Sampai pada suatu ketika Doni mengikuti rapat sekolah. Rapat itu dipimpin oleh kepala sekolahnya. Bagi Doni ini pertama kalinya dia mengikuti rapat sekolah. Rapat berjalan dengan lancar dan Doni mengikuti dengan baik dari awal sampai akhir. Salah satu hasil keputusan rapat itu adalah Doni mendapat tugas tambahan sebagai operator sekolah. Dengan asumsi Doni adalah orang muda dan punya kemampuan di bidang komputer, teknologi dan sejenisnya. Kemampuannya di atas rata-rata.
Doni sebagai orang baru di sekolahnya tentu menerima saja tugas itu. Dia anggap tugas itu sebagai amanat dari sekolahnya dan harus ia laksanakan dengan baik. Ya orang baru harus menunjukkan kinerja yang prima. Mulailah Doni bergelut dengan dunia operator. Mengerjakan aplikasi Dapodik, vervalpd, arkas dan sejenisnya. Tidak hanya itu Doni juga bertugas menjaga dan merawat semua peralatan komputer yang ada di sekolahnya. Dan memastikan agar semuanya itu bisa beroperasi dengan baik.
Di suatu pagi bendahara sekolah Doni uring-uringan. Karena dia harus melaporkan keuangan sekolahnya secara online tetapi dia tidak paham bagaimana cara mengoperasikan komputernya. Dipanggillah Doni untuk membantunya. Doni dengan tekun dan serius membantu bendahara tersebut sampai pelaporan keuangan itu selesai pada siang harinya. Akhirnya di kemudian hari Doni sering dimintai tolong untuk pekerjaan yang sama oleh bendahara sekolahnya itu. Semacam jadi asisten pribadi.
Hari berganti hari bulan berganti bulan tidak terasa sudah satu tahun Doni menjalani pekerjaan sebagai pengajar tidak tetap di sekolah itu. Ada sesuatu yang mengganjal dalam batinnya. Mengganggu benak dan pikirannya. Seperti kebanyakan orang muda Doni berpikir, dengan sebegitu banyak tugas tambahan yang ia pikul tetapi tidak sebanding dengan honor bulanan yang ia dapat. Bahkan honor bulanan itu terkadang terlambat dibayarkan. Entah apa sebab Doni tidak tahu. Ya maklum Doni orang muda belum punya banyak pengalaman di dunia pekerjaan.
Kakak Doni si Anto kadang sesekali menggoda Doni dengan nada ejekan "Ah buat apa kamu kerja begitu pagi sore siang malam hasil tidak seberapa. Toh kamu bukan pengajar tetap di sana. Lihat itu yang jadi pengajar tetap saja lenggang kangkung. Kamu paling-paling tenaga honor sebegitu rajinnya. Sayang-sayang kamu punya badan punya pikiran. Mending dagang sembako saja sini bantu aku ada hasilnya jelas." begitu ejek Anto sambil menghisap sebatang rokok.
Doni hanya diam termangu mendengar apa yang disampaikan Anto. Dalam benaknya memang pekerjaan ini tidak sebanding hasilnya. Tapi apalah daya Doni bukan tipe orang yang mudah memberontak seperti Anto. Doni tipe orang pendiam yang serba tidak enakan. Apalagi kalau yang menyuruh itu orang yang lebih tua. Pasti akan Doni turuti dengan dalih tidak enak hati, ewuh pekewuh dan sebagainya. Ya walau lama kelamaan akhirnya Doni paham juga bahwa seperti apapun dia bekerja toh pada akhirnya juga akan begini-begini saja. Apa yang dia cari tidak dia temukan di sana.
Kebebasan berpikir, kesejahteraan yang cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan primer, atau waktu istirahat seakan sekarang jadi barang mahal untuknya. Hanya pekerjaan dan pekerjaan saja yang selalu datang silih berganti kepadanya. Kalau pekerjaan itu memang job desk Doni sendiri tidaklah menjadi soal. Yang aneh pekerjaan yang datang padanya kadang itu adalah pekerjaan milik orang lain di sekolahnya. Toh Doni juga yang mengerjakan. Dan aneh bin ajaib meskipun ada rasa dongkol di dalam dadanya Doni tidak pernah berani menolak, lagi-lagi dengan dalih tidak enak hati.
Tanggal 17 Agustus Doni banyak melihat beragam acara dalam rangka memperingati kemerdekaan Republik Indonesia. Mulai dari upacara peringatan, lomba jalan sehat, karaoke, sampai dengan karnaval ada dimana-mana. Semua orang merayakan nuansa kemerdekaan dengan gegap gempita. Tapi terbersit tanya dalam hati kecil Doni. Apa benar kita ini sudah merdeka? Lalu apa artinya merdeka jika dalam pekerjaan saja masih kerap kali diminta dan disuruh -- suruh untuk mengerjakan sebuah pekerjaan yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Apa pula itu makna kemerdekaan jika pilihan hidup untuk menjalani profesi sebagai guru yang konon katanya pahlawan pencerdas bangsa belum mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah? Gaji sebagai guru honor hanya cukup untuk membeli shampo dan sabun. Sangat jauh dari kata cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok sehari -- hari. Lalu merdeka dimananya?
Jikalau betul bangsa ini sudah merdeka mestinya rasa keadilan sosial dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ketimpangan sosial tidak terjadi dimana -- mana. Jurang antara si kaya dan si miskin tidak semakin dalam. Tetapi lihat kondisi hari ini, jangankan di tengah masyarakat, di dalam lingkup lingkungan pekerjaan pun masih ada ketimpangan sosial, bahkan terdapat kasta status sosial. Kemerdekaan yang diartikan secara gampang sebagai sebuah kebebasan nyatanya tidak dapat membebaskan kita dari ketimpangan -- ketimpangan yang ada. Masih terdengar berita -- berita tentang demo guru yang menuntut kejelasan nasibnya. Juga terdengar berita -- berita miris yang menyangkut kekerasan terhadap guru. Ada guru yang ditempeleng muridnya. Juga ada lagi guru yang harus mengalami kehilangan penglihatan gara -- gara diketapel oleh orangtua siswa hanya karena menegur anaknya merokok di lingkungan sekolah. Apa seperti ini yang namanya kemerdekaan? Bahkan guru sendiri tidak bisa merdeka dari isu kesejahteraan dan kekerasan. Lalu dimana kehadiran negara? Negara yang katanya sudah merdeka ini?
Bergelayut banyak tanya dalam batin Doni. Dan semua pertanyaan itu hanyalah menjadi pertanyaan tanpa kejelasan jawaban. Menumpuk dan membusuk di lubuk hati terdalam. Karena yang jelas tampak di depan mata hanyalah sebuah siklus. Ya siklus perputaran nasib atas takdir yang Tuhan gariskan. Doni hanya lakon dari sandiwara yang penuh kepalsuan dan kenaifan belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H