Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mau Tetap Merdeka? Berhutanglah...

20 Agustus 2010   10:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:51 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

‘The United States debt, foreign and domestic, was the price of liberty’ (Alexander Hamilton).

Amerika Serikat (AS) menjadi negara adidaya di dunia sampai saat ini adalah karena hutangnya yang luar biasa besar. Jumlah hutang pemerintah AS saat ini mencapai 13,4 triliun US Dollar. Jumlah ini hampir mencapai 100% dari produk domestic bruto-nya (PDB). Jauh di atas jumlah hutang pemerintah Indonesia yang kini sekitar 26% dari PDB. Dengan jumlah tersebut, berarti setiap rakyat AS menanggung hutang sebesar 43 ribu US Dollar. Perkembangan jumlah hutang Pemerintah AS setiap detiknya bisa dilihat di link ini.

Anggaran belanja pemerintah AS juga selalu defisit karena penerimaan pajaknya tidak cukup untuk menutup pengeluarannya. Sekarang ini, defisit anggaran AS sekitar 10% dari PDB, jauh lebih besar dari defisit APBN yang diperkirakan ‘hanya’ sekitar 1,7%.

Konon dengan hutangnya yang luar biasa besar tadi, rakyat AS menjadi sangat patriotik, sangat nasionalis terhadap negaranya. Hal ini tak lain karena dengan hutang tadi, Pemerintah AS dapat menyejahterakan sebagian besar rakyatnya. Pemerintahnya dapat menyediakan perumahan yang layak dan jaminan sosial yang sangat memadai. Namun, pola hidup seperti inilah yang menyebabkan Pemerintah AS sekarang sebenarnya dinilai sudah bangkrut secara teknis karena hutangnya. Meski banyak yang masih tak percaya. Paling tidak ini menurut penilaian Profesor Laurence Kotlikoff dari Universitas Boston. Dia menyatakan ‘US is bankrupt, and we don’t even know it’ (Bloomberg, 11 Agustus 2010). Sang professor memang sudah lama menaruh perhatian pada bahayanya pola hidup Pemerintah AS ini. Dia antara lain pernah menulis buku ‘Defisit Delusion’ di tahun 1984. Dalam bukunya ini dia mengingatkan agar masyarakat hati-hati melihat angka defisit suatu negara karena tidak mencerminkan ‘kondisi keuangan’ negara yang sesungguhnya. Dari kaca mata akuntansi, defisit hanyalah gambaran arus kas dalam setahun, bukan neraca.

Berhutang memang cara hidup yang lazim bagi masyarakat maupun perusahaan dewasa ini, termasuk di Indonesia tentunya. Namun harus tidak menjadi ‘kecanduan’ dan tanpa perhitungan, atau lupa daratan. Dengan berhutang kita bisa membeli barang meski penghasilan belum diterima saat ini. Hutang akan dilunasi pada saat kita menerima penghasilan. Sekarang ini saja, sebagian masyarakat sudah hidup dengan pola berhutang ini. Lihat saja bagaimana sebagian orang membeli motor, mobil atau rumah/apartemen. Semakin banyak yang membeli dengan cara mencicil (kredit).

Nah, dari mana pola hidup dengan berhutang masyarakat dan Pemerintah AS tadi berasal?

Ternyata sejak berdirinya, filosofi masyarakat AS memang hidup dari berhutang. Adalah Alexander Hamilton yang mengusung pertama kalinya. Dia adalah menteri keuangan (secretary of the treasury) pertama AS di jaman presiden George Washington. Di jamannya, landasan arsitek perekonomian AS disusun. Dia juga konon banyak terlibat dalam penyusunan konstitusi AS saat itu.

Sebagai menteri keuangan, dia terkenal dengan semboyannya ‘The United States Debt, foreign and domestic, was the price of liberty’. Hutang kita adalah biaya perolehan kemerdekaan kita, begitu mungkin maksudnya. Bisa jadi dia mengacu ke biaya perang yang timbul semasa perang kemerdekaan di sana. Bisa jadi, ini yang kemudian menjadi inspirasi AS ketika berperang di mana saja sampai saat ini. Tidak peduli berapapun biayanya, meski dari hutang. Meski kali ini bukan lagi demi kemerdekaan, melainkan demi supremasi AS di dunia.

Semboyan tadi saat ini terpampang di kantor urusan hutang negara (Bureau of Public Debt Management) pemerintah AS. Kantor ini semacam Dirjen Pengelolaan Utang (DJPU) di Indonesia.

[caption id="attachment_233175" align="aligncenter" width="240" caption="Alexander Hamilton (www.wikipedia.org)"][/caption]

Wajah Alexander Hamilton sampai sekarang masih menjadi tampilan muka pecahan uang sepuluh US Dollar.

Lantas bagaimana mungkin negara yang sudah bangkrut masih bisa tetap berhutang dengan sangat besar?

Jawabannya mungkin ada di ‘kepercayaan’. Semua negara percaya bahwa pemerintah AS masih bisa memenuhi semua kewajibannya. Yang pasti, semua sudah terlanjur terjerat dan memang nyaris tak berdaya. Inilah hebatnya Amerika.

Apapun, kuncinya memang di kepercayaan tadi. Mata uang AS, US Dollar, sekarang ini ibarat emas. Dipercaya sebagai mata uang yang paling aman untuk menyimpan kekayaan dan sebagai alat pembayaran internasional. Semua negara di dunia, tanpa kecuali, menaruh kekayaannya, dalam bentuk cadangan devisa di surat utang Pemerintah AS (US Treasury bills/Notes/Bonds).

Bisa jadi kepercayaan yang sangat kuat ke mata uang US Dollar tadi karena di dalam setiap lembar US Dollar memang ada kata-kata percaya ini. Tengok saja setiap lembaran US Dollar, di sana ada semboyan ‘In God We Trust’ (jangan terlalu serius mengaitkannya hehehehe).

Meski sejatinya semboyan yang religius ‘In God We Trust’ tadi awalnya memang mencerminkan kerinduan masyarakat AS pasca periode perang sipil di sana. Semboyan tadi konon awalnya berupa usulan berbagai pihak yang berbunyi ‘Our Country, Our God, Our Trust’. Usulan yang kemudian diterima Konggres ASdan tercantum dalam undang-undang mata uang AS yang disahkan pada 22 April 1864. Semboyan tadi kemudian muncul pertama kali dalam pecahan 2 sen koin emas US Dollar cetakan tahun 1864.

Kembali ke masalah hutang AS yang kemungkinan akan terus membesar. Kepercayaan diri AS pun saat ini juga sudah turun. Tepatnya, banyak pihak di AS yang semakin cemas dengan masa depan perekonomian AS. Walau tentu banyak juga yang tak peduli. Para politisi kini cemas bahwa dengan kelemahan ini, nantinya AS tidka lagi bisa menjadi negara adidaya dan disetir oleh para negara krediturnya. Maka Konggress AS meminta Pemerintahan Obama untuk melakukan analisa risiko keamanan negara atas kepemilikan negara asing di surat hutang AS ini. Konggres juga memerintahkan adanya laporan kuartalan negara-negara pemegang surat hutang pemerintah AS ini (the Wall Street Journal, 10 Juni 2010).

Dari data US Treasury per Juni 2010, inilah negara-negara utama pemberi hutang ke AS:

China:843,7 milyar US Dollar

Jepang:803,6 milyar US Dollar

Inggris:362,2 milyar US Dollar

OPEC:223,0 milyar US Dollar (Indonesia dimasukkan kategori ini)

Brazil:158,4 milyar US Dollar

Hong Kong: 141,0 milyar US Dollar

Taiwan:128,6 milyar US Dollar

Rusia:123,4 milyar US Dollar

Swiss:100,1 milyar US Dollar

Toh meski ekonomi AS masih terpuruk dan hutang yang semakin menggelembung, kedigdayaan AS masih ada. Kini bahkan AS dapat berhutang dengan biaya yang sangat murah karena dengan suku bunga mendekati ‘nol’, masih banyak yang berebut untuk membeli surat hutang AS. Tanda bahwa US Dollar masih dipercaya, sampai saat ini.

Meski demikian, kecemasan pihak AS sendiri akan masa depannya memang semakin terlihat. Ben Bernanke, gubernur bank sentral AS (the Federal Reserve) di hadapan Konggres AS menyatakan bahwa ekonomi AS dalam situasi yang ‘unusually uncertain’. Ini untuk menggambarkan tingginya ketidakpastian pemulihan ekonomi AS meski lebih dari setrilyun dollar digelontorkan.

Masihkan AS dengan strategi berhutangnya mempertahankan ‘kemerdekaanya’ dan memimpin dunia?

Juga masihkah US Dollar akan mendominasi transaksi perekonomian dunia? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Yang pasti, upaya mencari alternatif pengganti US Dollar akan terus berlanjut dan Renminbi semakin terlihat sebagai salah satu kandidatnya … (Bloomberg, the Wall Street Journal, Reuters, CNNMoney, Wikipedia, CNBC, US Treasury Department web site)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun