[caption id="" align="alignleft" width="300" caption="Photo : Reuters (www.ft.com)"][/caption]
‘Koh ... koh, beli dong surat utang gue, please. Ayolah Koh, gue kan selalu bayar tepat waktu ? kalau nggak ke gue, kemana lagi Engkoh akan taruh uang?'
Mungkin itu kalimat yang ingin diucapkan Tim Geithner kepada Wang Qishan. Tim Geithner adalah the Secretary of the Treasury pemerintah Amerika Seriktat (AS), sementara Wang Qishan adalah wakil Perdana Menteri pemerintah China. Memang tak bisa disangkal bahwa kedua negara ini, suka tidak suka, harus terus saling bergandengan tangan. Meski terkadang keduanya saling tarik-ulur, namun keduanya menyadari bahwa mereka sudah saling bergantung satu dengan lainnya. Gertakan silih berganti diantara keduanya hanyalah untuk menunjukkan kedigdayaan masing-masing, agar tidak dilihat sebagai pihak yang lebih lemah dan bisa ditekan. Namun, gertakan tersebut tak pernah berkelanjutan karena selalu ada upaya untuk menetralisir dari keduanya. Hal yang dilandasi bahwa perseteruan keduanya tak akan ada yang untuk, melainkan sama-sama buntung. Bahkan, pihak lain bisa ikut amburadul akibat perseteruan keduanya.
Tak bisa dipungkiri, keseimbangan dunia saat ini sangat bergantung pada ‘kerukunan' keduanya. Apalagi setelah negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) saat ini terpuruk dan menghadapi cobaan berat akibat mencuatnya krisis utang di Yunani dan beberapa negara Eropa lainnya. Eksistensi mata uang Euro-pun terancam. Padahal semula, Euro diramalkan akan menjadi mata uang kuat dunia pesaing US Dollar.
Keterikatan keduanya merupakan simbiosis mutualisme. Akan saling menguntungkan bila masing-masing bisa menjaga diri. China, ibarat saudagar kaya yang terus menanjak usaha dagangnya. Bagi China, Amerika ibarat pembeli setia sekaligus tempat yang dinilai paling aman dan menguntungkan untuk menyimpan harta kekayaan China. Sementara AS ibarat sosok perlente yang keren, meski dari sisi ekonomi selalu ‘besar pasak daripada tiangnya' namun tak ada yang meragukan kredibiltasnya. Masyarakat AS terkenal dengan pola konsumsif dan membiayai hidupnya dengan berhutang. Kini, pasca bail-out terhadap perekonomian akibat krisis hebat yang baru saja terjadi, defisit pemerintah AS mencapai lebih dari 12% dari pendapatan domestik brutonya (PDB). Sangat jauh dari defisit pemerintah Indonesia yang masih dalam kisaran 2%. Namun demikian, tak satu pihakpun yang meragukan kemampuan pemerintah AS untuk membayar utang. Kredibilitas AS ini sudah menjadi mitos dan asumsi baku bagi siapapun.
Hubungan China dan AS memang sangat unik. Ibarat pasangan yang yang sebenarnya tidak saling suka namun terpaksa harus hidup bersama. Hakikatnya, China-lah yang membiayai pemerintah AS (memberi pinjaman) agar perekonomian AS tetap berjalan, untuk kemudian membeli produk-produk China. Meski bukan hanya AS pembeli barang dagangan China, namun AS merupakan pasar yang besar bagi China.
Kekayaan China bisa dilihat dari cadangan devisanya yang kini mencapai sekitar 2,4 triliun US Dollar. Jumlah yang cukup untuk membiayai bail-out pemerintah AS ketika menangani krisis yang baru lalu, yang buntutnya akan menghantui rakyat AS sampai beberapa generasi mendatang. Suatu jumlah yang tak terbayangkan dan tak ada alat hitung yang mampu menampungnya bila dirupiahkan. Jumlah yang merupakan cerminan kinerja dagangnya ke negara lain. Dari jumlah tersebut, konon sekitar 60%-nya merupakan aset dalam mata uang US Dollar. Aset ini tidak lain adalah surat utang yang dikeluarkan pemerintah AS, lazimnya disebut US Treasury Bills (UST Bills). Tentu sebagian lainnya ada yang berupa emas dan harta dalam mata uang Negara lain, termasuk Yen dan Euro. Berapa porsi masing-masing merupakan rahasia negara yang paling dalam, hal yang berlaku untuk sebagian besar negara termasuk Indonesia. Kalau hal ini bocor sampai akan sangat mengguncang dunia karena setiap perubahannya akan menggerakkan harga aset di pasar keuangan maupun nilai tukar berbagai mata uang.
Tak heran, pemerintah AS cemas setiap kali China mengemukakan rasa khawatirnya atas nasib hartanya yang sebagian besar berupa pinjaman ke pemerintah AS karena hal ini biasanya akan dimanfaatkan pelaku pasar untuk segera menjual surat uang pemerintah AS yang dimilikinya, sehingga harganya anjlok. Hal ini jelas akan membuat AS sengsara karena biaya utangnya akan membengkak. Bagi Chinapun, anjloknya harga UST Bills akan menimbulkan kerugian. Jadi akhirnya buah simalakama juga bagi China. Cara yang paling mungkin bagi China mengurangi dari perangkap ini adalah dengan diam-diam tidak lagi menambah porsi hartanya dalam UST Bills. Yang sudah jatuh tempo tidak sepenuhnya dibelikan lagi UST Bills, melainkan secara diam-diam dibelikan surat utang negara lain yang tak sepenuhnya lebih baik, atau emas dan komoditas lain. Termasuk menambah stok minyak, barangkali. Namun hal yang dihindari adalah berita China menghentikan pembelian UST Bills.
Dilema ini pula yang menyebabkan penasehat pemerintah China beberapa waktu lalu mulai menyuarakan pentingnya China untuk memperbesar porsi emas. Hal yang membuat harga emas dunia terus meningkat. Namun sepertinya masih sebatas wacana, atau sebatas gertakan ke pemerintah AS saat tekanan ke China agar mata uangnya, Renmimbi atau Yuan, yang saat ini dinilai terlalu murah (undervalued) diminta dinaikkan. Yuan yang terlalu murah jelas akan membuat negara lain tak berkutik untuk bersaing dengan China karena harga barangnya, ketika dinyatakan dalam US Dollar akan lebih mahal dari barang-barang China. Sejauh ini, China belum terdengar membeli emas, yang saat ini harganya sudah mencapai di atas 1.100 US Dollar, dan diperkirakan terus akan merangkak naik meski tak ada yang benar-benar yakin. Ketika IMF menjual cadangan emasnya beberapa saat lalu, tak terdengar China ikut membelinya. Emas IMF tersebut diborong oleh India, Srilanka dan Bangladesh. Entahlah apakah ini terkait dengan masyarakat di tiga negara tersebut yang gemar mengenakan perhiasan, termasuk yang terbuat dari emas.
China, dengan menggandeng Rusia dan beberapa negara lain pernah mencoba mendesak perlunya ada suatu mata uang baru yang tidak tergantung pada kondisi suatu negara, sebagai mata uang internasional sekaligus ‘sarana' menyimpan harta. Hal yang jelas masih sebatas wacana karena tak akan mudah mewujudkannya ketika seluruh dunia sudah terjebak dalam sistem yang ada.
Namun mestinya ada sedikit jalan keluar bagi China. Bila saja China mulai mempercayai negara-negara tetangganya dengan juga memberi pinjaman, atau membeli surat utang yang dikeluarkan oleh negara di kawasan Asia, termasuk Indonesia tentunya. Meski hal ini bukan sesuatu yang mudah memang karena negara-negara di kawasan ini belumlah sematang dan sedewasa negara-negara di Eropa maupun AS yang memang sudah memiliki sistem yang mapan. Jadi meski secara politis seringkali masih terjadi perseteruan, namun hambatannya ke perekonomian tidaklah sampai menghancurkan. Hal yang memang berbeda dengan negara di Asia yang sebagian dalam masa transisi demokrasi dan belum memiliki sistem yang mapan. ‘Ontran-ontran' politik seringkali cukup menghancurkan pondasi ekonomi yang sedang dibangun. Negara-negara yang kelangsungan pembangunan ekonominya masih belum meyakinkan karena masih sangat sensitif dengan gejolak politik.
Atau, bisa jadi skema yang cocok bagi China dan AS justru sistem syariah? Seperti sistem bagi hasil agar keuntungan dan kerugian menjadi tanggungan bersama. Dengan kesadaran ini, siapa tahu ketegangan dan saling curiga antar keduanya bisa berkurang. Atau surat utang AS berupa SUKUK? Meski barangkali akan aneh pula di mata masyarakat AS bila mengetahui misalnya, patung Liberty, gedung Capitol Hill atau Pentagon dijadikan semacam ‘agunan' penerbitan surat utang, yang berarti seolag digadaikan ke China. Yang pasti mereka akan tersinggung karena merasa tidak lagi dipercaya. Apalagi, masyarakat AS terkenal dengan harga diri adalah segalanya. Rasa percaya dirinya saat inipun masih sangat tinggi di tengah hutangnya yang terus menggunung. Hal yang di sisi lain, merupakan kunci eksistensi negara Amerika Serikat dan memang sudah terbukti selama berabad-abad lamanya.
Dengan melihat sedemikian dalamnya keterikatan antara China dan AS seperti tadi, maka kejadian beberapa hari belakangan ini antara keduanya, yaitu perang ‘mulut' antara China dan AS hanyalah bagian dari canda keduanya. Mungkin untuk meredakan hangatnya politik di kedua negara. Beberapa waktu lalu, dalam sebuah konferensi tahuan bank ekspor impor di AS Obama menyatakan perlunya pemerintah China segera meliberasisasikan mata uangnya, agar tidak selalu ‘undervalued'. Hal yang segera disambut dengan pernyataan pejabat bank sentral China, Su Ning, dengan sindiran bahwa China jelas tak setuju dengan sebuah negara yang memiliki masalah namun meminta negara lain untuk ikut menyelesaikannya (‘China hits back at Obama on Yuan', the Wall Street Journal edisi 12 Maret 2010).
Apapun, mudah-mudahan kedua negara ini tetap bisa saling menjaga diri agar negara lain tak terkena imbasnya. Ke depan tentunya mereka harus lebih saling memahami. Barangkali, salah satu alasan Obama memilih Tim Geithner sebagai pemimpin US Treasury adalah karena pemahaman Geithner akan budaya China mengingat dia pernah cukup lama tinggal di China. Yang jelas, lagu yang cocok buat mereka berdua adalah ‘Benci Tapi Rindu'.
Artikel terkait : Misteri angka ‘sembilan’ dan menguatnya dominasi China
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H