Aura kemarahan terhadap kalangan perbankan memang sangat terasa di sebagian belahan dunia saat ini. Selain karena perbankan dinilai sebagai penyebab utama krisis global yang masih terasa sampai kini, akibat praktik perbankan yang tidak sehat, juga karena banyak skandal perbankan yang semakin mengemuka dan biasanya lekat dengan korupsi. Namun, yang terjadi di Iran tetap dinilai sangat mengejutkan. Bisa jadi tak ada yang menyangka bahwa kejahatan perbankan sampai kepada vonis hukuman mati.
Pengadilan di Iran baru saja menjatuhkan hukuman mati bagi 4 tersangka terkait kasus skandal perbankan di sana, dari total 39 tersangka. Tersangka lain yang terlibat juga dijatuhi hukuman yang luar biasa berat, apalagi bila dibandingkan dengan ukuran hukuman yang dijatuhkan untuk kejahatan keuangan serupa di negara lain, termasuk di Indonesia. 2 tersangka lainnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, sementara sisanya hukuman penjara penjara 25 tahun.
Kasus ini memang merupakan skandal perbankan terbesar yang terjadi di Iran, melibatkan dana sebesar 2,6 milyar US Dollar (kurang lebih 24,5 triliun Rupiah). Kasus yang mulai merebak tahun lalu ini terkait pula dengan program privatisasi (penjualan perusahaan-perusahaan negara ke swasta) yang dijalankan pemerintahan presiden Mahmoud Ahmadinejad. Kasus ini melibatkan beberapa bank di Iran, baik bank milik pemerintah maupun bank swasta.
Modus kejahatan ini sebenarnya bukanlah hal baru, yaitu para tersangka meminjam dana dari perbankan, dengan menggunakan dokumen-dokumen palsu dan kemudian dananya digunakan untuk membeli saham perusahaan-perusahaan yang dijual pemerintah Iran. Seperti biasa, tentu hal seperti ini melibatkan 'kongkalingkong' antara pengusaha dengan para pejabat bank dan oknum pejabat pemerintah sehingga lekat dengan korupsi.
Kasus yang menggemparkan ini tentu saja mencoreng pemerintahan presiden Ahmadinejad, apalagi mencuat di tahun terakhir masa jabatannya. Beberapa media menuduh bahwa kasus ini lekat dengan orang-orang dekatnya, meski kemudian menegaskan bahwa tuduhan itu tidak benar.
Kalangan oposisi pemerintahan presiden Ahmadinejad juga menuduh bahwa kasus ini melibatkan mantan kepala stafnya, Esfandiar Rahim Mashei, yang bekerjasama dengan salah satu pengusaha besar di Iran, Mahsarid Amir-Mansour Khosravi, seorang konglomerat pemilik paling tidak 35 perusahaan di Iran.
Bahkan, menteri ekonominya, Shamseddin Hosseini, tahun lalu sempat diminta parlemen untuk mundur karena dinilai bertanggungjawab atas kasus ini dengan antara lain dinilai tidak menjalankan fungsinya untuk mengawasi perbankan dengan benar, meski kemudian lolos.
Meski demikian, pembela para tersangka menyampaikan bahwa yang dijatuhi hukuman saat ini masih merupakan para eksekutor lapangan sementara para bankir kelas atas dan pejabat teras pemerintahan yang terlibat dan 'otak' di balik kasus ini masih bebas, belum tersentuh.
Terkait dengan itu, ada pula yang menuduh bahwa kasus ini lebih sebagai propaganda pemerintahan Ahmadinejad untuk secara politis menunjukkan kesungguhannya dalam memerangi korupsi, yang juga menjadi isu utama di Iran sebagaimana juga isu yang melanda banyak negara di dunia saat ini, termasuk di Indonesia.
Iran saat ini menduduki peringkat negara terkorup ke 120 dari 183 negara menurut Transparency International di tahun 2011 lalu. Sebagai pembanding, Indonesia berada di peringkat ke 100.
Dalam hal ini, meski peringkat indeks persepsi terhadap negara yang korup Indonesia masih lebih baik dibandingkan Iran, namun rasanya belum ada koruptor dan penjahat perbankan di sini yang sampai dihukum seberat di Iran.
Terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap hukuman mati, namun hukuman berat bagi koruptor dan bandit di industri keuangan mestinya harus!
(Aljazeera/Guardian/Telegraph/New York Times)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H