Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penerimaan Rapor: Sebuah Momentum Evaluasi dan Refleksi

20 Desember 2024   19:20 Diperbarui: 25 Desember 2024   19:13 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru menyampaikan urgensi penerimaan rapor | Sumber : Olahan pribadi

Di tengah kesibukan mengolah nilai rapor seorang sahabat yang baik hatinya bertanya pada saya. Pada saat momentum penerimaan laporan hasil belajar siswa (rapor) nanti apakah perlu disampaikan pada orangtua terkait nilai sumatif atau nilai ulangan harian beberapa siswa yang "kurang sesuai harapan"? Mengingat beberapa siswa kurang cakap dalam belajar sehingga kerap mendapatkan nilai jelek. Ditambah beberapa siswa ini sering tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas. Betapapun guru sudah berupaya dengan berbagai cara dan metode tetapi sepertinya belum menunjukkan perubahan yang berarti. Beberapa kali diadakan home visit tetapi hasilnya masih jauh panggang dari api.

Saya mendengarkan dengan serius dan berusaha mencerna serta menganalisa kalimat demi kalimat yang diucapkan sahabat tersebut. Oleh karena saya menganggap apa yang dialaminya sebetulnya juga banyak dialami oleh para guru lain. Singkat kata motivasi belajar bahkan keseriusan dalam menuntut ilmu di kalangan anak didik kita sekarang ini patut untuk direnungkan kembali.

Begitu banyak distorsi dan gangguan membuat anak-anak kita kehilangan arah dan tujuan. Kemajuan dunia teknologi dan perkembangan sosial media meninggalkan residu bagi anak-anak kita. Fenomena anak mengalami gangguan sosial emosional karena pengaruh gadget dan sosial media merupakan kenyataan. Tidak sedikit anak kecanduan smartphone dan game online sampai mengalami gangguan kejiwaan. Itu baru satu contoh kendala. Banyak hal lain menjadi kendala dalam proses pendidikan anak. Sehingga alih-alih anak mendapat prestasi di sekolah tetapi justru pulang sering membawa masalah.

Rasa-rasanya memang sekarang ini bukan saja guru yang selalu diminta untuk berefleksi terhadap performanya. Tetapi lebih jauh dari itu semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, termasuk orangtua juga perlu bersama-sama berefleksi dan merenungkan kembali apakah yang dilakukan selama ini sudah sesuai tujuan yang diharapkan? Atau hanya persoalan formalitas semata tanpa adanya esensi yang berarti?

Sekolah Bukan Tempat Laundry

Siswa belajar di sekolah dengan beragam latar belakang keluarga. Ragam kondisi sosial ekonomi dan pola asuh di rumah sangat berpengaruh pada karakter dan pembawaan siswa. Siswa berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi berkecukupan tentu berbeda dengan siswa dari keluarga prasejahtera. Siswa dengan pola asuh tertib juga berbeda dengan siswa yang diasuh dengan pola didikan seadanya.

Menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan harmonis menjadi penting bagi kebaikan tumbuh kembang anak. Memang tidak bisa dinafikkan banyak keluarga yang masih bergelut dengan persoalan ekonomi, keharmonisan rumah tangga, atau persoalan hidup lainnya. Ini sedikit banyak berpengaruh pada kondisi sosial emosional anak. Maka menjadi tugas orang tua untuk dapat menciptakan kondisi sosial emosional yang baik bagi anak-anaknya.

Anak yang cuma terdidik di sekolah merupakan anak yang tidak terdidik. Karena proses pendidikan anak juga menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga menjadi pondasi utama dalam proses pendidikan anak. Intensitas interaksi anak juga lebih banyak dilakukan dengan orangtua dan keluarga dibandingkan dengan guru dan sekolah.

Dewasa ini kerap ditemui jika terjadi permasalahan terhadap anak di sekolah pihak keluarga begitu sangat reaktif. Guru dan sekolah kerap dipandang sebagai tempat untuk mencuci keruhnya perilaku dan mentalitas anak didik. Pandangan dan pemahaman semacam ini agaknya perlu diluruskan. Bahwa sekolah adalah tempat untuk mendidik anak adalah benar adanya. Tetapi jika dikatakan mendidik anak adalah semata tugas guru dan sekolah ini menjadi perlu diluruskan.

Ki Hajar Dewantara sudah sejak puluhan tahun lalu menyampaikan tentang konsep Tripusat pendidikan. Konsep ini jelas menegaskan akan adanya tanggung jawab bersama dalam mendidik anak. Maka untuk mencapai keberhasilan dalam upaya mendidik tersebut diperlukan kerjasama sinergis dari ketiga pihak : keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ki Hajar juga mengatakan bahwa setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru. Anak-anak akan belajar dimanapun dan dengan siapapun yang ia temui dalam kehidupannya sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun