Aura pesimis, apatis dan ketidakpercayaan menghinggapi masyarakat. Begitu mungkin yang dirasakan Hatta Rajasa, Menko Perekonomian dalam curahan perenungannya di Kompas, 16 September 2010 (‘Kembali ke Fitrah, Kembali ke Optimisme’).
Situasi yang demikian jelas menjadi tantangan berat bagi seorang pemimpin (leader). Seorang akan dinilai sebagai leader yang benar-benar ‘sip’ bila mampu menularkan optimisme di tengah-tengah pesimisme yang melanda. Mampu memberikan sugesti akan besarnya harapan perbaikan yang dapat dicapai bersama. Suasana hati dan psikologis masyarakat harus dibawa ke nuansa yang bergairah sehingga meski permasalahan sangat kompleks, namun ada keyakinan dapat diatasi.
Jelas hal itu memerlukan kepercayaan terhadap sang pemimpin. Hal yang tidak bisa hanya diraih dengan ajakan. Yang diperlukan adalah konsistensi yang menunjukkan bahwa persoalan di depan mata satu demi satu dapat diatasi, dan itu semua disajikan dengan bukti yang terasakan dan teramati.
Sangat jarang sebenarnya seorang petinggi negara sampai menulis opini di Koran. Maka ketika Hatta Rajasa, Menko Perekonomian, menulis di Kompas tentu dilandasi oleh pertimbangan yang dirasa sangat perlu. Selain mungkin karena semasa libur bersama lebaran, Pak Menteri punya cukup waktu untuk menampung dan merenungkan masukan dari berbagai pihak yang bersilaturahmi.
Pak Menteri mengajak masyarakat Indonesia untuk tetap optimis terhadap prospek Indonesia ke depan. ‘Ada kok bukti kemajuan yang dicapai selama ini, meski masih banyak sekali hal yang harus dikerjakan dengan lebih giat’, katanya dengan memberikan sedikit ilustrasi beberapa data.
Apa yang disampaikan, sejatinya memang benar sebagaimana diakui oleh banyak pengamat, baik nasional maupun internasional. Walaupun nyatanya banyak sekali pihak yang tidak puas dengan kemajuan yang dicapai. Seharusnya, bisa lebih baik dari sekarang ini. Begitu kira-kira harapan banyak pihak yang tidak puas. Harapan yang sesungguhnya memang masuk akal.
Ajakan untuk tetap berfikir positif dilandasi oleh dominasi persepsi negatif yang berkembang di masyarakat. Fenomena yang memang sangat jelas mengemuka. Baik yang tercermin dari berita-berita koran, siaran televisi, maupun yang sangat jelas juga tercurah di media-media online, termasuk di Kompasiana. Fenomena ini tentu tak bisa disalahkan karena itulah cerminan emosi sebagian masyarakat yang terungkap ke permukaan. Meski belum tentu juga cerminan geliat kehidupan masyarakat kebanyakan yang walau kecewa namun bukan tanpa semangat dan harapan sama sekali.
Di satu sisi, opini Pak Menteri menunjukkan bahwa suasana batin masyarakat sudah tertangkap dengan baik oleh petinggi negeri. Tinggal bagaimana para petinggi membuktikan kepiawaiannya untuk mengubahnya menjadi suasana yang penuh optimisme. Nuansa yang konon justru lebih terasa dari pandangan pihak luar terhadap Indonesia, meski dengan motif untuk mencari keuntungan finansial.
Pemimpin di negara demokrasi memang tak mudah. Tak bisa seperti seorang diktator yang bisa mengambil keputusan seenaknya tanpa perlu menimbang akan kehilangan dukungan.
Salah satu konsekuensi negara demokrasi adalah ada saatnya pemimpin seolah terasing sendirian, cenderung terpinggirkan dan terdilusi kekuasannya. Kondisi yang membua gamang dalam mengambil keputusan karena berhadapan dengan berkembangnya persepsi publik yang berlawanan. Namun, disinilah ujian sesungguhnya seorang pemimpin. Bila justru terbawa arus pesimisme dan sekedar mengikuti arus opini yang berkembang, bisa jadi justru akan makin kehilangan dukungan.
Pada akhirnya, karakter dan keberanian pemimpin itulah yang menentukan berlanjut atau tidaknya dukungan mayoritas publik. Ada saatnya, pemimpin harus berani mengambil kebijakan yang tidak populer. Karena bisa jadi, opini sengaja dikembangkan oleh pihak yang ingin menjatuhkan dengan menguji keberpihakan sang pemimpin. Kehandalan untuk menilai hakekat atas opini yang berkembang menjadi kunci terhadap keberpihakan sang pemimpin. Apakah terhadap kursinya, ataukah terhadap masyarakat yang sebenarnya.
Sekedar ilustrasi, misalnya menghadapi fenomena harga pangan yang terus naik karena kurangnya pasokan dalam negeri. Pemimpin harus berani bersikap dengan mengambil kebijakan yang tidak populer. Misalnya dengan menambah pasokan melalui impor. Di sinilah keberpihakan sang pemimpin diuji. Sudah pasti impor akan ditentang oleh para pengusaha dan tentunya politisi oposisi karena seolah tidak berpihak pada industri dalam negeri. Padahal, bila impor tidak dilakukan pada saat itu, masyarakat banyaklah yang sesungguhnya dirugikan. Sementara para pengusaha yang diuntungkan dengan kenaikan harga karena kelangkaan pasokan barang.
Sebenarnya, situasi serupa juga sedang dihadapi pemimpin negara rujukan demokrasi dunia, yaitu Obama. Hal ini sebagaimana diilustrasikan dengan sangat baik oleh seorang kolumnis harian the Wall Street Journal, David Wessel, dalam artikelnya ‘Voters divided, Leader needed’ pada tanggal yang sama dengan dimuatnya opini Pak Menteri di Kompas.
Obama saat ini menghadapi dilema karena opini publik terpecah menjadi dua secara hampir berimbang. Terkait dengan hasil ‘polling’ terhadap langkah pemerintah Amerika dalam pemulihan ekonomi. 47% responden menyatakan bahwa pemerintah perlu melakukan langkah lebih jauh untuk memberikan stimulus ekonomi bagi masyarakat. Sementara 47% mengatakan bahwa langkah pemerintah sudah cukup dan jangan lagi membebani rakyat (pembayar pajak) dengan menyerahkan proses pemulihan ke pelaku usaha. Keberpihakan Obama diuji dengan opini publik yang terpecah, apalagi menjelang ‘pemilu’ Nobember nanti yang bila salah berpihak, partai pendukung Obama bisa kehilangan mayoritas.
Kembali ke opini Pak Menko yang mengajak masyarakat untuk tetap optimis dan berfikir positif ala Pygmalion, hal itu tak cukup hanya dengan ajakan. Meskipun ajakan tersebut sangat benar adanya, namun tak akan cukup untuk menggerakkan nuansa batin masyarakat.
Yang diperlukan adalah bukti nyata bahwa persoalan masyarakat satu demi satu terbukti teratasi. Mulai dari hal-hal yang sangat kasat mata, seperti banjir, jalan berlubang-lubang, angkutan mudik yang terus menjadi persoalan setiap tahunnya, kenaikan harga pangan yang masih terus terjadi terutama saat lebaran, anggaran belanja pemerintah yang sebagian dibiayai dari hutang yang terus saja terlambat digunakan sehingga kapasitas ekonomi dalam menghasilkan barang senantiasa terkendala dengan naiknya permintaan. Alasan kendala birokrasi dan koordinasi serta hal-hal yang bersifat administratif jelas bukan alasan yang bisa dicerna masyarakat luas dan memang bukan seharusnya menjadi persoalan yang dibagi ke masyarakat.
Bila saja satu demi satu persoalan tadi dapat terselesaikan dan tersaji dengan kasat mata di hadapan masyarakat, dibarengi dengan pola komunikasi yang baik, niscaya persepsi yang sesungguhnya dari masyarakat tak akan mudah dipengaruhi oleh opini yang memang tidak dibentuk dari fakta yang dihadapi dan dirasakan publik. Dengan begitu, tak akan mudah untuk tersandera oleh opini yang dikembangkan politisi oposisi yang memang seringkali sekedar memanfaatkat ‘public mood’.
Dengan cara demikian, akan lebih efektif untuk menularkan nuansa optimisme dan mengajak masyarakat untuk terus berfikir positif. Intinya tunjukkan kinerja nyata. Inilah sejatinya yang dituntut dari seorang pemimpin. Spend less energy scoring points before next election and more on getting something done. It’s called leadership, kata David Wessel.
[caption id="attachment_261767" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi: Bob Bierman (http://edocs.lib.sfu.ca)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H