Di era layar yang terus berkedip,
Setiap tawa anak jadi berita yang signifikan.
"Bayi pertama kali bilang mama!"
Lalu diunggah, diberi filter, dihujani komentar.
Kamera ponsel adalah penguasa rumah,
Merekam langkah pertama dengan sorak gempita.
Tapi apa arti langkah itu,
Jika tapaknya tak pernah jadi milik si kecil jua?
"Untuk dokumentasi," begitu alasan klasik.
Tapi di balik layar, kalkulator terus berdetik.
Berapa like hari ini? Berapa endorse yang datang?
Anakku, kini kau hidup di bawah bayang-bayang uang.
Di dapur, aku jadi sutradara,
"Ulang lagi ya, Nak, ekspresinya kurang ceria!"
Kau berpura-pura, padahal ingin bebas,
Tapi aku terlalu sibuk menghitung peluang emas.
Masa kecilmu terjaring dalam algoritma,
Privasimu terkikis, menjadi harta benda.
Tak ada ruang untuk rahasia,
Semua hal tentangmu adalah komoditas dunia.
Oh, anakku, maafkan aku yang lupa,
Bahwa tawamu adalah milikmu, bukan milik kamera.
Bahwa tangismu adalah curahan jiwa,
Bukan konten yang pantas diberi caption jenaka.
Bertahun kemudian, kau tumbuh besar,
Melihat masa kecilmu di arsip digital.
"Kapan aku pernah setuju? Kapan aku diberi hak?"
Tapi jawabanku hanya diam, penuh rasa bersalah.
Anakku, kaulah bintang di panggung media,
Tapi di mana masa kecil yang harusnya sederhana?
Di taman bermain, di lumpur yang liar,
Bukan di studio rumah dengan lampu yang gemetar.
Jadi kini aku bersumpah, di depan layar ini,
Bahwa hidupmu adalah milikmu, tak akan kubagi.
Karena sharenting tak seindah kedengarannya,
Dan anak-anak butuh cinta, bukan sorak penonton semata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI