Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Pecel sebagai Appetizer

22 Maret 2012   03:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:38 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Indonesia semakin menjadi pusat perhatian dan alternatif investasi para pemodal dunia. Salah satu tandanya adalah semakin banyaknya pertemuan bisnis berskala internasional yang diselenggarakan di Jakarta. Tak heran bila beberapa waktu lalu, sempat terbersit keinginan Pemda DKI untuk menjadikan Jakarta sebagai salah satu kota seminar berkelas internasional.

Banyak pengusaha hotel yang menyambut gembira peluang bisnis ini, meski menyadari bahwa transportasi di Jakarta tentunya menjadi kendala terbesar. Namun demikian rupanya daya tarik berupa prospek keuntungan bisnis di saat perekonomian akan semakin ‘booming’ ke depan, mengalahkan kendala tersebut. Juga mengalahkan isu-isu korupsi, birokrasi yang tidak efisien, ketidakjelasan banyak regulasi dan pranata hukum serta keterbatasan infastruktur. Terbukti semakin banyak hotel berbintang dibangun di Jakarta dan sekitarnya, serta dengan tingkat hunian yang terus melonjak.

Menurut data STR Global, sebuah agency penyedia data review perhotelan sedunia sebagaimana dikutip di salah satu artikel the Wall Street Journal edisi 8 Maret 2012, tingkat hunian hotel di Jakarta melonjak tajam sejak tahun 2009 lalu. Tarif menginapnyapun naik tajam. Konon untuk hotel bintang lima, tarifnya sudah lebih mahal dari tarif hotel sekelas di Bangkok.

Akibatnya, kini semakin susah booking kamar hotel secara mendadak di Jakarta. Perkembangan ini tentunya menggembirakan bagi industri perhotelan dan menunjukkan bahwa hotel-hotel di Jakarta tidak lagi didominasi sebagai tempat rapat anggota parlemen, partai politik maupun instansi-instansi pemerintah sebagai salah satu bentuk penyerapan anggaran.

Dampak positif lainnya adalah berkembangnya pula industri pendukung, seperti restoran, wisata kuliner, khususnya menyangkut makanan tradisional. Terkait yang terakhir ini, kebetulan beberapa waktu lalu yang merasakan perkembangan industri makanan tradisional ini.

Dalam sebuah ‘lunch discussion’ berskala internasional di salah satu hotel berbintang lima di Jakarta, saya lihat daftar menu makanan yang disediakan di meja semuanya adalah makanan tradisional. Mulai dari makanan pembuka (appetizer), menu utama (main course) hingga makanan penutup (dessert).

Awalnya saya agak sangsi dengan kemungkinan rasa dan penyajiannya nanti mengingat pengalaman sebelumnya. Saat itu, di sebuah acara mengenai Indonesia di Asia House – London yang diikuti pebisnis dan analis ekonomi Eropa, penyelenggara mencoba memperkenalkan lunch menu set yang semuanya makanan tradisional Indonesia. Mungkin karena sifatnya masih coba-coba, kesannya jadi kurang begitu istimewa.

Nah kali ini di urutan pertama daftar menu, pembukanya adalah pecel!

“Busyet deh!”, dalam hati saya bergumam sembari melihat beberapa bule di samping kiri-kanan saya yang sedang membaca ‘deskripsi’ dari setiap menu, sembari menunggu acara dibuka.

Setahu saya, pecel itu ya ‘main course’, sebagai lauk nasi bersama dengan krupuk dan telur ceplok atau ayam goreng. Apalagi ingatan langsung melayang ke warung ‘SGPC’ (sego pecel) di Bulaksumur, Jogja, yang murah meriah penuh selera bagi mahasiswa. Mungkin karena bahannya sayuran jadi diperlakukan sebagai salad, batin saya.

Namun kesan dan rasa was-was saya sirna seketika begitu makanan mulai disajikan di setiap meja bulat yang memenuhi ruangan. Cara penyajiannya sungguh mengundang selera dan melihatnya saja, bisa langsung terasa kelezatannya. Sangat mengundang selera. Barangkali karena ini di hotel bintang lima, batin saya.

Pecel tadi disajikan dalam porsi kecil dan sudah dicampur dengan sambal kacangnya dengan bentuk seperti mangkuk kecil terbalik dengan bagian atas rata. Mungkin ‘dicetak’ dengan cetakan yang biasanya dipakai untuk membuat agar-agar atau puding. Di atasnya ditaruh sepotong empal daging sapi goreng yang sangat tipis, crispy sekali. Kemudian di sampingnya ada sepotong kecil keripik kacang (‘cenggereng’). Di setiap meja juga disajikan emping dan kerupuk kecil-kecil di dalam sebuah keranjang yang lazimnya berisi roti, sebagai teman.

Sayapun mulai menyantap hidangan pembuka ini sembari melirik kiri-kanan untuk melihat eksperesi mereka. Dan benar, lezat sekali rasanya pecel ini dengan porsi yang pas dan sambal yang tidak terlalu pedas, ebagai makanan pembuka. Saya lihat ekspresi bule disamping kiri dan kanan sayapun menunjukkan rasa puas.

Tuntas melahap makanan pembuka, disajikan menu utama berupa nasi yang ditemani dengan dua potong daging ikan gurameh goreng (tanpa duri) berbentuk persegi panjang, sesendok sambal dan semacam acar dalam porsi yang pas. Cukup lezat rasanya, apalagi dengan kekeringan ikan yang cukup dan masih hangat saat disantap di tengah dingginnya AC di dalam ruangan. Cara penyajiannyapun sangat representatif layaknya main course yang sering terlihat di acara TV master chef.

Sementara sebagai makanan penutup, dihidangkan dua potong kecil pisang goreng Pontianak yang dibubuhi irisan keju dan ice cream disampingnya. Sangat menggoda selera. Sayang sebelum sempat tuntas menghabiskan dessert ini, acara sudah dimulai dengan luncheon speech yang disampaikan oleh tokoh dari salah satu universitas terkemuka di AS dan mantan pejabat bank sentral AS.

Sayang saya tidak sempat mengambil gambar dengan kamera ponsel bagaimana penyajian makanan tradisional dengan cara yang sangat menarik tersebut. Namun pengalaman saya tadi membuktikan bahwa makanan tradisional Indonesia, didukung dengan kreatifitas tata boga memiliki prospek yang cerah ke depan dan layak menjadi sajian utama di hotel berbintang harusnya bisa makin mendunia seperti halnya makanan khas China, Thailand, Vietnam maupun Jepang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun