Pasal 33 UUD 1945 mengandung amanat welfare state atau negara kesejahteraan. Pasal ini menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, serta mengatur penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi rakyat dan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Konsep ini sejalan dengan prinsip welfare state, di mana negara bertanggung jawab dalam memastikan kesejahteraan sosial dan ekonomi warganya melalui regulasi, kepemilikan aset strategis, serta kebijakan yang melindungi kepentingan rakyat banyak.
Tapi dalam praktiknya, implementasi konsep ini sering kali menjadi perdebatan, terutama dalam konteks privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Menurut kompasioaners, apakah Indonesia sudah cukup merealisasikan semangat welfare state yang terkandung dalam Pasal 33?
Secara ideal, jika merujuk pada amanat welfare state dalam Pasal 33 UUD 1945, peran pemerintah Indonesia seharusnya lebih dari sekadar regulator dan fasilitator. Pemerintah juga harus berperan aktif sebagai pelaku ekonomi dalam sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dalam konteks ekonomi, Pasal 33 ayat (2) dan (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara, serta bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Artinya, negara tidak bisa hanya berfungsi sebagai pengatur dan pemberi insentif bagi swasta, tetapi juga harus memiliki, mengelola, dan memastikan distribusi kesejahteraan. Dalam model welfare state, pemerintah aktif dalam:
- Penyediaan layanan publik (pendidikan, kesehatan, transportasi, energi, dll.)
- Mengendalikan sektor strategis (air, listrik, BBM, dan sumber daya alam lainnya)
- Menjamin kesejahteraan sosial (subsidi, jaminan sosial, dan perlindungan tenaga kerja)
Namun, dalam praktiknya, sejak era reformasi, pemerintah Indonesia lebih banyak berperan sebagai regulator dan fasilitator dalam ekonomi, dengan semakin kuatnya privatisasi BUMN dan sektor strategis. Hal ini sering memunculkan kritik bahwa negara semakin menjauh dari semangat welfare state yang terkandung dalam Pasal 33. Menurut Saya, saat ini pemerintah belum cukup menjalankan peran welfare state, tetapi justru lebih condong ke arah neoliberalisme.
Di Indonesia, meskipun Pasal 33 UUD 1945 berorientasi pada welfare state, sistem pajaknya masih belum sepenuhnya mencerminkan prinsip tersebut. Banyak layanan publik masih berbayar, sementara pajak sering kali tidak terasa langsung manfaatnya oleh masyarakat. Dalam konsep welfare state, pajak justru menjadi instrumen utama untuk membiayai kesejahteraan rakyat. Namun, perbedaannya adalah pajak digunakan secara maksimal untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar sebagai sumber pemasukan negara tanpa manfaat yang jelas bagi masyarakat luas.
Di negara welfare state yang ideal:
- Pajak progresif diterapkan -- Orang kaya dikenai pajak lebih besar, sementara masyarakat berpenghasilan rendah mendapat beban pajak yang ringan atau bahkan nol.Â
- Pajak dikembalikan dalam bentuk layanan sosial -- Pendidikan, kesehatan, transportasi umum, hingga jaminan sosial diberikan secara gratis atau dengan biaya minimal.
- Subsidi dan perlindungan ekonomi diberikan -- Negara memberikan subsidi untuk kebutuhan pokok, termasuk energi, perumahan, dan pangan.
Contoh negara welfare state seperti Skandinavia (Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia), mereka memiliki pajak tinggi, tetapi rakyat mendapatkan layanan publik berkualitas tinggi, seperti pendidikan dan kesehatan gratis.