Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Yuan atau Renminbi?

28 Juli 2010   07:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:32 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa sebenarnya nama mata uang China? Yuan atau Renminbi? Ketika mendapat pertanyaan tersebut, beberapa orang mungkin akan menjawan Yuan. Beberapa yang lain bisa jadi menjawab Renmimbi. Sementara ada juga yang tak ambil peduli, atau menganggapnya sama. [caption id="attachment_207270" align="alignleft" width="150" caption="Priyanto B. Nugroho"][/caption] Akhir-akhir ini mata uang China memang semakin menjadi perhatian dunia. Tidak saja bagi para ekonom, namun juga para pemimpin politik negara-negara adidaya. Konon, kunci dari solusi krisis global yang baru saja menerjang dan ketidakseimbangan ekonomi global saat ini ada pada kebijakan nilai tukar mata uang China ini. Selama ini, Pemerintah China dianggap tidak ‘fair’ dalam menetapkan kebijakan mata uangnya. Mata uang China dijaga sedemikian rupa agar tetap ‘murah’, atau ‘undervalued’. Nilai tukar atau kurs mata uang China sejauh ini dipatok (peg) sebesar 6,77 per US Dollar. Dengan kebijakan tadi, tak heran bila dalam persaingan perdagangan internasional, China selalu menang. Barang-barang China selalu lebih murah dari yang diproduksi di negara-negara lain. Kebijakan mata uang China ini melengkapi keungguluan biaya produksi yang murah, termasuk biaya tenaga kerjanya. Walaupun, biaya tenaga kerja di China mungkin ke depan tak akan bisa murah lagi dengan semakin merebaknya tuntutan kenaikan upah buruh dan aksi pemogokan buruh di China akhir-akhir ini. Dengan ‘paket’ kebijakan ini, tak heran perdagangan China selalu mencatat surplus, sementara mitra dagangnya, terutama Amerika Serikat (AS), mencatat defisit. Artinya China selalu lebih banyak menjual barang (ekspor) ke negara lain dibandingkan dengan barang yang dibeli (impor) dari negara lain. Tak heran bila cadangan devisa China terus menumpuk hingga saat ini mencapai 2,45 triliun US Dollar dan 70% nya konon dalam denominasi US Dollar. Suatu jumlah yang luar biasa dan merupakan sepertiga dari jumlah cadangan devisa dunia. Bandingkan dengan cadangan devisa Indonesia yang saat hanya ini sekitar 76 milyar US Dollar. Angka cadangan devisa ini merupakan jumlah tertinggi yang pernah terjadi di republik ini. Cadangan devisa tak lain adalah alat pembayaran yang berlaku secara internasional, lazimnya dalam denominasi mata uang yang dianggap kuat di dunia seperti US Dollar, Euro, Yen atau dalam bentuk emas. Fakta luar biasa besarnya jumlah cadangan devisa China dan sebagian besar ditanamkan dalam surat utang AS ini berarti Chinalah yang sebenarnya membiayai AS, sekaligus menjadi tergantung pada AS. Kalau ekonomi AS runtuh dan nilai mata uangnya merosot, jelas China akan mengalami kerugian luar biasa. Sebaliknya bila China tidak lagi mau membeli surat utang AS, maka AS akan kelabakan karena biaya utangnya akan melonjak dan harga surat utangnya anjlok. Tak heran, perseturuan dan sekaligus saling ketergantungan antara China dan AS oleh beberapa pihak disebut sebagai ‘chicken game’. Di dalam chicken game, keduanya hanya saling menggertak, tak ada yang benar-benar berani menyerang. Bila benar-benar saling menyerang, keduanya akan sama-sama hancur. Lazimnya, satu pihak akan sedikit mengalah sekedar untuk meredakan ketegangan. Ini misalnya ditunjukkan oleh Pemerintah China menghadapi desakan para pemimpin dunia menjelang berlangsungnya pertemuan pemimpin negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-20 di Toronto, Canada beberapa waktu lalu. Seminggu sebelum pertemuan tersebut berlangsung, bank sentral China, People Bank of China (PBOC) menyatakan akan melepas sistem pegging mata uangnya terhadap US Dollar secara bertahap (Siaran Pers PBOC, tanggal 19 Juni 2010). Meski pernyataan PBOC tadi, untuk sementara meredakan ketegangan atau desakan ke China, namun faktanya sampai saat ini nilai tukar mata uang China masih tidak banyak bergerak (menguat). Sekarang di kisaran 6,78 per US Dollar. Kebijakan mata uang China memang ibarat senjata andalan China dalam menghadapi peperangan modern saat ini. Perang di bidang ekonomi dan pasar keuangan. Tidak aneh bila sampai Paul Krugman, ekonom kondang dari AS dan peraih hadial Nobel, sembari bergurau menyatakan bahwa kesimpangsiuran menyangkut nama mata uang China, Yuan atau Renmimbi juga merupakan salah satu strategi China mengahadapi gempuran desakan untuk melepaskan sistem pegging mata uangnya. Gurauan ini dinyatakan dalam artikel pendeknya berjudul ‘what’s in a name?’ (The New York Time, 23 Oktober 2009). Jadi apa sebenarnya nama mata uang China? Bila menilik pada situs-situs resmi Pemerintah China, termasuk situs bank sentralnya, maka Renmimbi adalah nama resmi mata uang China. Renminbi disingkat dengan RMB dalam pasar valuta asing. Sebagaima Rupiah disingkat dengan IDR (Indonesian Rupiah). Renmimbi pertama kali diperkenalkan bank sentral China tahun 1948, setahun sebelum berdirinya Republik Rakyat China (People’s Republic of China). Lantas apa itu Yuan? Yuan, sering disingkat dengan CNY (Chinese Yuan) tak lain adalah satuan hitungnya. Konon memiliki kemiripan dengan nama mata uang Jepang, Yen dan mata uang Korea Selatan, Won. Bisa jadi ketiganya memiliki akar sejarah yang sama karena juga memiliki symbol karakter yang sama. Meski di kedua negara tadi tidak ada perbedaan antara satuan hitung dengan nama mata uangnya. Meski demikian, masyarakat China sendiri tak ambil pusing dan lebih sering menyebut mata uangnya dengan ‘kuai’, merujuk ke coin perak yang banyak digunakan para pedagang di jaman kerajaan Spanyol (Stephen Mulvey, ‘Why China’s currency has two names?’, BBC News, 26 Juni 2010). Jadi, bila kita pergi ke Silk Market di Beijing yang terkenal itu misalnya, dan membeli dompet, baju, tas atau jaket maka cara mengatakan yang benar adalah harganya 50 Yuan dan kita membayarnya dengan mata uang Renminbi. Dengan demikian, harga jaket adalah 50 Yuan Renminbi. Mirip dengan Pound dan Sterling di Inggris? Artikel lain terkait: - Koh, Beli Terus Dong… Please - Misteri Angka ‘Sembilan’ dan Menguatnya Dominasi China

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun