebabkan 70% kandungan isi Laut Timor menjadi milik Australia. Kerugian besar ini menimpa semua warga negara Indonesia yang mendiami Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu serta Rote Ndao. Namun, MoU 1974 antara RI-Australia yang telah dibuat pada tanggal 7 November 1974 bukanlah sebuah perjanjian tentang batas kedaulatan RI-Australia, melainkan hanya sebuah MoU biasa yang mencoba mengatur tentang hak-hak nelayan tradisional Indonesia yang beraktivitas di Laut Timor sejak 450 tahun silam jauh sebelum Australia terbentuk menjadi negara Federal.
Tahap-tahap Perundingan RI-Australia
Sejarah mencatat, perundingan bilateral RI-Australia terkait Laut Timor, terdiri dari lima tahap. Tahap pertama, isi nota kesepahaman atau MoU antara RI-Australia pada tahun 1974 mengenai Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf”, atau yang dikenal MoU Box 1974–mengatur tentang hak dan kewajiban nelayan tradisional, ketentuan penangkapan ikan, dan ketentuan lainnya di Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1974.
Kedua, pada tahun 1981 RI-Australia menghasilkan: “Memorandum of Understanding between the Republic of Indonesia and the Government of Australia Concerning the Implementation of Provisional Fisherries Surveillance and Enforcement Arrangement” atau yang disebut kesepahaman sementara antara kedua negara dalam implementasi pengawasan daerah perikanan dan tindak lanjut dari perjanjian 1974. Dan ketiga, pada tanggal 2 Maret 1989 para pejabat yaitu Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas dan Senator Luar Negeri Australia Gareth Evans mendiskusikan dan membahas tentang aktivitas kapal dan nelayan RI di daerah perikanan Australia (Australian Fishing Zone: AFZ) mulai dari Pantai Barat Australia sampai pada Laut Arafura serta kawasan perairan antara Pulau Jawa dan Pulau Christmas.
Tahapan keempat, pada tahun 1989 Pemerintah RI-Australiamenghasilkan lagi kesepakatan “Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Australia and Indonesia on Fisheries” atau yang disebut kesepakatan pertemuan yang disetujui antara pejabat Australia dan Indonesia pada daerah perikanan pada tanggal 28 April 1989. Dan tahapan terakhir, pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth, Australia dilaksanakan perjajian kesepakatan tentang penetapan batas ZEE dan batas-batas laut tertentu serta tidak mengurangi hak tradisional nelayan Pulau Rote untuk menangkap ikan di Gugusan Pulau Pasir. Perjanjian Perth 1997 ini yang dikenal dengan Perjanjian Kerjasama RI-Australia tentang ZEE dan batas-batas dasar laut tertentu di Laut Timor dan Laut Arafura, tercakup pula didalamnya Gugusan Pulau Pasir hingga saat ini belum diratifikasi. Perjanjian yang hanya berisi 11 pasal tersebut dengan jelas menyatakan (Pasal 11) bahwa: “Perjanjian ini harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran piagam-piagam ratifikasi”, akan tetapi Indonesia sendiri belum meratifikasi perjanjian ini dalam hukum internalnya, sehingga perjanjian ini secara praktis belum berlaku.
RI Perlu Perjuangkan Garis Tengah
Australia telah mengumumkan pada tanggal 1 November 1979 diberlakukannya Zona Perikanan Australia (AFZ) yang batas terluarnya 200 mil dari garis dasar Laut Teritorial Australia yang diukur berdasarkan garis air surut (normal baselines) di sepanjang pantainya yang luas seluruh AFZ sekitar 7 juta km2. Garis Batas Terluar AFZ ini menghubungkan sebanyak 750 titik pangkal yang berada di sekeliling benua Australia, 58 buah dari titik pangkal tersebut (Titik No. 91–148), terdapat beberapa bagian yang tumpang tindih dengan ZEE RI. Misalnya, Titik No. 138–148 tumpang tindih dengan Titik A. 12 sampai ke A.3.Dan mulai dari Titik 138 (A.12) mulai membelok ke Barat Daya (sebelah Selatan Pulau Rote milik Indonesia) dimana terdapat Pulau Pasir (Ashmore dan Cartier) milik Australia serta beberapa pulau karang lainnya di sebelah Selatannya sampai ke Titik No. 91 yang berada di di sebelah Selatan Pulau Jawa, dekat Christmas Island. Untuk mengatasi tumpang tindih ZEE kedua negara, maka RI perlu merundingkan kembali kerja sama bilateral tentang perbatasan perairan di wilayah yang tumpang tindih tersebut di atas.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Pasal 3 dapat juga dijadikan dasar perjuangan RI seperti terkutip: (1) Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan; (2) Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia termaksud. Dalam Penjelasan untuk ayat 2, terbaca: Pasal ini memberikan ketentuan bahwa prinsip sama jarak digunakan untuk menetapkan batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dengan negara tetangga, kecuali jika terdapat keadan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan nasional“.
Singkatnya, RI perlu perjuangkan Garis Tengah (Median Line) di Laut Timor sesuai ketentuan yang diatur juga dalam Pasal 308 dari Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 yang telah ditandatangani oleh 119 negara di Teluk Montego, Jamaika pada 10 Desember 1982, telah berlaku dan mengikat semua negara yang menandatanganinya terhitung sejak 16 November 1994.***
[3]. Urgensi Perjuangan ‘Median Line’
di Laut Timor“(Victory News, Selasa, 3 Juli 2012: 4)
BERITA di media ini berjudul: “RI Harus Tuntaskan Batas Laut dengan Australia dan Timor Leste”, berisi pandangan dari pengamat hukum internasional dari Universitas Cendana (Undana) Kupang,Wilhelmus Wetan Songa bahwa Indonesia harus proaktif menuntaskan persoalan batas wilayah laut dengan Australia dan Timor Leste. Khusus batas laut antara RI-Timor Leste, menurut Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Danlantamal) VII/Kupang, Laksma (TNI) Karma Suta, penentuan batas wilayah laut antara Indonesia dengan Timor Leste masih menunggu finalisasi batas wilayah darat yang sedang dalam tahap perundingan dan yang menjadi rujukan penetapan batas wilayah laut adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Victory News, Selasa, 26 Juni 2012: 3). Akibatnya, tulisan ini lebih menitik-beratkan pada solusi untuk batas wilayah laut antara RI-Australia (RI-OZ) di Laut Timor yang telah memakan banyak korban dari nelayan Indonesia yang ditangkap oleh patroli keamanan Australia dan bahkan banyak diantara mereka yang kini masih mendekam di penjara-penjara di Australia dengan tuduhan memasuki perairan laut Australia secara ilegal.
Laut Timor
Laut Timor yang berbatasanantara RI-OZ memiliki dua masalah pokok yang sangat merugikan orang Timor dan orang Rote di NTT. Pertama, Celah Timor (Timor Gap).Kedua, Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dengan “MoU Box”. Kedua masalah ini timbul sebagai akibat adanya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang dibuat oleh Pemerintah Otoritarianisme RI (Orde Baru) dan Pemerintah Australia pada tanggal 7 November 1974. Lahirnya MoU ini memperkuat Australia untuk mengklaim batasnya dengan Laut Timor terlalu jauh memasuki bibir pantai Pulau Timor. Sehingga menyebabkan 70% kandungan isi Laut Timor menjadi milik Australia. Kerugian besar ini menimpa semua warga negara Indonesia yang mendiami daratan Timor di Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu serta Rote Ndao. Namun, MoU 1974 antara RI-OZ yang telah dibuat pada tanggal 7 November 1974 bukanlah sebuah perjanjian tentang batas kedaulatan RI-OZ, melainkan hanya sebuah MoU biasa yang mencoba mengatur tentang hak-hak nelayan tradisional Indonesia yang beraktivitas di Laut Timor sejak 450 tahun silam jauh sebelum Australia terbentuk menjadi negara Federal.
Tahap-tahap Perundingan RI-OZ
Sejarah mencatat, perundingan bilateral RI-OZ terkait Laut Timor, terdiri dari lima tahap. Tahap pertama, isi nota kesepahaman atau MoU antara RI-OZ pada tahun 1974 mengenai Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf”, atau yang dikenal MoU Box 1974 – mengatur tentang hak dan kewajiban nelayan tradisional, ketentuan penangkapan ikan, dan ketentuan lainnya di Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1974.
Kedua, pada tahun 1981 RI-OZ menghasilkan: “Memorandum of Understanding between the Republic of Indonesia and the Government of Australia Concerning the Implementation of Provisional Fisherries Surveillance and Enforcement Arrangement” atau yang disebut kesepahaman sementara antara kedua negara dalam implementasi pengawasan daerah perikanan dan tindak lanjut dari perjanjian 1974. Dan ketiga, pada tanggal 2 Maret 1989 para pejabat yaitu Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas dan Senator Luar Negeri Australia Gareth Evans mendiskusikan dan membahas tentang aktivitas kapal dan nelayan RI di daerah perikanan Australia (Australian Fishing Zone: AFZ) mulai dari Pantai Barat Australia sampai pada Laut Arafura serta kawasan perairan antara Pulau Jawa dan Pulau Christmas.
