Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Manipulasi Suku Bunga Libor

29 Juni 2012   12:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:25 2018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13409794791476625410

[caption id="attachment_197817" align="aligncenter" width="553" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

“An investigation has been launched by regulators in the US, UK, and Japan into whether the LIBOR rate has been manipulated” (FT, 28/02/2012)

Barclays, salah satu bank raksasa dunia yang bermarkas di London baru saja dijatuhi sanksi berupa denda sebesar 290 juta pound sterling atau sekitar 530 juta US Dollar oleh otoritas di Inggris dan AS sebagai hasil investigasi terkait dugaan manipulasi suku bunga Libor. Pimpinan Barclays, Bob Diamond, kini juga mulai mendapat tekanan untuk mengundurkan diri meskipun dia menyatakan akan membatalkan bonus tahunannya dan pejabat eksekutif di bank yang dipimpinnya setelah dijatuhi hukuman denda ini.

Tragedi atau krisis seringkali menguak banyak hal. Saat inipun demikian. Kini kita semakin tahu bahwa dunia terbukti makin penuh dengan manipulasi. Bukan hanya terkait kegiatan politik, seperti yang sering terdengar dalam kaitan dengan pemungutan suara suatu jabatan publik, di dunia perbankan dan pasar keuangan, bahkan dalam konteks pelakunya adalah pemerintahan suatu negara pun demikian.

Terkait yang terakhir tadi misalnya terlihat dari salah satu pemicu krisis Eropa yang awalnya adalah terkuaknya ‘manipulasi’ jumlah utang pemerintah Yunani, yang ternyata jauh lebih tinggi dari yang sebelumnya diketahui. Sebagian utangnya tersembunyi secara akuntansi di dalam pembukuan transaksi yang disebut cross-currency swap antara pemerintah Yunani dengan Goldman Sach.

Yang kini semakin mengemuka adalah dugaan manipulasi suku bunga yang paling legendaris dan paling digunakan sebagai referensi (benchmark) transaksi keuangan sedunia, yaitu London Inter-bank Offered Rate (Libor). Paling tidak, sekitar 3,5 trilliun US Dollar transaksi keuangan sedunia menggunakan acuan suku bunga Libor ini, termasuk oleh pelaku di Indonesia tentunya.

Tidak tanggung-tanggung, tiga otoritas terkemuka dunia termasuk dengan melibatkan kementrian hukumnya, di AS, Jepang dan Inggris melakukan intestigasi. Terakhir otoritas di Swiss pun melakuka investigasi serupa. Bahkan investigasi sudah mengarah ke dugaan tindak kriminal. Beberapa bank raksasa dunia menjadi obyek investigasi ini, seperti Barclays, JP Morgan, Deutsche Bank, UBS, RBS, Bank of America dan Citigroups.

Dalam masa investigasi ini, sudah puluhan pula pegawai (trader atau broker) dari beberapa bank tersebut yang di-suspend dan bahkan dipecat.

Setelah sekitar 5 tahun investigasi dilakukan, kini semakin menunjukkan hasil meskipun secara hukum belum bisa dianggap sebagai tindakan kriminal. Otoritas di AS dan Inggris sudah menjatuhkan sanksi denda ke Barclays. Jumlah denda yang dibayarkan Barclays tadi merupakan sanksi denda terbesar selama ini yang dijatuhkan ke industri keuangan.

Investigasi oleh otoritas ini juga memperoleh dukungan dari politisi. Tengok misalnya Perdana Menteri Inggris, David Cameron, yang menyebut manipulasi ini sebagai ‘skandal’ dan dengan lantang mengatakan:

The regulator should use all the powers and means at their disposal to pursue this in the way they feel is appropriate …When ordinary people break the law, they face charges, prosecution and punishment. The same should happen here. …The public who are paying the price for bankers’ irresponsibility will expect nothing less” (Financial Times, 28/06/2012).

Selain itu, Ed Miliband, salah satu tokoh partai buruh juga mengatakan akan mendorong investigasi criminal terkait kasus manipulasi Libor ini oleh perbankan. Menurutnya, para bankir perlu lebih dari sekedar ‘ditampar’ sebagaimana diungkapkan dalam sebuah pidatonya baru-baru ini di hadapan serikat pekerja di Inggris.

Sebenarnya, dugaan adanya manipulasi ini pertama kali diangkat oleh harian the Wall Street Journal (the WSJ) pada Mei 2008 setelah melakukan penelitian atas suku bunga harian Libor periode April 2007 – Mei 2008. Sebagaimana kita tahu, periode tersebut adalah puncah krisis keuangan global mulai terjadi.

The WSJ rupanya curiga karena periode tersebut yang ditandai dengan gejala perbankan mulai saling tidak percaya satu dengan lainnya, namun kuotasi suku bunga Libor justru disinyalir lebih rendah dari yang seharusnya.

Dugaan awalnya adalah hal ini sebagai upaya manipulasi berjamaah dari bank-bank besar dunia yang menjadi kontributor utama untuk menunjukkan bahwa kondisi mereka sangat bagus, tidak bersiko, sehingga layak meminjam di pasar uang antar bank dengan suku bunga yang rendah, di tengah semakin seretnya aliran likuiditas di pasar uang antar-bank. Hal yang kemudian terbukti sebailknya karena kita tahu hampir semua bank besar akhirnya dibail-out dengan dana trilyunan dollar.

Apa sebenarnya Libor?

Libor pertama kali diperkenalkan oleh British Bankers’ Association (BBA) pada Januari 1986, jauh sebelum tren bank sentral merepresentasikan stance kebijakan moneternya dalam suatu target suku bunga pasar uang atau ‘policy rate’ (semacam BI Rate kalau di Indonesia), yang dimaksudkan sebagai acuan suku bunga overnight pasar uang sejak awal 1994 yang dipelopori oleh bank sentral AS, the Federal Reserve.

Sejak saat itu, kuotasi ‘harga’ likuiditas dari beberapa bank raksasa yang dihimpun oleh BBA menjadi reference rate yang ‘de facto’ paling banyak digunakan dalam transaksi keuangan di dunia.

Bank-bank raksasa ini dalam meng-quote Libor Rate (rate 3 bulan yang biasanya paling banyak dijadikan acuan untuk funding cost), lazimnya dengan sebe,umnya melihat policy rate bank sentral untuk masing-masing currency yang relevan dan persepsinya terhadap ketersediaan dan aliran likuiditas.

Acuan suku bunga yang dibentuk sendiri oleh pelaku pasar ini kemudian menjadi tren sedunia. Di Eropa misalnya, ada Euribor, di Jepang dikenal dengan Tibor, di Singapura disebut dengan Sibor dan di Indonesia, sudah sejak lama ada Jibor untuk suku bunga pasar uang antar-bank, baik dalam rupiah maupun US Dollar namun belum banyak menjadi acuan banyak pihak, meskipun Bank Indonesia sudah mencoba menyempurnakan metodologi kuotasinya oleh perbankan beberapa kali (yang terakhir pada 7 Februari 2011 lalu).

Kembali ke soal isu manipulasi Libor yang menyebabkan obyektifitasnya semakin menuai keraguan. Untuk mencoba mempertahankan kredibilitasnya, sebenarnya pihak BBA sendiri sudah mencoba melakukan invetsigasi internal sebelum ‘gerakan’ investigasi oleh berbagai otoritas semakin intensif dilakukan, untuk melihat kemungkinan penyempurnaan metodologinya dan hasilnya pertama kali dikeluarkan pada sekitar bulan Juni 2008.

Namun demikian, keraguan akan obyektifitas Libor tidak juga hilang. Banyak pihak yang beranggapan bahwa ke depan, Libor akan tak lagi bisa dipercaya. Bahkan, saking gemasnya, ICAP New York, salah satu broker pasar keuangan terkemuka dunia, mencoba memperkenalkan New York Funding Rate (NYFR) sebagai pengganti LIBOR untuk US Dollar reference funding rate di pasar New York pada pertengahan Mei 2008. Sementara itu, di London, sejak 5 juni 2011, mulai diperkenalkan pula Ronia (repurchase overnight index average) yang berbasis ‘repo’ sebagai alternatif Libor.

Kisah terkait manipulasi Libor yang disebut sebagai ‘systemic dishonesty’, rasanya masih akan panjang. “I fear it’s not going to be the end of the story”, kata Andrew Tyrie yang mengetuai komite yang melakukan investigasi di Inggris saat memberikan komentar dijatuhkannya sanksi ke Barclays, pada 28 Juni 2012 kemarin. “We are going to find that other banks have been involved”, lanjutnya.

Juga, sepertinya bukan merupakan kasus manipulasi harga satu-satunya. Harga minyak dunia misalnya, yang mempengaruhi kebijakan fiskal di banyak negara dan sensitif secara politik seperti halnya di Indonesia, mulai pula dipergunjingkan secara terbuka akan dugaan manipulasinya. Salah satunya, diangkat oleh kolumnis terkenal harian Financial Times, Gillian Tett (lihat: Oil Market should heed Libor lesson, FT, 12/04 2012).

Melihat perkembangan fenomena ini, ke depan rasanya banyak hal tersembunyi yang akan semakin terkuak. Termasuk tentunya di sini. Jadi, bersiap-siaplah dan semakin waspada!

(FT/WSJTelegraph/Reuters/Bloomberg)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun