Sharenting yang paling sukses adalah yang berujung pada kontrak endorsement. Si kecil jadi brand ambassador popok, susu formula, bahkan aplikasi edukasi. Bukan hal yang buruk, kecuali anak-anak ini tumbuh dengan kesadaran bahwa seluruh masa kecilnya telah diperdagangkan.
Ketika teman-temannya sibuk main di taman, dia harus tersenyum di depan kamera dengan tagline, "Minum susu ini bikin pintar, lho!" Padahal, dia cuma ingin minum cokelat panas dan tidur siang.
Refleksi: Anak atau Aset?
Orang tua yang ber-sharenting sering berdalih, "Ini semua demi anak." Tapi pertanyaan pentingnya: apakah anak memang meminta semua ini? Apakah benar senyuman yang diabadikan itu adalah murni kebahagiaan, atau senyuman karena dia diminta "ulang lagi, lebih lebar ya"?
Anak-anak bukanlah content creator yang bekerja tanpa kontrak. Mereka adalah manusia kecil yang berhak atas privasi, kebebasan, dan masa kecil yang normal. Jangan sampai ketika mereka dewasa, mereka melihat masa kecilnya di YouTube dengan rasa malu dan berkata, "Kenapa aku nggak pernah punya ruang untuk jadi diriku sendiri?"
Penutup: Konten yang Terbaik
Membesarkan anak di era digital memang tantangan besar. Kita ingin mendokumentasikan setiap momen indah, tetapi di saat yang sama, kita harus ingat bahwa anak adalah pribadi dengan hak yang harus dihormati.
Jadi, sebelum mengunggah video anak Anda menangis karena mainannya hilang, pikirkan lagi: ini momen keluarga atau konten viral? Jangan sampai anak-anak kita mengenang masa kecil mereka sebagai "musim pertama kehidupan saya yang disutradarai ayah dan ibu."
Karena, pada akhirnya, pola asuh terbaik bukanlah yang menghasilkan followers, tapi yang menghasilkan manusia bahagia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI