pendidikan, metode ice breaking, pembelajaran inovatif, serta review buku-buku pelajaran untuk guru dan orangtua. Oleh karena melihat salah satu video pendeknya di platform tiktok tentang review sebuah buku akhirnya saya tertarik membeli buku tersebut untuk kepentingan pembelajaran. Hendra sangat aktif di banyak platform sosial media terutama tiktok dan Instagram. Tercatat ia memiliki lebih dari 900 ribu follower di tiktok dan 600 ribu follower di Instagram.
Sudah sekitar seminggu terakhir nama Hendra Brudy beserta konten-kontennya berseliweran di beranda sosial media saya. Saya mengenalnya sebagai sosok guru konten kreator cerdas, unik, dan inspiratif. Ia kerap mengunggah konten seputar duniaBelakangan sosok Hendra Brudy menjadi sorotan dan ramai diperbincangkan di ruang publik karena keputusannya yang cukup berani: mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai guru PNS. Hendra merupakan sosok guru PNS di SD Negeri 49 Paria, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Ia alumni Universitas Negeri Makasar (UNM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Setelah menempuh kuliah selama 3 tahun 10 bulan Hendra lulus dengan predikat Cumlaude. Di tahun 2017 Hendra lulus dengan IPK 3,99. Nyaris sempurna dan luar biasa.
Dengan sederet pencapaian brilian guru muda berusia 29 tahun itu menjadi pertanyaan banyak pihak, mengapa ia sampai mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai guru PNS? Dimana banyak orang justru berlomba-lomba mendambakan pekerjaan tersebut? Apakah betul desas-desus selama ini bahwa lingkungan toxic dan tugas tambahan sebagai bendahara BOS adalah penyebab utamanya?
Lingkungan Toxic
Hendra memang tidak secara spesifik menjelaskan alasan pengunduran dirinya. Dalam unggahan di akun tiktok pun ia hanya menyampaikan bahwa lebih penting menyayangi diri sendiri baik secara mental dan fisik. Beberapa kali ia juga kerap mengunggah video dengan menyinggung persoalan guru SD merangkap tugas tambahan sebagai bendahara BOS. Dan dinilainya itu sebagai persoalan tersendiri yang sangat membebani. Dua poin penting terkait lingkungan toxic dan bendahara BOS menjadi menarik untuk dibahas.
Secara sederhana lingkungan toxic dapat diartikan sebuah lingkungan dengan pengaruh negatif yang sangat dominan dibandingkan dengan pengaruh positifnya. Lingkungan semacam ini mengakibatkan seseorang menjadi tidak aman, tidak nyaman, dan tertekan secara emosional. Lingkungan toxic ditandai dengan banyaknya interaksi negatif, perilaku tidak sehat, atau tekanan berlebihan. Ini bisa terjadi di berbagai tempat seperti di tempat kerja, sekolah, keluarga, atau lingkungan pertemanan.
Sekolah sejatinya merupakan lembaga pendidikan sekaligus tempat bekerja. Sekolah diisi oleh banyak orang dengan beragam sifat, karakter, dan pembawaan. Keberagaman itu menjadi sebuah keniscayaan oleh karena memang secara fitrah manusia diciptakan dengan berbeda-beda. Tidak ada manusia yang betul-betul sama sepenuhnya. Meskipun ia kembar identik pasti ada perbedaan. Rambut boleh sama hitamnya tetapi isi kepala bisa berbeda.
Perbedaan karakter semacam inilah jika tidak disikapi dengan bijak dan dewasa maka akan menjadi sebuah persoalan. Tetapi menjadi rumit karena kedewasaan dalam bersikap juga belum tentu dimiliki oleh setiap orang. Memang guru selayaknya sebagai manusia terdidik hendaknya sudah selesai dengan persoalan sikap kedewasaan. Tetapi manusia tetaplah manusia. Ia makhluk yang penuh dengan kekurangan dan kealpaan.
Pola hubungan sosial yang sehat perlu dikembangkan dimanapun dan kapanpun. Tidak terkecuali di lingkungan sekolah. Bagaimana menciptakan dominasi baik menjadi tugas utama seorang pimpinan di sekolah. Mendorong agar tercipta iklim sosial sejuk dan kondusif. Setidaknya dimulai dari teladan pemimpin terlebih dahulu. Agar kebaikan-kebaikan itu pada akhirnya menjalar dan menular pada seluruh komponen sekolah. Jika dominasi baik itu sudah tercipta kiranya budaya pada lingkungan toxic akan tereleminasi dengan sendirinya. Dengan terciptanya lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif produktivitas dalam bekerja akan meningkat.
Lalu apakah sekolah sebagai institusi pendidikan serta merta menjadi terbebas dari pola hubungan sosial toxic diantara para penghuninya? Ini patut kita renungkan kembali. Bukankah selama ini fenomena bullying, kekerasan, dan penyimpangan lain juga kerap terjadi di sekolah?
Ketimpangan status antara guru senior dan yunior, guru ASN dan guru nonASN, guru penggerak dan nonpenggerak dan beragam atribut kasta sosial lainnya nyata adanya di dunia keguruan kita. Diakui atau tidak itu semua menimbulkan gap, menimbulkan jarak dalam dunia kedinasan guru. Sehingga menjadi alarm waspada sebagai pertanda kerawanan untuk semua pihak di sekolah agar tidak terjerembab pada pola hubungan sosial toxic.