Mohon tunggu...
Priyono Mardisukismo
Priyono Mardisukismo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Redaktur www.fixen.id

Seorang kakek yang telah pensiun dari hiruk pikuk dunia, banyak menulis fiksi di FIXEN (https://fixen.id) Bantu saya dengan komentar dan penilaian atas tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kemajuan Teknologi Memaksa Kebo Nyusu Gudel

12 Januari 2025   05:15 Diperbarui: 11 Januari 2025   21:30 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era modern ini, sebuah fenomena unik mulai merajai ruang-ruang keluarga dan meja-meja makan: kebo nyusu gudel. Tidak, ini bukan tentang peternakan sapi perah atau eksperimen genetika, melainkan pemandangan sehari-hari di mana generasi tua terpaksa mengandalkan generasi muda untuk memahami teknologi yang semakin kompleks.

Pemandangan ini begitu lazim sehingga hampir setiap rumah memiliki kisahnya sendiri. Seorang ayah yang gagap mengoperasikan ponsel pintar memanggil putranya yang baru lulus SD untuk memindahkan foto dari WhatsApp ke galeri. Seorang nenek meminta cucunya yang masih berusia enam tahun untuk "mencari resep opor ayam di Google" karena ia lupa bagaimana cara membuka aplikasi peramban.

"Coba bantu, ini kok nggak keluar YouTube-nya?" tanya Pak Bejo, seorang pensiunan guru sejarah, kepada cucunya yang baru saja selesai bermain game online. Si cucu, dengan keahlian setara teknisi IT, hanya menghela napas panjang. "Lho, Pakdhe, itu koneksinya mati. Cek Wi-Fi dulu dong!" jawabnya sambil mengetuk layar ponsel Pak Bejo seolah sedang memperbaiki mesin jam kuno.

Fenomena ini bukan hanya sekadar interaksi keluarga, melainkan sebuah cermin sosial. Dunia telah berubah begitu cepat sehingga generasi yang dulu mengajarkan nilai-nilai hidup, kini terpaksa belajar cara mengunduh aplikasi dari cucu mereka. Kebo yang seharusnya menjadi simbol kebijaksanaan dan kekuatan, kini justru tergagap memahami instruksi anak-anak gudel yang fasih dalam bahasa digital.

Salah satu contohnya adalah MatGaper, seorang mantan petani tradisional yang kini mencoba bertahan di tengah gelombang teknologi modern. Setelah desanya tersentuh program "Desa Digital", ia merasa terpaksa mengikuti pelatihan "Cara Menggunakan Aplikasi Pertanian Pintar" yang dipandu oleh remaja-remaja SMA. "Saya ini dulu ngajarin mereka cara bajak sawah. Sekarang saya yang diajarin cara pakai aplikasi?! Dunia memang sudah jungkir balik," katanya sambil tertawa getir.

Tetapi di balik semua kebingungan ini, ada satu hal yang patut kita renungkan: manusia adalah makhluk yang mampu beradaptasi, meski dengan sedikit protes. Generasi tua mungkin terpaksa "nyusu" kepada generasi muda dalam hal teknologi, tetapi mereka membawa pengalaman dan kebijaksanaan yang tidak tergantikan. Sementara itu, generasi muda belajar bahwa teknologi bukan hanya alat untuk hiburan, tetapi juga medium untuk mendukung dan memberdayakan orang lain.

Jika kita ingin membuat satire ini semakin relevan, mungkin kita bisa membayangkan sebuah dunia di mana hubungan "kebo dan gudel" ini semakin ekstrem. Bayangkan jika setiap orang tua wajib memiliki "pelatih teknologi pribadi" dari kalangan anak-anak muda. Atau, bagaimana jika sebuah aplikasi bernama "Gudel Smart Helper" diciptakan khusus untuk menjawab semua pertanyaan generasi tua dengan suara cucu mereka? "Wi-Fi mati, Nek. Cek router dulu ya, jangan lupa colok ulang!"

Namun pada akhirnya, kebo nyusu gudel bukanlah tanda kelemahan, melainkan gambaran indah bagaimana manusia saling melengkapi. Generasi tua dan muda, meski terpisah oleh jurang teknologi, dapat menjembatani perbedaan itu dengan semangat belajar dan saling mendukung. Karena, seperti kata pepatah digital masa kini: "Di balik koneksi yang putus, selalu ada cucu yang siap menyambungkan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun