Sebagian besar dari kita akan membayangkan sosok yang lusuh, dengan alat musik seadanya, suara yang jauh dari merdu dan lengkap dengan kantong bekas bungkus makanan atau permen, bila mendengar kata pengamen. Pengamen yang banyak kita temui di kota-kota besar di Indonesia bahkan ada yang sebatas bermodal ‘keplok’ (tepuk tangan) sambil bercuap tak karuan di jalanan. Tak pelak, kesan pengamen sangat rendah dan tak lebih dari seorang peminta-minta. Bilapun kita memberikan sekedar uang receh ke pengamen, biasanya karena agar lekas pergi dan mungkin karena merasa seram saja.
Meski begitu, ada juga pengamen yang sifatnya cukup menghibur. Biasanya pengamen model begini berada di tempat makan yang permanen dan tidak berkeling dari meja ke meja, melainkan ada di suatu pojok yang disediakan pemilik rumah makan. Tengoklah misalnya pengamen yang ada di warung ‘Es Masuk’ di kota Solo, tepatnya di jalan Kratonan, sebelah utara perematan Gemblegan. Kalau kebetulan kita mampir di warung tersebut, yang menunya khas Solo seperti Selat Solo, kita akan diiringi dengan lantunan musik Campursari. Terhadap pengamen yang model begini, kita bebas untuk memberikan sejumlah uang atau tidak kepada mereka. Namun biasanya, sebagai bentuk apresiasi, pengunjung akan dengan sukarela memasukkan sejumlah uang ke kotak yang mereka sediakan di meja kecil di depan tempat mereka ‘manggung’. Nah, pengamen yang model begini tidak banyak di tempat kita, apalagi di ruang publik yang terbuka. Di sepanjang jalan Malioboro – tempat di mana konon Ebiet G. Ade sering ‘berpentas’ sebelum menjadi kondang - kadang-kadang masih kita temukan pengamen atau pemusik jalanan seperti ini. Namun hampir tidak ada yang ngamen namun bukan dengan alat musik, misalnya tarian atau aksi teatrikal lainnya.
Hal yang mungkin berbeda dengan pengamen yang kita temukan di beberapa kota besar dunia. Selain karena di sana lebih banyak tersedia ruang publik terbuka, tempat masyarakat menikmati senja, melepas penat atau sekedar melamun juga karena, mungkin, para pengamen memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Tidak sekedar meminta-minta, melainkan mempertunjukkan sesuatu yang bisa dinikmati publik, mungkin sekalian latihan tampil di depan publik. Paling tidak, meski sama-sama mengharapkan imbalan dari yang lewat, ada yang mereka coba berikan sebagai gantinya dan tidak asal-asalan.
Tengoklah misalnya di area Circular Quay, Sydney. Seringkali di saat sore, kita temukan gadis kecil bermain biola dengan kotak biola terbuka sebagai tempa menampung apresiasi yang lewat. Atau pertunjukkan music khas Aborigin, lengka dengan kostum Aboriginnya. Bahkan tak jarang mereka menawarkan CD hasil rekaman musiknya. Ada juga yang berupa aksi teatrikal, misalnya menjadi ‘patung’ dan bila ada yang melemar coin, dia akan melakukan gerakan-gerakan yang lucu sehingga banyak anak kecil yang tertarik untuk melempar coin, bahkan photo bersama. Hal yang serupa bisa kita temui di kota besar lain. Di London, Madrid, Lisbon, Roma, New York bahkan di Singapore – khususnya sepanjang Orchard Road - kita akan jumpai hal seperti ini. Film-film Barat biasanya menambilkan hal ini sebagai salah satu bagian yang – meski sekilas – disorot.
Namun ada satu pengamen yang sangat indah yang pernah saya temukan. Pengamen ini sepasang muda-mudi, menarikan suatu tarian yang sangat indah, tari ‘Tango’, dengan kostum layaknya berpentas sungguhan meski hanya diiringi musik dari sebuah tape recorder. Mereka menempatkan sebuath topi yang dibalik untuk menampung coin apresiasi yang pejalan kaki yang kebetulan lewat dan menonton. Sungguh saya sangat menikmati pengamen ini, yang saya sebut saja ‘Tango on the Street’ karena indahnya tarian yang mereka sajikan di jalanan, semacam daerah Pasar Baru atau Malioboro di bagian kota Santiago, Chile. Tepatnya di Parada Coclocarro, daerah yang juga banyak kita temukan kedai kopi nan sexy.
Photo oleh Priyanto B. Nugroho Melihat eloknya tarian pengamen tadi, seolah saya sedang menyaksikan audisi ‘so you think you can dance’, sebuah acara pencarian bakat penari di salah satu stasiun televisi di Amerika. Saya berfikir, mungkin kedua pasangan muda-mudi yang sedang ngamen tadi sedang belajar uji nyali untuk tampil di hadapan publik, sekaligus mencari tambahan untuk bekal meniti karir ke depan. Â
Photo oleh Priyanto B. NugrohoMudah-mudahan hal seperti itu akan mulai ada dan semakin banyak di Indonesia. Semoga semakin banyak ruang publik terbuka, seperti Taman Monas, Taman Menteng maupun Taman Suropati di Jakarta, yang dibangun Pemerintah dan dimanfaatkan masyarakat. Sekedar untuk merenung dan menikmati senja, atau oleh para penggiat seni, dapat menjadi ajang untuk latihan tampil di depan publik sekaligus untuk menambah bekal masa depan. Saat ini mulai dibangun Citiwalk di berbagai kota, mudah-mudahan hal ini tak sekedar aksesoris pelengkap mal-mal yang dibangun. Benar-benar suau city walk, dengan trotoar dan ‘taman’ yang luas, tempat interaksi dan sosiaisasi beragam lapisan masyarakat dan mungkin sambil menikmati burung merpati dan beragam pertunjukan seni dari para ‘pengamen’. Seandainya, ada 'pengamen' Jathilan, tari Bondan, tari Gambyong atau seni rakyat lainnya di ruang publik terbuka, mungkin bisa mengurangi tersedotnya perhatian masyarakat ke beragam acara sinetron di televisi, termasuk siaran Pansus. Dengan demikian, kita akan lebih bernurani dan semakin beradab, tidak mudah emosi dan ‘brangasan’.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H