Fremantle, atau lazim disebut ‘Freo’ oleh penduduk lokal, merupakan kota pelabuhan di Australia bagian barat (western Australia). Kota ini hanya berpenduduk puluhan ribu jiwa dan hanya berjarak sekitar 20 kilometer dari Perth, ibu kota negara bagian Australia barat. Di sinilah koloni Inggris di Australia barat bermula di tahun 1829. Nama Fremantle sendiri diambil dari pelaut Inggris yang pertama kali mendarat dan menduduki wilayah ini, yaitu Charles Howe Fremantle. Di wilayah ini pula bemuara Swan river yang mengalir jauh ke Perth dan menjadikan Perth memiliki panorama indah di sepanjang Swan river.
[caption id="attachment_109659" align="aligncenter" width="300" caption="Tampak di belakang adalah Museum Maritim Western Australia dari Ferry menuju Perth (Priyanto. BN)"][/caption]
Fremantle pernah menjadi markas angkatan laut terbesar kedua bagi pasukan sekutu, setelah Pearl Harbor, markas utamanya di kepulauan Hawai luluh lantak dihajar pasukan berani mati Jepang dalam Perang Dunia II. Kini sisa-sisa peranan besarnya di masa lalu, sebagian terlihat dan terawat di Museum Maritim Western Australia yang terletak di Victoria Quay dan dibangun sekitar sepuluh tahun lalu. Di museum ini misalnya masih bisa dijumpai kapal selam yang pernah digunakan dalam perang dunia kedua. Tentu saja karena ukurannya, kapal selam ini tidak disimpan di dalam gedung museum, melainkan di bagian luar. Bila ingin ingin melihat seperti apa ruangan-ruangan di dalam sebuah kapal selam, kita bisa masukke dalamnya sekedar untuk membayangkan bagaimana rasanya berada di sebuah kapal selam sembari berkhayal berada di kedalaman samudra.
[caption id="attachment_109661" align="aligncenter" width="300" caption="Kapal Selam sisa Perang Dunia II (Priyanto. BN)"][/caption]
Museum Maritim Western Australia ini sendiri memiliki bentuk bangunan yang cukup menarik, menyerupai cangkang kerang dan terletak di ujung pelabuhan. Bentuk bangunan in sebenarnya mirip bentuk bangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) sebenarnya. Yang unik adalah tinggi kubahnya yang mencapai lebih dari 26 meter. Ketinggian ini ada maksudnya, tak lain agar mampu menyimpan secara utuh perahu legendaris di Australia beserta layarnya. Perahu bernama ‘Australia II’, yang mewakili Royal Perth Yach Club ini pernah memenangkan lomba layar dunia kelas 12 meter, mengalahkan tim New York Yach Club dari Amerika Serikat tahun 1983. Ini merupakan kemenangan pertama Australia terhadap dominasi klub kayar AS selama lebih dari seratus tahun.
Yang tak kalah menarik dari isi museum ini adalah koleksinya yang menunjukkan interaksi nelayan-nelayan di kepulauan nusantara dengan penduduk Australia, yang sudah berlangsung sekitar 200 tahun silam. Jauh sebelum negara dan hukum wilayah teritori maritim modern ada.
Pranata hukum modern ini seringkali menimbulkan dilema dan polemik yang cukup pelik dalam hubungan antar negara. Banyak negara dewasa ini terlibat sengketa menyangkut wilayah kemaritiman, termasuk misalnya antara China dan Jepang. Juga anara Indonesia dan Malaysia beberapa waktu lalu misalnya. Yang menjadi korban umumnya para nelayan tradisionil yang sudah sejak jaman nenek moyang mencari ikan di lautan lepas dan dengan daya tangkap ikan yang sesungguhnya sangat terbatas.
Hubungan Indonesia dan Australia sendiri tergolong sering mengalami pasang surut bila sudah menyangkut aspek politik, khususnya terkait masalah Timor Timur. Namun hubungan kemanusiaan, perdagangan, budaya dan pendidikan tergolong cukup terjaga dengan sangat baik. Banyak sekali mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia, termasuk di Perth. Bahkan, komunitas masyarakat asal Indonesia di Australia Barat ini merupakan yang terbesar dibandingkan di wilayah Australia lainnya. Hal ini antara lain terlihat bila kita masuk ke ‘E-Shed Market’ di Fremantle, begitu melihat wajah Asia, mereka akan langsung menyapa dengan bahasa Indonesia. ‘Cari apa Bu/Pak?’. Usut punya usut ternyata mereka adalah orang Indonesia yang ‘hijrah’ ke Australia puluhan tahun yang lalu.
[caption id="attachment_109673" align="aligncenter" width="300" caption="Perahu tradisional nelayan pulau Rote (Priyanto. BN)"][/caption]
Potret hubungan manusia sejak masa lalu melalui jalur laut inilah yang juga menjadi tema utama museum bahari ini. Yang menarik, koleksi terkait nelayan dan perahu tradisional Indonesia cukup banyak. Bahkan terlihat cukup dominan. Tak kurang ada sekitar 180-an koleksi berupa perahu lengkap dengan peralatan nelayan tradisional dari berbagai wilayah di Indonesia. Misalnya, perahu tradisional dari Madura maupun Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku. Termasuk perahu anak, yang ukurannya sangat kecil dan terbuat dari bahan ‘seng’ tebal.
Salah satu koleksi yang menonjol dan bahkan terdapat di bagian depan museum adalah perahu tradisional dari Pulau Rote. Perahu bernama ‘Sama Biasa’ ini dipergoki berada di wilayah perairan Australia, tepatnya di dekat pulau Gregory, oleh patroli perairan Australia pada bulan Juli 1980. Perahu dengan semua muatannya kemudian ditarik ke Koolan Island dan pengadilan setempat akhirnya menyita perahu beserta seluruh muatannya. Perahu inilah yang kemudian disimpa di musem bahari ini. Sementara nelayannya di kembalikan ke Pulau Rote. Seluruh muatan di kapal nelayan ‘Sama Biasa’ ini kini bisa dijumpai di museum ini, mulai dari parang, tombak tradisional untuk menangkap ikan hiu, hingga sandal jepit.
[caption id="attachment_109664" align="aligncenter" width="300" caption="Perahu Nelayan Pulau Rote Barang-barang milik nelayan pulau Rote dalam perahu "][/caption] [caption id="attachment_109674" align="aligncenter" width="300" caption="Barang perlengkapan nelayan Pulau Rote dalam perahu "][/caption]
Cerita penangkapan para nelayan dari kepulauan nusantara ini memang sering terdengar dan seringkali menimbulkan cerita tak mengenakkan. Namun demikian, umumnya para nelayan diperlakukan dengan baik dan manusiawi, sebelum dipulangkan ke tanah air meskipun banyak perahu nelayan yang dimusnahkan oleh pihak berwajib Australia.
Salah satu kisah menarik adalah cerita penagkapan nelayan bernama Rasju alias Bejo, pemuda berumur 22 tahun asal Brebes, Jawa Tengah. Dua kali dia tertangkap karena menangkap ikan hiu sampai wilayah perairan Australia. Yang terkahir tahun 2006 lalu ketika tertangkap. Namun dia justru bersukur atas penangkapannya waktu itu. Dia dimasukkan dalam karantina selama delapan bulan dan bahkan penyakit paru-parunya diobati hingga sembuh, sebelum dipulangkan ke Indonesia. Selama masa karantina, dia diberi uang saku sebesar 25 AUD per hari dan sewaku pulang diberikan uang saku sebesar 400 AUD. Kini Bejo konon masih melaut dan menjadi nelayan di Cilincing, Jakarta Utara. (Antara News, 23 Juni 2008).
Selain museum, di Fremantle juga banyak dijumpai bangunan-bangunan kuno bersejarah yang masih terawat dengan sangat baik. Beberapa diantaranya adalah Penjara Bawah Tanah (Fremantle Prison) yang berusia sekitar 150 tahun dan The Round House yang merupakan bangunan tertua, dibangun sekitar tahun 1830. Fremantle Prison ini bersama dengan sepuluh bangunan tua lainnya di Australia ditetapkan sebagai bangunan yang dilindungi, atau sebagai ‘World Heritage Site’ oleh Unesco di tahun 1990.
Bila mengunjungi wilayah ini, yang tak boleh dilupakan adalah merasakan seafood-nya yang segar. Ini karena selain wilayah Fremantle adalah daerah pantai, juga karena Australia termasuk yang paling ketat di dunia dalam menjaga kelestarian alamnya.
Bila ingin menikmati pula kecil yang masih terbilang alami, yaitu pulau Rottnest, Fremantle merupakan titik terdekat untuk mencapainya. Kita bisa naik ferry ke sana untuk menikmati ikan paus, anjing laut dan lumba-lumba di laut lepas. Biayanya sekitar 115 dollar Australia (AUD), 15 dollar lebih murah dibandingkan bila berangkat dari Perth.
[caption id="attachment_109666" align="aligncenter" width="300" caption="E-SHED Markets di Fremantle (Priyanto. BN)"][/caption]
Artikel lain serupa:
Menyusuri Keindahan Sungai Rhine (1)
Jalan Bersenandung di Fujiyama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H