Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menjadi Gubernur BI, Siapa Bernyali ?

25 Februari 2010   14:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:44 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang ini merupakan masa sulit bagi siapapun yang menduduki posisi pimpinan, baik di swasta maupun di institusi pemerintah. Hal ini tidak hanya berlaku di Indonesia melainkan hampir di seluruh dunia. Thomas L. Friedman, pengarang buku “The World is Flat: A Brief History of 21st Century” yang juga telah beberapa kali memperoleh penghargaan Pulitzer, menyebutnya sebagai ‘a lousy season to be leaders of any institution’ dalam kolomnya di the New York Time edisi 26 Januari 2010 berjudul ‘Adults Only, Please’.

[caption id="attachment_81638" align="alignleft" width="209" caption="Ilustrasi : www.haffingtonpost.com"][/caption]

 

Artikel tersebut menilai kurang dewasanya sikap politisi dalam menyikapi perubahan struktural yang tengah terjadi di perekonomian dewasa ini. Kisruh politik yang terjadi di seluruh dunia sekarang ini, termasuk di Indonesia merupakan dampak badai krisis global yang mencapai puncaknya akhir 2008 lalu. Sebuah krisis dahsyat yang mengubah tatanan pasar keuangan, perbankan, perekonomian bahkan politik sebagian negara di dunia.

Imbas krisis tersebut terasa pula di Indonesia, yang antara lain ditunjukkan oleh gaduh panggung proses politik Pansus Century. Masalah yang muncul terkait langkah penanganan untuk mencegah dampak krisis global bagi perekonomian domestik. Langkah yang oleh Chris Panggabean, seorang peneliti ekonomi UI disebut sebagai ‘Mencegah Kritis Menjadi Krisis’ (Kompas, 22 Januari 2010). Argumen yang akhirnya terbukti sulit diterima karena cenderung abstrak, karena menyangkut penilaian atas risiko ketidakpastian yang sulit diukur. Bahkan dengan mudah dinilai mengada-ada bila dilihat dalam situasi yang beda mengingat keadaan yang dihadapi tidak bisa direkonstruksikan kembali.

Di Indonesia sendiri, sebenarnya periode suram yang disebut Friedman tadi sudah terlihat sejak sepuluh tahun terakhir. Periode setelah terjadinya ‘Krismon’ 1998. Sebuah krisis perbankan yang akhirnya mengubah secara mendasar seluruh tatanan masyarakat dan negara kita, hingga menjadi seperti saat ini. Sebuah kemajuan, dengan segenap konsekuensinya. Dalam kurun waktu tersebut, kita sudah memiliki empat presiden dan beberapa kali pergantian susunan menteri. Sementara posisi gubernur Bank Indonesia (BI) juga sudah berganti empat kali.

Posisi pimpinan tertinggi BI saat ini sudah lowong sekitar sembilan bulan terakhir. Sejak Boediono, Gubernur BI saat itu mengundurkan diri pada Mei 2009 karena digandeng SBY maju sebagai pasangan Capres-Cawapres pada Pemilu untuk masa Pemerintahan 2009-2014. Posisi Gubernur BI tersebut sementara ini dijabat oleh Deputi Gubernur Senior (DGS) sejak Darmin Nasution terpilih pada Juli 2009.

Beberapa waktu lalu posisi gubernur BI yang lowong kembali mulai diperbincangkan di media massa. Seruan perlunya posisi pimpinan tertinggi BI segera diisi datang dari kalangan politisi di DPR, yang meminta Presiden segera mengajukan kandidat untuk dilakukan fit and proper test. Presiden sendiri, melalui juru bicaranya menyatakan baru akan mengajukan calon Gubernur BI setelah Pansus Hak Angket bank Century, yang proses penyelidikannya membuat tonggak baru di jagad perpolitikan negeri ini berakhir.

Siapapun nanti yang akan menjadi Gubernur BI, sangat perlu menyiapkan diri sebaik mungkin. Selain harus kompeten dan professional, apapun yang dimaksud dengan itu, yang lebih penting calon tersebut haruslah memiliki mental yang kuat dan tangguh. Harus teguh pendirian, berani dan bernyali tinggi. Mengapa demikian?

Sejarah menunjukkan bahwa penanganan krisis ekonomi biasanya ‘memakan’ korban. Pejabat gubernur bank sentral tergolong memiliki kemungkinan besar untuk menjadi salah satu korban. Selain itu, dalam kondisi krisis biasanya tekanan politis terhadap pejabat gubernur bank sentral akan meningkat tajam. Hal yang bisa dicermati sebagai fenomena global. Meski demikian Indonesia merupakan negara yang mencatat rekor sebagai suatu negara dengan gubernur bank sentral terbanyak yang dijatuhi hukuman terkait dengan kebijakan yang diambil. Ranah hukum yang seringkali abu-abu, perubahan peta politik yang biasanya menyertai suatu krisis dan adanya pihak lain yang memanfaatkan situasi yang kacau biasanya menjadi pemicu di negeri ini.

Tengok misalnya pasca krismon 1998, yang bersumber dari jatuhnya nilai tukar Baht di Thailand. Gubernur bank sentral Thailand (Bank of Thailand) saat itu, Berngchai Marakanond, dinyatakan bersalah atas kebijakannya dalam menangani krisis nilai tukar saat itu dan dihukum penjara. Bahkan, pengadilan juga memerintahkan yang bersangkutan untuk mengganti kerugian negara yang ditimbulkannya, senilai sekitar 4,2 milyar US Dollar. Sebagai kilas balik, di masa pimpinannya Bank of Thailand melakukan intervensi besar-besaran di pasar valas melalui transaksi swap untuk menjaga nilai tukar Baht. Langkah ini mengakibatkan cadangan devisa turun drastis dari sekitar 40 milyar US Dollar menjadi tinggal hanya sekitar 3 milyar US Dollar hanya dalam kurun waktu sekitar 6 bulan hingga Juni 1997. Beberapa hari kemudian akhirnya nilai tukar Baht diambangbebaskan (floating) sebagaimana Rupiah sekitar sebulan berikutnya. Kasus tersebut tergolong kontroversial karena beberapa pejabat pemerintah yang dinilai seharusnya juga bertanggungjawab tidak tersentuh. Bahkan Perdana Menteri Thailand saat itu, Thaksin Shinawatra, menyatakan bahwa kesalahan yang bersangkutan sebenarnya lebih merupakan cerminan ketidakkompetenan daripada sebuah kejahatan korupsi. (Kyodo News International, Inc, 17 Desember 2001).

Sementara itu, terkait krisis hebat terakhir yang awalnya berasal dari Amerika Serikat dan memuncak di penghujung tahun 2008 lalu, kritik pedas dan tekanan politis ke pejabat bank sentral juga terjadi di beberapa negara.

Bermula di Iceland, sebuah negara berpenduduk sekitar 300 ribu orang di wilayah Atlantik Utara. Seluruh pimpinan bank sentralnya diminta mundur karena bangkrutnya perbankan di negeri itu pada tanggal 9 Februari 2009. Untuk memulihkan keadaan, pemerintah Iceland dengan bantuan IMF dan World Bank terpaksa harus menginjeksi dana sebesar 2,1 milyar US Dollar untuk tiga bank dan masih harus melakukan rekapitalisasi bank-bank tersebut. Mirip dengan kejadian di Indonesia tahun 1998/99. Kejadian yang oleh banyak kalangan dikatakan sebagai awal menyebarnya 'virus' kasus serupa ke berbagai negara di kemudian hari, termasuk Indonesia.

Namun, David Oddson, gubernur bank sentral saat itu, yang juga mantan Perdana menteri menolak. Hal ini menimbulkan kemarahan publik secara luas, bahkan seorang artis sampai membuat poster David Oddson layaknya sebuah monster dalam film horror berjudul ‘the lord of the bank’. Seorang jurnalis, Iris Erlingsdottir, bahkan menyebutnya sebagai ‘so stupid’ karena menolak mengundurkan diri. Untuk mendongkel sang gubernur, pemerintah terpaksa harus mengamandemen UU bank sentralnya pada 27 Februari 2009. Hanya sekitar dua minggu sejak permintaan mundur disampaikan pemerintah. Sejak saat itu, jabatan gubernur bank sentral dijabat oleh pejabat sementara yang ditunjuk pemerintah, Svein Harald Oygard sampai dengan terpilihnya gubernur baru, Mar Gudmundsson mulai 20 Agustus 2009.

Nasib serupa dialami oleh gubernur bank sentral Argentina, Martin Redrado yang didesak untuk mundur dari jabatannya oleh Presiden Argentina, Cristina Kirchner awal tahun ini. Pertentangan bermula dari perbedaan pandangan antara sang gubernur dengan sang presiden menyangkut langkah kebijakan dalam penanganan utang luar negeri Argentina. Hal yang menimbulkan kemelut politik bercampur hukum sekitar sebulan lamanya. Bahkan halangan fisikpun sempat dikerahkan dengan memerintahkan polisi untuk menghalangi sang gubernur memasuki kantornya. Akhirnya di awal Februari lalu sang presiden berhasil mendepak sang gubernur bank sentral dan menggantinya dengan Mercedes Marcó del Pont. Gubernur bank sentral baru ini, yang sama-sama wanita dinilai lebih dapat mengakomodasi keinginan sang presiden dan bersedia mengorbankan status independen bank sentralnya dengan memberikan sinyal perlunya amandemen undang-undang bank sentral.

