Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Guru: Menjadi Pemikir sekaligus Pejuang

10 Juli 2024   16:03 Diperbarui: 10 Juli 2024   18:30 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ki Hajar Dewantara sebagai sosok guru pemikir dan pejuang | Sumber : Dokpri

Ketika tengah mengobrol santai dan berdiskusi ringan dengan beberapa rekan guru honorer saya kerap bertanya tentang beberapa hal. Pertanyaan yang sering saya tanyakan adalah terkait apa motivasi mereka menjadi seorang guru. Sebuah pertanyaan yang terdengar klise dan absurd tetapi selalu menarik untuk mengetahui jawabannya. Karena satu pertanyaan ini jika ditanyakan pada beberapa orang pasti akan menghasilkan beberapa jawaban yang berbeda. Pertanyaannya sama jawabannya berbeda-beda. Tergantung dari sudut pandang dan pola pikir masing-masing.

Beragam jawaban saya dapatkan. Mulai dari ingin mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari di bangku kuliah, ingin menebar kebaikan pada sesama manusia, mewujudkan cita-cita sebagai seorang guru, dorongan dari orangtua, pekerjaan guru sebagai sampingan saja, sampai pada tidak memiliki alasan spesifik dan hanya menjalani saja pekerjaan sebagai guru.

Sebuah kejujuran yang patut dihargai. Karena betapapun kita sependapat bahwa guru adalah suatu profesi mulia untuk membangun peradaban bangsa, tetapi negara agaknya masih belum mendudukkan guru pada singgasana kemuliaannya. Sehingga tak jarang guru begitu dipuja sebagai pahlawan insan cendekia, di sisi lain ia merana memikirkan nasib dan masa depannya.

Pemikir Yang Mewarnai Peradaban

Dalam sejarah perkembangan intelektual dunia baik belahan dunia barat maupun timur kita banyak mengenal tokoh pemikir yang sebagian besar diantaranya adalah seorang guru. Ambil saja contoh Socrates, Plato dan Aristoteles. Ketiganya merupakan tokoh pemikir, filsuf sekaligus guru yang meletakkan dasar-dasar pondasi bagi kemajuan peradaban dunia barat. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa perkembangan dunia intelektual di barat sekarang ini hanyalah sebatas catatan kaki dari hasil pemikiran ketiganya.

Sementara di belahan bumi timur kita mengenal tokoh-tokoh besar seperti Konfusius (551-479 SM) tokoh sentral dalam Konfusianisme, Lao-Tzu (abad ke-6 SM) pendiri Taoisme dengan karyanya yang fenomenal "Tao Te Ching", Buddha Gautama (563-483 SM) pendiri agama Buddha, dengan fokus utama pada pencerahan dan pembebasan diri dari penderitaan.

Juga kita mengenal tokoh-tokoh pemikir dari kalangan muslim seperti Al-Kindi (801-873 M) dikenal sebagai "Filsuf Arab Pertama", Ibnu Sina (980-1037 M) dikenal sebagai "Pangeran Para Filsuf", Al-Ghazali (1058-1111 M) seorang teolog dan filsuf Islam terkemuka, juga Ibnu Rusyd (1126-1198 M) dikenal sebagai "Averroes" di dunia barat yang kerap mengulas pemikiran-pemikiran Aristoteles.

Semua tokoh diatas adalah para pemikir besar, guru dan intelektual yang mewarnai peradaban dunia. Sehingga kurang tepat rasanya jika ada sebagian pihak yang mengatakan jika para filsuf adalah orang yang menganggur. Gagasan dan hasil olah pikirnya memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Membawa dunia dari kegelapan menuju jalan terang cahaya.

Menjadi guru pada hakikatnya menjadi seorang pemikir. Ia adalah pribadi mulia yang menyokong kemajuan zaman. Sebuah bangsa akan maju jika pendidikannya juga maju. Kemajuan pendidikan ini setidaknya menurut Ki Hajar Dewantara mestilah disokong oleh tiga pilar: keluarga, sekolah dan masyarakat. Kita mengenal konsep tripusat pendidikan milik Ki Hajar Dewantara tetapi agaknya di negara dengan tingkat literasi yang masih minim seperti di Indonesia, konsep tripusat pendidikan itu mengalami ketimpangan dalam realisasinya.

Kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya melek literasi mengakibatkan tanggungjawab untuk mendidik anak bangsa menjadi dominan dibebankan pada guru dan sekolah. Padahal sejatinya proses pendidikan itu secara ideal tidak hanya terjadi di sekolah. Tetapi juga terjadi di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Tapi apa mau dikata? kenyataan ini membuat guru di negara kita melakukan peran dan memikul tanggung jawab berat.

Guru sebagai seorang pemikir pada hakikatnya adalah seorang intelektual. Seorang intelektual yang banyak melahirkan gagasan cemerlang dan brilian. Melahirkan banyak ide dan karya untuk diwariskan pada anak bangsa dan generasi selanjutnya. Hari-hari ini kita sering sekali membahas konsep serta filosofi pendidikan milik Ki Hajar Dewantara yang begitu hebat dan luar biasa. Begitu gegap gempita kita terinspirasi pada gagasan pemikiran beliau. Kita ingin menerapkan ajaran mulia itu dalam semesta pendidikan kita. Dengan berbagai macam praktik baik yang dilaksanakan dalam lingkup keseharian kita sebagai guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun