Dalam sebuah grup penulis yang saya ikuti, seorang sahabat penulis yang baik hatinya pernah mengajak saya menulis mengenai suatu tema pilihan yang dilombakan. Sahabat ini memang luar biasa komitmennya dalam menulis. Dan beliau termasuk tipe penulis generalis yang bisa menulis berbagai tema dengan sangat apik. Berbeda dengan saya yang masih gagap menulis di luar tema keseharian saya : pendidikan.
Kami tergabung bersama sekitar 20 orang guru penulis pada sebuah grup whatsapp. Grup ini dulu terbentuk sebagai tindak lanjut pelatihan menulis KBMN yang diadakan oleh PB PGRI. Maka tentulah dominan anggotanya adalah para guru yang berasal dari Sabang sampai Merauke.
Anggota grup ini memiliki genre menulisnya masing-masing. Penulis opini, penulis fiksi, penulis citizen journalism semua berkumpul di sana. Dan banyak dari kami yang juga aktif menulis di platform menulis lepas Kompasiana.
Menulis bagi sebagian orang adalah hal yang mengasyikkan. Bagi sebagian yang lain menulis dianggap membosankan. Dan orang menulis tentu dengan maksud dan tujuannya masing-masing. Motivasi seseorang untuk menulis bisa saja berbeda-beda. Seperti sahabat saya tadi beliau menulis di berbagai genre dan tema agaknya untuk mengasah keluwesan corak menulisnya yang generalis dan bisa masuk di semua tema. Luar biasa memang.
Perkara Idealisme Menulis
Setiap penulis yang baik tentu memiliki idealisme menulisnya masing-masing. Idealisme dimaksud akan menjadi karakter dan ciri khas dari tulisan-tulisan yang dihasilkannya. Sehingga ketika pembaca membaca hasil tulisannya, mereka dapat langsung mengenali tulisan si penulis. Idealisme memberikan corak dan karakter kuat pada sebuah tulisan.
Saya selalu kagum dengan para tokoh pendiri bangsa kita. Karena hampir seluruh tokoh pendiri republik ini adalah seorang pembaca yang tekun dan penulis ulung. Sebut saja misalnya H.O.S Tjokro Aminoto, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Agus Salim, Tan Malaka, sampai pada tokoh-tokoh kiri seperti Semaoen, D.N Aidit, Nyoto, dan sebagainya. Semuanya sangat gila menulis. Buku-buku dan tulisan-tulisannya masih bisa kita baca sampai sekarang.
Bukan asal menulis, beliau semua menjadikan menulis sebagai media untuk mencurahkan idealisme berpikirnya. Untuk mencerdaskan dan membakar semangat rakyat yang saat itu tertindas dan menderita di bawah kungkungan kekejaman pemerintah kolonial. Akibat tulisan-tulisan itu hampir semua tokoh yang saya sebutkan di atas akhirnya meringkuk di balik jeruji penjara. Diseret oleh bengisnya hukum besi kolonial.
Lalu apa yang dilakukan di dalam penjara itu? Bersedih dan meratapi nasib? Tentu tidak! Beliau semua tetap menulis dan menulis. Pembaca pasti tahu pidato pembelaan Soekarno yang berjudul "Indonesia Menggugat". Pledoi itu beliau tulis dari balik jeruji besi penjara Sukamiskin Bandung. Pidato pembelaan yang brilliant itu ditulis pada selembar kertas di atas kaleng yang digunakan Soekarno untuk buang hajat saat di dalam penjara. Karena pledoi itu pada akhirnya Soekarno dibebaskan dari penjara Sukamiskin. Luar biasa bukan?
Tan Malaka bapak pendiri bangsa ini juga menulis banyak buku. Dan salah satu buku masterpiecenya yang berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika) ditulis dalam tempo 8 bulan dari sebuah kamar pengap di daerah Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di Kalibata, Pancoran, Jakarta saat beliau dikejar-kejar dan menjadi buronan pemerintah kolonial Jepang. Menjadi buronan dan nyawa sewaktu-waktu bisa melayang, masih sempat menulis buku monumental. Buku itu bisa kita baca sampai sekarang. Dahsyat!