Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dalam Geliat Citra Sosial Media

15 Januari 2025   16:19 Diperbarui: 15 Januari 2025   16:19 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru dan sosial media | Sumber : Olahan pribadi

Sosial media sudah menjadi bagian tak terlepaskan dari keseharian kita. Kalangan guru dan pendidik juga tidak ketinggalan mengisi ruang-ruang sosial media kita dengan berbagai macam konten yang dibuatnya. Bahkan dulu di era Mendikbud Nadiem Makarim para guru dan pendidik yang rajin ngonten ini mendapat tempat tersendiri. Tersematlah sebutan Guru Konten Kreator (GKK) pada mereka kalangan guru yang rajin membuat video konten tentang pembelajaran, berbagi praktik baik, video ice breaking dan semacamnya. Mendapat tempat istimewa dan diundang pula ke kantor Kemendikbud di Jakarta kala itu.

Para guru di daerah juga didorong bahkan dilatih untuk memproduksi konten seputar pembelajaran dan pendidikan. Berpijak pada asumsi salah satu dalil pendidikan milik Ki Hajar Dewantara : didiklah anak sesuai dengan kodrat zamannya. Sederhananya sekarang sudah zaman digital dan sosmed maka masuklah dunia pendidikan ke sana. Mengikuti perkembangan zaman. Bukan menjadi sebuah persoalan. Karena memang sudah menjadi hukum alam. Barangsiapa yang tidak bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri maka ia akan punah bersamaan dengan terjadinya proses seleksi alam.

Hanya perlu diingat penggunaan sosial media juga secara langsung berdampak pada pembentukan citra diri para penggunanya. Citra diri akan nampak pada konten yang mengisi sosial media penggunanya. Meninggalkan jejak-jejak digital yang sulit terhapus. Pada banyak kesempatan bersamaan dengan boomingnya aplikasi sosial media video pendek saya kerap melihat para guru asyik mendokumentasikan segala aktivitasnya. Tak jarang bersama dengan muridnya melakukan aktivitas ice breaking dengan gerakan jogad-joged menggunakan backsound viral. Diunggah di salah satu platform sosial media video pendek dan otomatis ditonton oleh banyak orang.

Kerap saya menghela nafas dan mengelus dada. Karena kembali lagi penggunaan sosial media perlu kontrol sosial berupa norma dan etika. Kedua nilai tersebut haruslah menjadi rem agar para guru dan kaum pendidik tidak kebablasan karena begitu asyiknya bersosial media sehingga lupa bahwa adab dan akhlak selaku kaum pendidik tetap harus dijaga.

Sebagian guru berpendapat bahwa bersosial media setidaknya bisa menjadi sarana untuk melepas lelah dan rileks sejenak dari padatnya tuntutan pekerjaan. Sehingga senda gurau menjadi hal wajar saja untuk diunggah. Untuk seru-seruan saja katanya. Lalu kalau keseruan itu kemudian menabrak nilai-nilai kepantasan dan moral etika sebagai seorang pendidik apakah ini tidak menjadi sebuah persoalan baru?

Perlunya Pengendalian Diri

Peribahasa lama mengatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari. Murid akan mencontoh apa yang dilakukan guru biasanya pada hal-hal buruk. Peribahasa ini memiliki makna yang sama dengan konsep "digugu lan ditiru" dalam filosofi bahasa Jawa. "Digugu" berarti setiap perkataan dan perbuatan guru harus bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan "ditiru" berarti setiap sikap dan perbuatan guru pantas untuk dijadikan tauladan bagi siswa.

Menilik peran sentral guru sebagai kaum pendidik maka isu terkait moral etika sungguh perlu dipegang teguh. Pembentukan karakter baik paling efektif adalah melalui keteladanan dan contoh nyata. Sebagai pribadi pendidik tentunya tidak akan lepas segala tingkah laku guru dari sorot perhatian murid serta masyarakatnya.

Maka diperlukan rasa pengendalian diri serta teguhnya pendirian dalam persoalan norma etika bersosial media. Terkadang saya sering bergurau dengan beberapa sahabat. Saya sampaikan jika Ki Hajar Dewantara hari ini masih hidup apakah beliau juga akan membuat konten jogad-joged bersama dengan para muridnya seperti yang dilakukan oleh sebagian guru sekarang ini?

Karena saya meyakini bahwa alangkah lebih baik jika para guru dan kaum pendidik membuat konten yang lebih bersifat edukatif. Video tentang inovasi metode mengajar, berbagi ide praktik baik tentang program unggulan di sekolahnya, bedah buku yang sudah ia baca, dan semacamnya. Jadi akan semakin banyak video inspiratif lahir dari para guru kreatif. Tidak menambah sampah digital yang memenuhi banyak ruang sosial media kita.

Kegenitan-kegenitan kita dalam bersosial media terkadang justru menjadi kontra produktif serta mengundang masalah. Kasus yang dialami Wika Primi Rahayu menjadi salah satu contoh nyata jika hanya mengejar sensasi maka berujung klarifikasi dan permintaan maaf. Gimmick yang tidak perlu justru akan mengaburkan esensi dari pesan kritik yang disampaikannya. Menjadi jejak digital dan akan diingat selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun