Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menaklukkan Bandung dengan GPS

24 Januari 2012   08:53 Diperbarui: 4 April 2017   18:06 5103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13273985071062213443

Sebenarnya saya sudah menyerah untuk urusan nyetir mobil di Bandung. Terus terang, saya nyaris buta dengan peta, jalan dan nama tempat di Bandung meski sudah berkali-kali ke Bandung.

Menaklukkan jalanan Bandung buat saya merupakan tantangan terbesar, bukan saja karena kemacetannya yang minta ampun di setiap akhir pekan, namun juga karena banyak jalannya yang melingkar-lingkar, bercabang dalam jarak yang pendek dan banyak yang satu arah. Menyebut nama tempat dengan baik dan benarpun susahnya minta ampun, sehingga sulit manakala harus bertanya.

Keputusan menyerah untuk 'stir' mobil di Bandung ini saya ambil berdasarkan pengalaman beberapa tahun lalu, saat bersama keluarga mencoba 'refreshing' di Bandung. Begitu keluar pintu tol Pasteur dari arah Jakarta, saya beli 'peta' yang banyak ditawarkan di jalan.

Saya coba pelajari benar peta itu. Meski begitu, ternyata tak banyak membantu juga peta itu sehingga untuk menempuh jarak dari kawasan Setiabudi ke daerah jalan Riau yang banyak 'factory outlet', saya sampai berputar berkali-kali karena salah jalan. Total saya habiskan 2 jam-an lebih untuk sampai ke sana, setelah sebelumnya sempat beristirahat karena bingung di Taman lalu-lintas Ade Irma Suryani. Sejak saat itu, saya putuskan untuk 'never, never again' nyupir mobil di Bandung.

Namun demi anak-anak yang pengin sekali jalan-jalan sekeluarga ke Bandung dengan mobil sendiri, supaya santai katanya, saat 'long weekend' liburan Imleks saya putuskan untuk mencoba lagi. Beberapa hari sebelum berangkat, saya putuskan untuk beli perangkat GPS (global positioning system). Saya beli produk yang paling banyak digunakan berdasarkan info sang penjual.

Saya uji coba beberapa hari GPS tersebut di Jakarta untuk melihat kehandalan dan keakurasiannya. Termasuk kecepatan responnya dalam memberikan alternative rute pada saat rute yang disarankan terlewat.

Setelah saya rasa cukup meyakinkan, saya siapkan pula beberapa 'tempat favorit' yang kami rencanakan untuk dituju di Bandung agar tersimpan di memori GPS. Selain tempat kami menginap, juga beberapa tempat wisata kuliner, baik di Bandung maupun daerah Lembang, meski kami sudah putuskan untuk akan lebih banyak tinggal di tempat penginapan saja menikmati ketenangan dan santai.

[caption id="attachment_157224" align="aligncenter" width="576" caption="Petunjuk jalan di GPS (gambar diambil saat mobil dalam posisi benar-benar berhenti) (Dok. Pribadi)"][/caption]

Walau begitu, saya belum 'pe-de' juga, saya harus konfirmasi beberapa jalur yang disediakan oleh perangkat GPS tadi ke kerabat dekat yang hafal di luar kepala mengenai Bandung, Bang Tigor namanya. Meski Bang Tigor bukan orang Sunda, terlihat dari namanya namun beliau besar di Bandung dan bahasa Sundanya tak kalah 'native'-nya dengan bahasa Bataknya. Saya buat beberapa catatan kecil 'key word' mengenai beberapa tempat sekedar sebagai patokan nantinya, baik untuk kapan harus berbelok atau ancar-ancar suatu tempat.

Akhirnya hari 'H' pun tiba. Kami berangkat Sabtu siang, sekitar jam 11 dari Jakarta. Alhamdulillah lancar di jalan tol, baik tol Cikampek maupun tol Cipularang, tidak seperti yang kami khawatirkan sebelumnya. Hanya menjelang keluar pintu tol Pasteur, antrian cukup panjang. Sekitar sekilo meter.

Begitu lepas gerbang tol Pasteur, terus terang saya tegang juga karena buta arah sama sekali. Saya benar-benar hanya mengandalkan GPS dan mengingat lagi 'key word' Bang Tigor; 'Jangan naik jalan layang Pasopati, ambil yang jalan sebelah kirinya dan ambil jalur yang kanan'. Saya cocokkan dengan petunjuk yang ada di GPS, cocok! Lumayan lega saya. Kami memang akan menuju di sebuah tempat penginapan di jalan HOS Cokroaminoto, di daerah stasiun kereta api.

Akhirnya, tanpa hambatan kami sampai di tempat menginap. Ujian pertamapun terlampaui dengan baik. Tibalah kini ujian selanjutnya, yaitu saat kami memutuskan hendak menuju Kampung Daun untuk mencari suasana lain sembari makan malam dan sekaligus melihat nuansa imlek di sana.

Sebelum meninggalkan hotel, saya set tujuan hingga terlihat panduan ke mana arah saya harus mengemudi. Untuk menegaskan, saya bertanya lagi ke petugas hotel yang mengatakan: ‘begitu keluar hotel, belok kiri dan lurus saja Pak sampai ke jalan Setiabudi dan begitu sampai di terminal Ledeng, belok kiri menyusur jalan Sersan Bajuri”. Lega perasaan saya karena klop dengan petunjuk di GPS yang rutenya menunjukkan jalan HOS Cokroaminoto – Pasir Kaliki – jalan Sukajadi – Setiabudi, baru belok kiri ke jalan sersan Bajuri.

Saya pun siap mental, termasuk siap untuk melaju dengan ‘pamer paha’, PAdatMERayap tanPA HARapan menjelang ‘Paris Van Java’.

Sialnya, baru beberapa ratus meter menyusuri jalan HOS Cokroaminoto, jalan yang langsung menuju Pasir Kaliki ditutup. Harus belok kiri atau belok kanan masuk ke jalan Pajajaran. Sontak saya belok kanan masuk ke jalan Pajajaran sembari melihat GPS yang memberikan panduan untuk belok kiri masuk ke jalan dokter Cipto (?) dan langsung belok kiri lagi ke jalan dokter Rubini untuk kembali ke jalur jalan Pasir Kaliki – jalan Sukajadi. Karena papan penunjuk nama jalan tak terlihat (tertutup pohon) dan jaraknya sangat pendek, sayapun melewati rute yang disarankan GPS. Untung dengan cukup cepat GPS memberikan panduan jalan alternatif yang harus dilewati untuk kembali ke rute menuju jalan Setiabudi.

Singkatnya, kamipun tiba dengan selamat dan relatif cepat tanpa tersesat di Kampung Daun. Ujian keduapun sukses saya lalui.

Cukup lega rasanya setibanya kami di Kampung Daun. Suasana cukup ramai dan meriah sore menjelang malam saat itu. Pengunjung sangat banyak dan kamipun harus menunggu untuk mendapat tempat di ‘gubug’ yang disediakan di perbukitan sebagai tempat makan malam.

Nuansa Implek cukup kental dengan hiasan lampion dan Naga untuk menggambarkan Tahun Baru Implek, tahun Naga. Penjaja makanan kecil di pintu masukpun mengenakan pakaian tradional Tiongkok dengan warna dominan merah menyala. Cukup lama waktu kami habiskan di Kampung Daun, Kami benar-benar menikmati suasana dan sajian makanan yang sangat nikmat di santap dalam cuaca yang dingin menyejukkan.

Setelah puas, kamipun memutuskan untuk kembali ke tempat penginapan. Namun kali dengan dengan rasa keyakinan yang lebih tinggi karena dua ujian sudah terlampui. Ternyata GPS memang sangat membantu dalam perjalanan, terutama bila kita adalah pengunjung di suatu daerah yang tidak begitu kita kenal.

Sayapun teringat slogan salah satu acara TV ‘Travel and Living’ yang berbunyi ‘life is easy with direction’. It is indeed true …

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun