Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Malaysia Kembali ke Sistem Uang Emas?

15 Agustus 2010   19:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu pertama bulan puasa ini ada berita yang mengejutkan dari Malaysia, meski tidak banyak menjadi perhatian. Di salah satu negara bagian, yaitu Kelantan akan mulai diterbitkan ‘uang syariah’ berupa koin emas dan perak yang nantinya sebagai pengganti Ringgit atau Malaysian Ringgit (MYR).

Photo:www.blogs.ft.com

Berita ini dilansir pertama kali tanggal 13 Agustus lalu oleh Nik Abdul Aziz, kepala kementrian negara bagian Kelantan. Konon, uang emas dan perak yang akan diterbitkan ini mengacu ke mata uang Dinar dan Dirham, mata uang yang digunakan di zaman kerajaan Ottoman, Turkey di sekitar abad 12 sampai dengan awal abad 19.

Uang emas dan perak tadi akan diterbitkan dalam satuan ‘setengah’ dinar sampai ‘delapan’ dinar, dan ‘satu’ dirham sampai dengan ‘dua puluh’ dirham. Bila dinilai dengan harga emas sekarang, konon uang ‘satu’ dinar akan sama dengan 183 US Dollar. Suatu pecahan nominal uang yang besar. Sementara ‘satu’ dirham sama dengan sekitar 5 US Dollar atau Rp. 45.000,-.

Saat ini, diberitakan bahwa sekitar 1.000 toko dan rumah makan di negara bagian Kelantan sudah menyatakan kesediannya untuk mau menerima dan menggunakan mata uang baru tersebut terutama karena lebih sesuai dengan nilai-nilai syariah. Negara bagian Kelantan terkenal dengan masyarakatnya yang sangat islami dan didominasi oleh PAS (Parti Islam Se-Malaysia). Penerbitan uang emas dan perak ini sejatinya pernah diterbitkan di ahun 2006. Namun, saat ini berita ini semakin menjadi perhatian karena setelah krisis pasar keuangan dan ekonomi global menerjang secara hebat sejak pertengahan 2008, banyak pihak yang mulai berfikir untuk mencari sistem moneter pengganti. Beberapa ahli ekonomi dan politik menyebut sebagai kegagalan sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi yang dinilai telah menjerumuskan manusia untuk berperilaku terlalu serakah dan menjalani hidup dengan terlalu ‘besar pasak daripada tiang’.

Selain itu, mata uang yang selama ini dinilai menjadi alat pembayaran utama di dunia internasional dan penyimpan kekayaan banyak negara (foreign exchange reserve) yaitu US Dollar semakin tidak lagi dipercaya. Bahkan, pemerintah Amerika Serikat (AS) dinilai sudah bangkrut secara teknis. Hal ini misalnya dinyatakan oleh Laurence J. Kotlikoff, seorang professor ekonomi dari Universitas Boston (Bloomberg, 11 Agustus 2010)

Total utang pemerintah dan swastanya sudah mencapai sekitar 290% dari produk dometik bruto (PDB). Kunci kejayaan AS memang lebih karena semua pihak masih percaya pada kekuatan perekonomian AS, dan sudah terlanjur terjerat menaruh kepercayaan padanya. China dan Jepang adalah pemberi pinjaman terbesar kepada pemerintah AS. Bila AS bangkrut, tentu kedua negara itu akan pula terseret. Tak heran bila secara perlahan, China dan Rusia serta beberapa negara mulai menyerukan perlunya mata uang dunia yang baru sebagai pengganti US Dollar sejak meletusnya petaka ekonomi dunia tahun 2008 lalu yang pusatnya di AS. Yang dicari adalah mata uang yang tidak bergantung pada perekonomian suatu negara, karena mata uang pada hakekatnya adalah hutang suatu negara. Menyadari bahwa hal itu akan sangat sulit, rumit dan memakan waktu yang lama secara perlahan China mulai mempromosikan mata uangnya sendiri ‘Renminbi’ untuk menjadi salah satu mata uang dunia.

Pencarian mata uang alternatif dan sistem moneter baru memang semakin mengemuka dewasa ini. Sistem ekonomi Islam menjadi alternatif yang dipercaya sebagai solusi. Utamanya karena di dalam sistem syariah ini uang bukan ditempatkan sebagai komoditas dan benar-benar lebih merupakan alat pertukaran (transaksi ekonomi). Uang benar-benar harus memiliki kaitan yang lebih erat dengan kegiatan riil di perekonmian. Sistem yang dinilai mampu mencegah perilaku manusia yang terlalu serakah. Dan dalam hal ini, Malaysia memang menjadi pelopor ekonomi dan pasar keuangan syariah, paling tidak di Asia.

Di luar itu, mata uang alternatif juga sebenarnya sudah mencuat di tempat lain. Tujuan utamanya adalah agar suatu kelompok masyarakat tidak terpengaruh dengan kerusakan yang terjadi di perekonomian negara lain. Mata uang alternatif ini misalnya, mencuat di beberapa wilayah di Inggris. Sebut misalnya di kota East Sussex (Lewes), Brixton, Stroud maupun Todnes. Saat ini, berkembangnya mata uang ‘lokal’ seperti ini semakin menjadi perhatian banyak pihak.

Mata uang alternatif yang sifatnya terbatas berlaku di komunitas masyarakat tertentu ini seringkali disebut dengan community currency system (CCS). Di Indonesia, studi mengenai CCS pernah mengemuka setelah terjadi krisis hebat yang mengubah total struktur negara ini tahun 1997/98 lalu. Satu diantaranya dilakukan oleh salah seorang dosen ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Revrisond Baswir (“Community Currency System in Indonesia: Problems and Opportunities”).

Mata uang alternatif yang sifatnya lokal ini sebenarnya pernah ada di Indonesia, misalnya di Bali sampai dengan awal tahun 1970-an, yaitu uang ‘Kepeng’ atau ‘Pis Blong’. Uang ini, konon, sejarahnya berasal dari China dan sudah digunakan sebagai alat pertukaran atau alat pembayaran sejak sebelum jaman penjajahan Belanda.

Kembali ke uang Dinar dan Dirham yang akan dikeluarkan negara bagian Kelantan di Malaysia tadi, jumlah yang akan diterbitkan sebesar 2 juta MYR. Jelas jauh dari memadai untuk menggantikan semua Ringgit di Malaysia, bahkan di negara bagian Kelantan sendiri.

Tentu hampir tak mungkin dunia akan beralih kembali ke jaman standard uang emas, karena jumlah emas di Bumi tentu tak cukup mengganti seluruh nilai uang yang sudah beredar di muka Bumi. Apalagi, tiga bank sentral utama dunia, The FED, Bank of England dan ECB masih sibuk mencetak uang untuk menyelamatkan ekonomi negaranya.

Satu hal yang pasti adalah bahwa dengan sistem moneter yang ada sekarang, para politisi di seluruh dunia harus sadar bahwa tidak bisa begitu saja memerintahkan bank sentralnya mencetak uang semena-mena. Bila tidak, seluruh perekonomian dunia akan ambruk. Bisa jadi, maraknya ‘uang lokal’ seperti muncul di beberapa wilayah di Inggris merupakan bentuk pertahanan terhadap kemungkinan ini.

[caption id="attachment_228066" align="aligncenter" width="300" caption="Photo : www.goldwhy.com"][/caption]

Selain itu, bila banyak yang akhirnya kembali melirik ke emas sebagai alat penyimpan nilai kekayaan, maka satu hal yang pasti adalah harga emas yang saat ini sudah mencapai rekor tertinggi di sekitar 1.200 US Dollar per ounce (sekitar 28 gram).

Apapun, yang berkembang di Kelantan dan konon merupakan salah satu momen terbesar di dunia Islam dalam seratus tahun terakhir hakekatnya mencerminkan kerinduan akan suatu perbaikan sistem ekonomi dan moneter yang baru. Sistem yang lebih baik bagi seluruh umat manusia, meski disadari bahwa ini akan memerlkan waktu yang panjang dan berliku. Mudah-mudah sistem yang baru, atau paling tidak praktik dan perilaku ekonomi yang lebih baik sudah ada sebelum bencana ekonomi yang lebih dahsyat melanda.

(Bloomberg, the Financial Times, moneyinsider, CNBC, Yahoo)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun