Di suatu masa yang tak jauh berbeda dari sekarang, dunia telah berubah menjadi panggung sirkus besar. Profesi badut tidak lagi sekadar hiburan; ia menjadi kewajiban. Setiap individu, tanpa terkecuali, mengenakan riasan wajah putih, hidung merah, dan sepatu besar berderit. Tak peduli apakah seseorang adalah dokter, politisi, insinyur, atau guru, mereka semua adalah badut.
Pada awalnya, peraturan ini diterima dengan tawa---sebuah lelucon besar yang dianggap takkan bertahan lama. Namun, seperti halnya kebanyakan lelucon, ia berkembang menjadi kenyataan yang tak terelakkan. "Menjadi badut adalah panggilan jiwa," kata sang Pemimpin Badut dalam salah satu pidatonya yang terkenal. "Tanpa tawa, kita hanyalah kosong. Maka, kita harus menjadikan dunia ini penuh warna dan derai bahak."
Namun, di balik senyum lebar yang dilukis dan tawa yang dipaksakan, tersembunyi kekosongan yang mendalam. Orang-orang mulai melupakan siapa diri mereka sebelum menjadi badut. Identitas mereka terkubur di bawah lapisan tebal riasan. Di ruang-ruang rapat, para eksekutif berdebat dengan suara mencicit, memutar-mutar balon menjadi bentuk aneh sebagai penanda argumen. Di ruang operasi, dokter bedah membuat sulap kecil sebelum memulai prosedur---karena gagal membuat pasien tertawa lebih memalukan daripada gagal menyelamatkan nyawa.
Namun, tidak semua orang nyaman dengan dunia baru ini. Ada sebagian kecil yang merasa tercekik oleh aturan ini. Mereka disebut "Tanpa Tawa"---orang-orang yang menolak mengenakan riasan badut dan memilih hidup dalam keseriusan. Mereka dicap sebagai ancaman, dianggap menghancurkan harmoni tawa dunia. Di antara mereka adalah MatGaper, seorang mantan pelukis mural yang kini hidup di bawah tanah, melukis wajah-wajah tanpa riasan di dinding-dinding tersembunyi.
MatGaper percaya bahwa manusia adalah lebih dari sekadar hiburan. "Tawa itu penting," katanya suatu malam kepada kelompok kecil pengikutnya, "tapi kita tidak bisa memaksakannya. Kita tidak bisa hidup hanya dengan tawa yang palsu. Di balik setiap badut, ada manusia yang menangis."
Gerakan Tanpa Tawa tumbuh perlahan. Mereka menyusup ke panggung-panggung besar, mengganti balon-balon warna-warni dengan balon hitam. Mereka menuliskan pesan di dinding kota: "Lepaskan Topeng!" Namun, perlawanan mereka tak mudah. Badut-badut pemerintah mengerahkan segala cara untuk menghentikan mereka, dari ledakan confetti yang menyilaukan hingga senjata berbentuk semprotan air.
Puncaknya terjadi pada Hari Tawa Nasional, sebuah perayaan akbar di mana seluruh dunia berkumpul untuk tertawa bersama. MatGaper dan kelompoknya merencanakan aksi terbesar mereka: menampilkan potret wajah-wajah asli manusia di layar raksasa, tanpa riasan badut. "Biarkan mereka melihat diri mereka yang sebenarnya," ujar MatGaper dengan tekad.
Ketika layar-layar itu menyala, suasana berubah. Beberapa orang terdiam, perlahan menyadari bahwa wajah di layar itu adalah milik mereka sebelum dunia menjadi panggung sirkus. Sebagian tertawa gugup, tak tahu bagaimana harus bereaksi. Tapi ada juga yang menangis, menyadari bahwa mereka telah kehilangan diri mereka sendiri di balik tawa yang dipaksakan.
Di akhir hari itu, dunia tidak langsung berubah. Namun, sebuah percikan telah dinyalakan. Orang-orang mulai bertanya: Apakah tawa itu sungguh milik mereka, atau hanya sekadar topeng yang dipaksakan? Dan MatGaper, meski dikejar sebagai kriminal, tahu bahwa perjuangannya baru saja dimulai.
Karena di balik setiap badut, selalu ada manusia yang ingin kembali menjadi dirinya sendiri.