Dusta itu berbingkai. Agar kebohongan tak terkuak sehingga tetap dilihat sebagai kebenaran, diperlukan kebohongan lain untuk mendukungnya. Semakin panjang waktu kebohongan harus tersimpan, semakin banyak skenario dan konspirasi yang harus disiapkan.
Tentu berat dan tak mudah menyimpan dusta. Perlu kerjasama banyak pihak dan perlu menjalin kelangsungan kepentingan yang ditimbulkannya. Lazimnya, dusta akan lestari bila si pendusta, atau para pihak yang merancangnya, sudah berpulang ke alam baka, atau bukti-bukti yang menunjukkan sebaliknya sudah musnah atau dimusnahkan, atau, saksi yang bisa menunjukkan hal yang sebaliknya ‘dimusnahkan’.
Sejarah manusia, dalam semua sisi, apalagi dunia politik, penuh dengan hal-hal seperti itu. Maka tak heran bila banyak sejarah mengalami revisi, dikoreksi. Lazimnya seiring dengan bergantinya rejim penguasa. Bilalah kini, banyak nuansa kebohongan terungkap dan terjadi, tak lain karena memang dunia sudah semakin terbuka dan teknologi informasi menunjangnya.
Pun demikian, tak kurang pula upaya manusia untuk mengungkapnya, for the good or for the bad, tergantung dimana bias kita melihatnya karena kepentingan, ukuran moral dan standar etika bisa saja berbeda-beda. Semakin banyak-bermunculannya media dan wartawan investigatif merupakan cerminan semangat manusia akan hal ini. Termasuk misalnya, Julian Assange dan Kristinn Hrafnsson yang dikenal pencetus WikiLeaks. Atau situs www.opensecrets.org di AS misalnya juga bisa dilihat sebagai upaya mengungkap dusta, terutama di kalangan politisi.
Spirit media massa lazimnya mengarah ke pencarian kebenaran untuk khalayak, bahkan sampai harus berprinsip untuk tak mengemukakan narasumbernya. Maka sering terdengar motto ‘cover both sides’ atau ‘without fear, without favor’. Meskipun, kebenaran sering pahit dan banyak yang tak suka mendengar keberanaran karena menyakitkan. Konon inilah yang menyebabkan mengapa banyak politisi berbohong. Mengungkap keberananpun, seringkali tak kalah pahitnya.
Baik berdusta maupun mengungkapnya, keduanya memerlukan nyali dan kekuatan nurani yang luar biasa. Tak semua orang bisa tentunya.
Besarnya dambaan untuk mengungkap kebenaran, dengan konsekuensi yang seringkali tak tertanggungkanpun banyak sudah diilustrasikan dalam film. ‘Pelican Brief’ dan ‘Nothing But The Truth’ adalah diantaranya. Yang terkini, adalah The Debt, meski kali ini lebih mencerminkan beratnya dilema pergulatan nurani, antara menyimpan dan mengungkap dusta, dari sang pelaku dusta sendiri.
Semula saya mengira kira film ‘The Debt’ masih tentang seluk beluk krisis ekonomi dan pasar finansial global saat ini, seperti ‘Inside Job’, ‘Inside The Meltdown’, ‘The Last Day of Lehman Brothers’, ‘Wall Street: Money Never Sleeps’, atau yang terakhir ‘Margin Call’.
Namun ternyata, film the Debt ini lebih mengenai bagaimana beratnya menyimpan dan mempertahankan dusta. Beban ini ditanggung oleh David Peretz, Stephen Gold dan terutama Rachel Singer. Ketiganya adalah agen rahasia Israel, Mossad, yang saat usia mereka masih di bawah 30 tahun menjalankan misi di Berlin Timur tahun 1965. Tiga puluh tahun kemudian, mereka dihadapkan pada tantangan berat terkait dusta mereka, yang sudah tersimpan rapi selama ini.
Singkat cerita, ketiga agen rahasia yang masih muda usia itu menjalankan misi rahasia untuk membawa penjahat Nazi yang sadis, Dr. Dieter Vogel, yang dikenal sebagai ‘Surgeon of Birkeanu’ untuk ditangkap hidup dan diselundupkan ke Israel agar bisa diajukan ke pengadilan sebagai penjahat perang.
Dalam pelariannya di Berlin, Vogel berprofesi sebagai dokter ahli kandungan dan karenanya, Rachel dan David diplot sebagai pasangan muda yang kesulitan memperoleh keturunan. Rachel memeriksakan diri ke dokter Vogel, untuk meyakinkan bahwa sang dokter kandungan itulah orang yang dicari. Setelah yakin bahwa dialah yang dicari, mereka bertiga menyiapkan strategi untuk menangkap dan membawa sang dokter untuk diselundupkan ke luar Berlin dan selanjutnya diangkut ke Tel Aviv.
Sayangnya, rencana yang sudah disiapkan untuk menyelundupkan sang dokter ke luar dari Berlin dengan kereta api gagal. Mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk menyandera dulu sang dokter di apartemen yang mereka huni bertiga. Mereka bergiliran untuk menjaga sang dokter selama ditawan.
Tepat saat tahun baru 1965, saat pesta kembang api menghiasi udara Berlin meski salam suasana hujan, pada saat Rachel bertugas menjaga sang dokter yang tangan dan kakinya diikat serta mulutnya ‘diplester’ dengan semacam selotip, sang dokter melarikan diri setelah ‘melumpuhkan’ Rachel. Pelarian diri sang dokter ini juga meninggalkan bekas luka permanen di pipi kanan Rachel yang robek akibat ditendang oleh sang dokter.
Mengetahui tawanannya lari, merekapun frustasi dan merasa putus asa. Di tengah suasana seperti ini, Stephen, yang saat itu usianya 29 tahun dan merupakan yang tertua, menyampaikan ide agar pelarian sang dokter ini hanya mereka bertiga yang tahu. Dia beranggapan bahwa toh sang dokter juga tak akan menampakkan dirinya ke publik dan akan tetap menyembunyikan jati dirinya. Disusunlah skenario yang harus mereka sepakati dan jaga seumur hidup, yaitu bahwa sang dokter berhasil di tembak mati di jalanan Berlin oleh Rachel saat berusaha melarikan diri.
Skenario dusta itulah yang sampai di Tel Aviv dan kepulangan mereka bertiga disambut bak pahlawan meski gagal membawa pulang sang dokter yang dalam film ini, meski tidak digambarkan secara jelas, kemungkinan merujuk sebagai karakter yang dinilai sudah menyebabkan ribuan manusia Yahudi yang ditawan tentara Nazi mati secara sadis di salah satu kamp tawanan tentara Nazi terbesar, Auschwitz-Birkenau.
Setelah tiga puluh tahun lebih rahasia dusta itu tersimpan rapi, tiba-tiba terancam akan terbongkar. Bertepatan dengan launching buku mengenai kisah ‘tiga pahlawan muda Israel’ tersebut, yang tak lain ditulis oleh putri Rachel, Sarah namanya, hasil ‘hubungan semalam’ dengan Stephen menjelang operasi penangkapan sang dokter Vogel waktu itu, David – yang sebenarnya sangat mencintai Rachel - mengunjungi Rachel dan menyampaikan bahwa sang dokter masih hidup dan ada di suatu rumah sakit di Ukraina. Ternyata David memang selama ini diam-diam terus mencari sang dokter.
Fakta bahwa sang dokter masih hidup tentu menjadi beban yang sangat berat bagi ketiga mantan agen rahasia muda tersebut. David, yang sejak awal digambarkan sebagai karakter yang cenderung jujur, meminta dukungan Rachel untuk menuntaskan misi mereka dan menceritakan kejadian yang sebenarnya. Namun demikian, atas desakan Stephen, Rachelpun bimbang dan awalnya terlihat lebih suka untuk ‘membiarkan’ cerita dusta yang selama ini ada. Meski sempat terbersit bahwa untuk sekali saja dalam masa hidupnya, ia ingin membuat Sarah, putrinya bangga akan kebenaran atas apa yang ia lakukan di masa lalu.
Mungkin tak kuat menaggung bebang, atau tak tega mengecewakan Rachel yang sangat dicintainya, David akhirnya bunuh diri dengan menabrakkan dirinya ke sebuah truk yang sedang melintas, seusai mendengarkan ‘sambutan ringan’ Rachel atas peluncuran kisah mereka bertiga yang ditulis oleh Sarah, putri Rachel.
Setelah David meninggal dan karena Stephen cedera fisiknya, akhirnya Rachel kembali menjalankan misi rahasia setelah pensiun cukup lama dari dunia mata-mata, untuk menemui sang dokter di sebuah rumah sakit di Ukraina. Diapun mendengar bahwa sudah ada jurnalis yang akan menemui sang dokter untuk menulis kisah hidupnya.
Setelah berhasil menyusup ke kantor berita sang jurnalis Ukraina, Rachel akhirnya mengetahui nomer kamar tempat sang dokter dirawat. Kamar 414.
Akhirnya, Rachel sampai lebih dulu di kamar 414 dan menemukan bahwa sang pasien yang ada di sana bukanlah sang dokter Vogel yang dia kenal. Rachelpun dihadapkan pada pergulatan bathin yang hebat, dia meninggalkan pesan untuk sang jurnalis yang sebentar lagi akan menemui sang dokter Vogel ‘palsu’. Dia ceritakan secara singkat kisah sesungguhnya yang terjadi terkait dengan sang dokter Vogel sembari menyatakan bahwa sang pasien bukanlah orang yang dimaksud.
Setelah meninggalkan catatan kecil di kamar sang dokter Vogel ‘palsu’ tersebut, Sarahpun bergegas keluar dan pada saat itulah dia melihat sekelebatan seorang tua renta yang berlalu. Seseorang yang dia kenal, yaitu dokter Vogel yang asli. Diapun mengejarnya dan terjadilah pergumulan seru diantara tokoh yang sudah renta ini. Rachel tertusuk dengan gunting dan luka cukup parah, namun dia berhasil pula menghunjamkan sebuah suntikan yang mematikan di punggung sang dokter dan membuatnya tewas. Rachel selamat meski terluka luka parah.
Bagi Rachel, mungkin beban dan perang bathin sudah dia menangkan. Di satu sisi, kebenaran sudah dia tuliskan dan aka nada di tangan sang jurnalis untuk mengangkatnya. Di sisi lain, dia sudah ‘menuntaskan’ saksi kunci yang langsung terkait dengan kebenaran.
Yang pasti, tinggal sang jurnalis yang kini memegang bola. Di satu sisi, dia memegang bukti berupa catatan pengakuan sang pelaku, yaitu Rachel. Di sisi lain, bukan tokok kunci asli yang dia wawancarai.
Di sini, tergambar jelas betapa beratnya menanggung dusta dan upaya mengungkapnya yang ada di pundak Rachel.
Atau ini justru dibuatnya ‘ending’ yang demikian sebenarnya cerminan kegamangan sang penulis skenario sendiri menyangkut hal-hal dusta seperti itu?
Mungkin sang penulis skenario tahu bahwa di alam nyata, lebih banyak dusta yang dibawa sampai mati. Sementara dia ingin ada solusi ideal untuk menyelesaikan dusta manusia. Atau, dia mungkin sekedar ingin member inspirasi bagi penonton yang kebetulan menjadi pelaku dusta dan menjadi pemirsa …
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H