Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dibalik Sudut Pandang...

17 Maret 2010   10:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:22 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pilihan suatu sudut pandang (angle) akan sangat menentukan gambaran, persepsi ataupun opini yang ingin disampaikan. Dalam dunia photografi, faktor pilihan sudut pandang merupakan komponen penting bagi seorang photografer. Namun demikian, faktor tersebut sebenarnya berlaku pula untuk profesi lain. Katakanlah bagi pengamat atau analis berbagai bidang, termasuk jurnalis tentunya. Mereka juga sangat memperhatikan aspek sudut pandang ini dalam menghasilkan analisa atau berita.

Dalam dunia photografi, kemampuan untuk memilih angle bidikan yang pas akan sangat menentukan kualitas hasil jepretan. Tentu, masih ada faktor lain yang turut menentukan seperti kemampuan untuk mengenali karakter cahaya, pengaturan sudut pencahayaan, pengaturan komposisi dan kemampuan mengenali sebuah momen. Begitulah kira-kira pelajaran yang saya petik secara tidak langsung dari para pakar photografi. Beberapa diantara pakar photografi tersebut juga aktif menulis di media ini, misalnya Kristupa Saragih, Valens Riyadi ataupun Janu Dewandaru. Selain itu, kiat-kiat memotret juga dapat diperoleh dari Arbain Rambey yang sering mengulas masalah fotografi di harian Kompas.

Demi memperoleh angle yang diinginkan, seorang photografer terkadang harus bersusah payah dan seringkali menggelikan melihat tingkahnya. Untuk memperoleh angle yang menarik, ada yang harus masuk parit, naik jembatan penyeberangan, memanjat pagar atau pohon bahkan ada yang ikut naik tangga mobil pemadam kebakaran. Tak jarang, gaya photogafer ini sendiri merupakan obyek photo yang menarik. Gayanya tak kalah dengan obyek atau model sehingga dia yang justru jadi pusat perhatian melebihi obyek yang akan dijepret.

Photo 1 (Priyanto B. Nugroho)

Sekedar ilustrasi, gaya si mbak di depan Sydney Opera House (SOH) ini misalnya, sangat menarik. Demi mendapatkan komposisi seluruh bangunan SOH, dia terpaksa harus mengambil sudut pandang yang sangat rendah dengan membungkuk sedemikian rupa (‘njenthit’).

Photo 2 (Priyanto B. Nugroho)

Lain lagi gaya pasangan yang sedang kasmaran di photo kedua. Demi memperoleh latar belakang deretan gedung tinggi dan tak mau kehilangan romantisme kenangannya, keduanya terpaksa harus berdiri bak penari balet (‘jinjit’).

Photo 3 (Priyanto B. Nugroho)

Di photo ketiga, si mbak ini terlihat sedang mencari angle yang unik sembari tak lupa bergaya. Sementara di photo keempat, seorang photografer sedang mencari sudut bidikan yang pas sembari tangan kirinya bersiap dengan kamera saku sebagai cadangan, agar tak kehilangan sedetikpun momen sunset di sebuah pantai di Bali.

Photo 4 (Priyanto B. Nugroho)

Hal serupa sebenarnya juga bisa kita cermati dari para analis maupun jurnalis. Dari sudut pandang yang diambil, yang terlihat dari caranya menyampaikan argumentasi seringkali juga membuat kita tersenyum simpul ketika membacanya.

Mereka yang ingin memberikan gambaran yang utuh, tentu akan mencoba memotret suatu persoalan dari semua sisi. Analisisnya akan mencoba mempertimbangkan secara proporsional semua segi yang relevan atas sebuah persoalan. Sudut pandang seperti ini tentunya bisa dikatakan sebagai yang paling obyektif karena memberikan gambaran yang lebih lengkap ke public, dan bisa dilihat sebagai yang memiliki konflik kepentingan minimal. Mengapa demikian? karena publik tentunya memiliki latar belakang, tingkat pengetahuan dan kepentingan yang beragam. Dengan informasi yang lebih utuh, maka pemahaman dan kesimpulan yang akan mereka ambil tentunya akan lebih bijaksana, atau lebih tepat.

Sayangnya sudut pandang seperti ini seringkali dinilai dinilai kurang ‘nendang’, atau kurang menjual! Apalagi bila sudah ada persepsi mainstream yang berhembus di masyarakat. Maka, tak heran bila tidak banyak pengamat maupun analis yang tertarik ataupun berani menyampaikan sudut pandang yang demikian. Kalaupun ada tentu hal ini dilakukan oleh mereka yang merasa bahwa kredibilitas dan integritasnya sudah cukup kuat di mata publik, sangat idealis atau mereka yang memang nothing to lose.

Yang lebih dominan adalah pengamat yang dalam menyampaikan pesannya memang sudah memiliki ‘misi’ tertentu. Sudah di-’frame’ sedemikian rupa sejak awal untuk memperkuat opini yang sudah berkembang di masyarakat. Argumen yang disampaikan akan cenderung menonjolkan satu sisi yang mendukung penguatan opini tersebut. Pertimbangan yang digunakan tidak akan utuh, cenderung ekstrem dan tutup mata dengan faktor dari sisi lain. Bahkan, seringkali tidak peduli dengan apakah hal yang disampaikan tersebut benar-benar merupakan sebuah fakta, sekedar ilusi atau sebatas interpretasi yang spekulatif sifatnya. Hal tersebut menjadi tidak penting baginya karena ketika opini publik sudah terbentuk, itulah yang akan dinilai sebagai kebenaran. Dengan demkian mission accomplished.

Hal serupa juga akan dilakukan oleh pihak yang ingin mengubah arah angin dari opini mainstream yang sudah ada. Dia akan cenderung menonjolkan sisi ekstrem lainnya. Namun demikian, untuk melakukan hal ini biasanya akan memerlukan nyali atau insentif lain yang sangat tinggi, sebagai kompensasi atas risiko berseberangan dengan arus pandangan yang sudah ada.

Kedua sudut pandang tadi sangat dimungkinkan terjadi mengingat banyak persoalan yang memang sangat kompleks karena memiliki banyak dimensi. Hal yang menyebabkan publik atau awam akan sulit mencerna dan memahami substansi persoalan yang sesungguhnya. Rasionalitas sederhana seringkali tak cukup untuk mengupas secara mendalam nuansa yang ada dalam sebuah persoalan. Apalagi bila persoalan tersebut menyangkut sebuah dilema atau pilihan-pilihan yang pelik.

Hal lain yang mendorong dominannya sudut pandang ekstrem tersebut adalah situasi yang masih diwarnai kurang memadainya kualitas komunikasi dan tata kelola institusi publik yang belum sesuai harapan banyak pihak, di tengah eforia masa transisi era keterbukaan. Kondisi dimana common sense seringkali bisa dimainkan sesuai dengan kepentingan. Hal lain yang menunjang adalah masih cukup lemahnya kepercayaan satu elemen dengan elemen masyarakat lainnya.

Kedua gaya penyampaian opini tadi biasanya disampaikan dengan gaya bahasa sangat lugas, lengkap dengan istilah-istilah yang ‘bombastis’. Kenapa? karena gaya yang demikian akan lebih mudah melekat di benak awam. Selain itu, karena kesimpulan yang hendak disampaikan memang sudah ada sedari awal sehingga argumen yang disusun akan mengalir lancar karena sebatas justifikasi atau pembenaran semata.

Walaupun begitu, hal-hal tadi tetaplah harus dimengerti dan tetap dilihat sebagai sesuatu yang berlandaskan niat baik, tentunya dari sudut pandang masing-masing. Selaiin tentunya bagian yang tak terelakkan dari sebuah proses panjang pematangan komunikasi publik.

Pada akhirnya, sudut pandang yang dipilih oleh seseorang memang dipengaruhi banyak hal, bahkan seringkali bertaut erat dengan masa lalu yang panjang sang penulis.Ada pengaruh keterlibatan pada kejadian atau peristiwa masa lalu, latar belakang pengetahuan maupun sesuatu yang sifatnya pragmatis. Namun yang pasti, hal tersebut hakekatnya juga menunjukkan cara pandang seseorang terhadap kehidupan dan caranya bergelut dalam menjalani hidup.

Dengan demikian, sebagaimana subyektifitas seorang fotografer dalam memilih sudut bidikan, pada dasarnya pembentukan opini publik akan sangat tergantung pada hati nurani. Sama halnya dengan pada saat seorang hakim memutuskan sebuah perkara. Hakekatnya, kembali berangkat dari tempat dimana kepentingan kita masing-masing berada.

Maka dari itu, sangat beruntunglah masyarakat yang mayoritas para pembuat opininya memiliki jiwa besar dan senantiasa berada di pihak mereka, dalam pengertian yang sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun