Suku bunga penjaminan yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS Rate) menjadi 'kambing hitam' ketika tuntutan ke perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit (lending rate) dan marjin keuntungannya meningkat akhir-akhir ini.
Banyak kalangan menilai saatnya perbankan Indonesia semakin efisien, sehingga keuntungan yang diraih, yang masih tergolong paling menggiurkan di dunia, diperoleh dengan keahlian tingkat pengelolaan yang lebih tinggi agar pembiayaan ekonomi juga semakin efisien.
LPS Rate dianggap sebagai salah satu penyebab sulit turunnya suku bunga kredit, baik oleh otoritas (Bank Indonesia) maupun perbankan sendiri. Sementara, LPS sebagai lembaga yang mengeluarkan suku bunga penjaminan bertahan dengan dengan argumennya sendiri.
Sigit Pramono, Ketua Perbanas, misalnya mengatakan bahwa bank tentu akan berlomba menghimpun dana masyarakat mendekati batas LPS Rate ('Dana bank tergantung LPS Rate', Bisnis Indonesia 20 Januari 2012). Pernyataannya sebagai bankir tentunya berlandaskan pada argumen bisnis yang masuk akal dan wajar bagi kepentingan bank.
Namun pernyataanya itu juga mengukuhkan keanehan fenomena bahwa, di tengah sekitar '500 triliun' dana perbankan yang menganggur yang setiap hari ditempatkan di Bank Indonesia, bank masih berlomba berebut dana masyarakat dengan beragam hadiah. Fenomena yang tidak terlihat di tempat lain di dunia.
Pernyataannya juga sebenarnya kurang sejalan bila melihat fakta bahwa dana masyarakat yang memenuhi kriteria dijamin oleh LPS, yaitu dana simpanan dengan jumlah maksimum 2 milyar, 'hanya' mencakup sekitar 59% dari total dana masyarakat di perbankan sebesar 2.685 triliun. (data LPS per November 2011).
Bila melihat bahwa dana sebesar 500 triliun, yang berarti sekitar 19% dari total dana msyarakat yang dihimpun perbankan, ternyata hanya diparkir di Bank Indonesia, semakin aneh bila kenyataanya perbankan masih juga berebut dengan cara yang tidak sehat. Meskipun dengan memiliki sejumlah bantalan dana likuid di Bank Indonesia tersebut bank tentunya akan merasa lebih aman dan nyaman dalam menghadapi risiko yang paling mematikan bagi perbankan, yaitu risiko likuiditas. Modalnyapun akan terlihat lebih kuat karena penempatan di Bank Indonesia risikonya 'nol', tentu dengan tingkat bunga yang juga jauh lebih rendah dari pendapatan bunga kredit yang disalurkan perbankan.
Fakta tersebut ibaratnya, perbankan membayar 'premi asuransi' yang sangat mahal demi rasa aman. Padahal bila perbankan semakin ahli mengelola risiko likuiditas dan tidak enggan berhubungan dengan bank lain di pasar uang antar bank, akan jauh lebih murah 'biaya asuransi likuiditas'nya.
Bisa jadi, karena sangat pragmatisnya perbankan dalam mencari rasa aman tadi yang juga sebenarnya merupakan kunci mengurai sulitnya suku bunga kredit untuk turun. Meski tentunya juga tidak akan instan dan seketika.
Perlu dicatat bahwa dana '500 triliunan' yang menganggur tersebut sebagian tentunya berasal dari dana milik Pemerintah sendiri, Pusat dan Daerah, serta milik beberapa BUMN. Terkait dengan yang terakhir, bahkan Menneg BUMN, Dahlan Iskan juga geram (dan mungkin khawatir) dengan besarnya dana BUMN yang ditempatkan di perbankan. Dia konon diberitakan sedang mengupayakan agar dana-dana tersebut ditempatkan di instrumen jangka panjang sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap upaya Bank Indonesia mendorong penurunan suku bunga kredit. (Detik Finance, 18 Januari 2012).
Bukan tanpa ada referensi sebenarnya untuk mencari terobosan terkait upaya meningkatkan efisiensi perbankan dan kaitannya dengan besarnya dana masyarakat di perbankan yang menumpuk.