Tahapan keempat, pada tahun 1989 Pemerintah RI-OZ menghasilkan lagi kesepakatan “Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Australia and Indonesia on Fisheries” atau yang disebut kesepakatan pertemuan yang disetujui antara pejabat Australia dan Indonesia pada daerah perikanan pada tanggal 28 April 1989. Dan tahapan terakhir, pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth, Australia dilaksanakan perjajian kesepakatan tentang penetapan batas ZEE dan batas-batas laut tertentu serta tidak mengurangi hak tradisional nelayan Pulau Rote untuk menangkap ikan di Gugusan Pulau Pasir. Perjanjian Perth 1997 ini yang dikenal dengan Perjanjian Kerjasama RI-OZ tentang ZEE dan batas-batas dasar laut tertentu di Laut Timor dan Laut Arafura, tercakup pula didalamnya Gugusan Pulau Pasir hingga saat ini belum diratifikasi. Perjanjian yang hanya berisi 11 pasal tersebut dengan jelas menyatakan (Pasal 11) bahwa: “Perjanjian ini harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran piagam-piagam ratifikasi”, akan tetapi Indonesia sendiri belum meratifikasi perjanjian ini dalam hukum internalnya, sehingga perjanjian ini secara praktis belum berlaku.
RI Perlu Perjuangkan Garis Tengah di Laut Timor
Australia telah mengumumkan pada tanggal 1 November 1979 diberlakukannya Zona Perikanan Australia (AFZ) yang batas terluarnya 200 mil dari garis dasar Laut Teritorial Australia yang diukur berdasarkan garis air surut (normal baselines) di sepanjang pantainya yang luas seluruh AFZ sekitar 7 juta km2. Garis Batas Terluar AFZ ini menghubungkan sebanyak 750 titik pangkal yang berada di sekeliling benua Australia, 58 buah dari titik pangkal tersebut (Titik No. 91 – 148), terdapat beberapa bagian yang tumpang tindih dengan ZEE RI. Misalnya, Titik No. 138 – 148 tumpang tindih dengan Titik A. 12 sampai ke A.3.Dan mulai dari Titik 138 (A.12) mulai membelok ke Barat Daya (sebelah Selatan Pulau Rote milik Indonesia) dimana terdapat Pulau Pasir (Ashmore dan Cartier) milik Australia serta beberapa pulau karang lainnya di sebelah Selatannya sampai ke Titik No. 91 yang berada di di sebelah Selatan Pulau Jawa, dekat Christmas Island. Untuk mengatasi tumpang tindih ZEE kedua negara, maka RI perlu merundingkan kembali kerja sama bilateral tentang perbatasan perairan di wilayah laut yang tumpang tindih tersebut di atas.
Dalam UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), Pasal 3 dapat juga dijadikan dasar perjuangan RI seperti terkutip: (1) Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan; (2) Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas ZEEI termaksud. Dalam Penjelasan untuk ayat 2, terbaca: Pasal ini memberikan ketentuan bahwa prinsip sama jarak digunakan untuk menetapkan batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dengan negara tetangga, kecuali jika terdapat keadan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan nasional“.
Singkatnya, RI perlu perjuangkan Garis Tengah (Median Line) di Laut Timor antara RI-OZ sesuai Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI dan Pasal 308 dari Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 yang telah ditandatangani oleh 119 negara di Teluk Montego, Jamaika pada 10 Desember 1982 serta telah berlaku dan mengikat semua negara yang menandatanganinya terhitung sejak 16 November 1994.***
KESIMPULAN
RI perlu perjuangkan Garis Tengah (Median Line) di Laut Timor antara RI-OZ sesuai Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI dan Pasal 308 dari Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 yang telah ditandatangani oleh 119 negara di Teluk Montego, Jamaika pada 10 Desember 1982 serta telah berlaku dan mengikat semua negara yang menandatanganinya terhitung sejak 16 November 1994.Dalam UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), Pasal 3 dapat juga dijadikan dasar perjuangan RI seperti terkutip: (1) Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan; (2) Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas ZEEI termaksud. Dalam Penjelasan untuk ayat 2, terbaca: Pasal ini memberikan ketentuan bahwa prinsip sama jarak digunakan untuk menetapkan batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dengan negara tetangga, kecuali jika terdapat keadan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan nasional“.
DAFTAR PUSTAKA
*) Guru Besar di Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H