Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tahun 2015

25 Juli 2010   14:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:36 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemberitaan media dalam seminggu terakhir ini mengerucut ke tahun 2015. Pemberitaan yang satu menyangkut prediksi bahwa jalanan Jakarta akan lumpuh dan macet total di tahun 2015. Sementara pemberitaan lainnya menyangkut prediksi bahwa penjualan mobil di Indonesia akan mencapai sejuta mobil per tahun di tahun 2015. Angka penjualan mobil sejuta unit per tahun ini disampaikan Wakil Presiden Boediono ketika membuka Indonesia International Motor Show (IIMS) di Kemayoran tanggal 23 Juli 2010 lalu. Pernyataan ini juga diamini oleh Johny Dharmawan, ketua penyelenggara IIMS 2010 tersebut.

[caption id="attachment_204401" align="aligncenter" width="150" caption="Photo : www.astradewi.wordpress.com"][/caption] Angka penjualan mobil sejuta per tahun di 2015 tersebut sebenarnya termasuk perkiraan moderat, atau base line scenario menurut istilah para ekonom yang gemar membuat proyeksi dengan beragam asumsi. Angka optimisnya bahkan bisa mencapai 1.250.000 unit per tahun menurut proyeksi Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Celakanya, berdasarkan pengalaman selama ini, lebih dari setengahnya terjual di wilayah Jakarta. Jadi jelas sudah sebenarnya seperti apa gambaran petaka kota Jakarta nantinya.     Pemberitaan yang seperti biasa, hanya bersifat nice to know. Tidak banyak yang menaruh perhatian lebih dalam dari sekedar mendengar dan membaca. Nothing special-lah. Namun demikian, pada saatnya bisa berujung pada suatu petaka. Dan sayangnya, semua seolah masih melihat bahwa tahun 2015 masih jauh …

Entah apa yang menyulut bila tiba-tiba berita tersebut mencuat lagi di akhir bulan Juli 2010 ini. Berita yang mencuat berbarengan dengan isu kerusakan masal ‘fuel pump’ beribu mobil akhir-akhir ini. Padahal, semua juga tahu bahwa macet sudah identik dengan Jakarta. Fenomena yang sudah berpuluh tahun menjadi bagian hidup, bagian diskusi, bahan kritik, bahan rapat dan bahan simposium berbagai pihak. Tak pelak, kembali Pemda DKI menjadi pusat kritikan. Gebrakan 'busway' yang dicoba gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Sutiyoso, tak cukup mempan bahkan untuk sekedar mengurangi kemacetan Jakarta.

Fenomena kemacetan sebenarnya bukan lagi menjadi dominasi kota Jakarta, meski kota lain tak separah Jakarta. Tengok saja bagaimana kondisi lalu lintas Bandung, Bogor atau Jogjakarta serta kota besar lainnya di Indonesia. Pangkal persoalan sebenarnya sama, yaitu tidak adanya perencanaan yang matang dan yang dipedomani untuk membangun infrastruktur perkotaan yang layak. Moda transportasi publik menganut pola yang sama, yaitu angkutan umum yang mengejar setoran. Pola mengejar setoran ini juga dianut oleh para para penguasa daerah, yaitu mengutamakan penerimaan pajak dan bentuk pungutan lainnya. Entah untuk apa. Faktanya belum banyak perubahan yang mengenakkan di daerah-daerah, selain meningkatnya kemacetan dan kesemrawutan transportasi.

Memang, perkembangan penjualan kendaraan bermotor menandakan perekonomian yang semakin menggeliat. Cocok dengan harapan perekonomian akan tumbuh sekitar 7%-8% nantinya. Harapan yang memang sangat dinantikan. Berkembangnya industri otomotif jelas akan membantu mengurangi pengangguran, terlebih bila itu diikuti dengan beralihnya keahlian mengenai seluk beluk produksi mobil, tidak hanya merakit saja.

Namun bila harapan tadi tidak didahului dengan penyediaan prasarana yang mendukung, akan terlalu berat ongkos yang ditanggung masyarakat. Konon, biaya pemborosan karena kemacetan di Jakarta sudah mencapai Rp. 8,3 triliun rupiah per tahun. Angka ini terdiri dari pemborosan BBM akibat biaya operasional kendaraan sebesar Rp. 3 triliun, kerugian akibat waktu yang terbuang Rp. 2,5 triliun, dan dampak kesehatan akibat polusi udara sebesar Rp. 2,8 triliun (Suara Pembaruan Daily, 30 Mei 2008).

Sangat mengerikan sebenarnya menatap masa depan Jakarta. Lihat misalnya data yang dilansir Metro TV dalam acara Metro Siang edisi 21 Juli 2010. Pertumbuhan jalan di Jakarta hanya 0,01 % per tahun. Total luas jalan di Jakarta hanya 40,1 kilometer, atau hanya sekitar 26% dari luas kota. Sementara pertumbuhan penggunaan mobil mencapai 10% per tahun dan motor 15% per tahun. Dengan fakta ini, biaya akibat transportasi yang tidak efisien yang ditanggung sektor usaha akan mencapai Rp 12,8 triliun per tahun.

Prasarana pendukung tadi tak lain adalah jalan dan sistem transportasi massal. Hal yang sudah menjadi polemik lebih dari sepuluh tahun terakhir. Mulai dari rencana pembangunan triple decker, mass rapid transportation (MRT) hingga subway di Jakarta. Rencana jalur kereta api dari Manggarai ke Bandara Soetta pun sampai saat ini masih dalam angan-angan.

Jelas butuh langkah radikal, atau strukural sekedar sebagai penghalus, untuk mencegah malapetaka kota Jakarta di tahun 2015. Juga untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat. Langkah yang sudah pasti tidak akan populer. Hanya pemimpin yang benar-benar punya visi dan pemberani yang bisa melakukannya.

Langkah seperti pembatasan usia mobil seperti yang diterapkan Singapura tak akan bisa dihindari. Namun semua kebijakan ini harus didahului dengan penyediaan transportasi publik yang efisien terlebih dahulu. Infrastruktur seperti ini jelas tak bisa rampung dalam satu dua tahun. Jadi harus dimulai dari sekarang!

[caption id="attachment_204408" align="aligncenter" width="300" caption="Photo: Priyanto B. Nugroho"][/caption]   Bila tidak, ditambah dengan budaya mengemudi yang sangat tidak disiplin, jauh dibandingkan kawanan bebek sekalipun, maka memang tah terhindarkan petaka yang tercipta di Jakarta tahun 2015. Dan tahun 2015 sudah di depan mata. Kasihan masyarakat bila semua sumberdaya lebih diarahkan untuk strategi semu pemenangan Pemilu 2014.  Dan dalam persoalan ini, rasanya mana ayam dan mana telurnya sudah jelas. Jadi tak perlu lagi diperdebatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun