Dulu, di suatu kampung, ada anak bernama Didik. Dia nggak cuma sopan, pintar, dan terampil---tapi juga jago nyanyi, main sulap, dan bisa bikin sepeda dari bambu. Anak-anak lain sampai minder karena mereka cuma bisa main gundu.
Akhirnya, para orang tua di kampung itu datang ke rumah orang tua Didik. Mereka bilang, "Pak, Bu, tolong ajarin kami cara bikin anak kayak Didik. Soalnya anak kami cuma tahu cara bikin onar!"
Orang tua Didik pun bikin kelas parenting khusus, ngajarin anak-anak jadi sopan, pintar, dan serba bisa. Karena ini kelasnya ngajarin cara "jadi Didik," orang-orang mulai nyebutnya pen-Didik-an.
Lama-lama, istilahnya melebar di mana-mana. Makanya, kalau kamu sekarang duduk di bangku pendidikan, itu semua karena Didik dan keluarganya dulu bikin les privat pen-Didik-an.
Seiring waktu, kampung itu jadi terkenal karena "kelas pen-Didik-an" yang bikin anak-anak jadi multitalenta. Bahkan, saking banyaknya orang tua yang daftar, orang tua Didik kewalahan. Mereka akhirnya bikin cabang di kampung sebelah, lengkap dengan seragam dan bendera kampung bergambar wajah Didik.
Masalah mulai muncul waktu Didik, yang jadi idola semua orang, mulai nggak nyaman. "Kok nama aku dipakai di mana-mana? Aku kan cuma mau main layangan!" katanya.
Tapi orang-orang kampung nggak peduli. Mereka bilang, "Didik, kamu itu legenda hidup. Ini semua demi masa depan bangsa!"
Saking stresnya, Didik kabur ke hutan buat nyari ketenangan. Di sana dia bikin komunitas anak-anak kreatif yang bebas belajar tanpa tekanan. Tapi pas ketahuan, komunitas ini jadi heboh lagi dan dinamain "Ekstrakurikuler."
Akhirnya, Didik nyerah. Dia balik ke kampung dan bikin satu aturan baru: "Pendidikan nggak cuma bikin anak jadi kayak aku. Biar mereka juga punya waktu main, dong!" Sejak itu, jadwal belajar di kampung jadi cuma setengah hari. Didik jadi pahlawan anak-anak, sekaligus bapak sistem sekolah modern.
Gimana Kompasianers? Greget nggak?