Tekanan politis yang menguat juga dialami oleh pimpinan bank sentral di berbagai negara meski nasibnya tidak sekelam yang dialami gubernur bank sentralIceland maupun Argentina. Dari New Zealand pada tahun 2007, yang sempat diancam untukk diubah mandatnya oleh parlemen hingga Jepang maupun Korea Selatan. Bahkan sejak Februari ini, setiap rapat dewan gubernur di bank sentral Korea Selatan ‘ditongkrongi’ oleh utusan menteri keuangan (Bloomberg, 9 Februari 2010).

Hal serupa dialami oleh gubernur bank sentral Amerika Serikat, the FED, bank sentral yang kebijakannya mempengaruhi perekonomian dan pasar keuangan di seluruh dunia. Bernanke, sang gubernur bahkan sempat terancam tidak terplih kembali untuk kedua kalinya. Beberapa kali dalam kesempatan ‘rapat dengar pendapat’ dengan parlemen, Bernanke mendapat serangan yang cukup pedas dari politisi. Bahkan oleh senator Jim Bunning dari Partai Republik Kentucky, Bernanke dijuluki sebagai dari contoh definisi ‘moral hazard’, karena kebijakan yang ditempuh Bernanke dalam menyelamatkan perekonomian dengan melakukan bail-out terhadap institusi keuangan besar di Amerika. Terpilihnya kembali Bernanke pada akhir Januari lalupun terpaksa harus melibatkan lobi tingkat tinggi pemerintah. Meski demikian, untuk pertama kalinya dalam sejarah jumlah suara yang menolak Bernanke masih cukup besar, yaitu 30%.

Sejauh ini Bernanke masih bersikukuh dengan pandangannya akan independensi bank sentral dan tingkat transparansi bank sentral. Meski demikian, ke depan bisa dipastikan tekanan politis yang akan dihadapi jelas cukup besar mengingat membengkaknya defisit anggaran pemerintah dan kondisi ekses likuiditas di perbankan, suatu kondisi sebagaimana yang sejak sepuluh tahun terakhir dihadapi BI. Dalam kondisi tersebut, tekanan ke bank sentral untuk membiayai belanja pemerintah dengan mencetak uang hampir tak terhindarkan.

Sekarang mari kita tengok kembali kejadian di Indonesia. Semua gubernur BI, termasuk beberapa anggota dewan gubernur BI sejak ‘krismon’ 1998, menghadapi hal yang mengenaskan terkait dengan kebijakan yang diambil saat itu. Meskipun pada saat itu, BI belum memperoleh status bank sentral independen (masih menjadi bagian kabinet pemerintah). Semua dihadapkan pada tekanan politis dan permasalahan hukum yang melelahkan.

Seluruh anggota dewan gubernur pernah dituntut mundur dan akhirnya empat diantaranya mengundurkan diri pada pertengahan November tahun 2000, seusai dilakukan rapat dengan pendapat dengan Komisi IX DPR RI.

Soedradjat Djiwandono, Gubernur BI terakhir sebelum BI memperoleh status sebagai lembaga independen melalui UU No. 23 tahun 1999 harus berkutat dengan permasalahan hukum selama beberapa tahun sesudah tidak lagi menjabat terkait dengan penanganan krisis 1998/99, yang dikenal sebagai bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Buntut kasus BLBIini masih terasa hingga kini, dan menjadi semacam ritual lima tahunan perdebatannya sejak saat itu.

Semua gubernur sesudahnya menghadapi hal yang serupa meski untuk hal yang berbeda. Mulai dari Sjahrir Sabirin, Burhanuddin Abdullah hingga Boediono, yang saat ini menjabat wakil presiden. Dua diantaranya, yaitu Sjahrir Sabirin dan Burhanuddin Abdullah mengalami hal yang lebih tragis, akhirnya divonis penjara  meski kasusnya tidak secara langsung terkait pengambilan kebijakan untuk penanganan krisis. Nasib yang juga dialami oleh tujuh deputi gubernur dalam periode sepuluh tahun terakhir. Sekedar sebagai catatan, salah satu gubernur BI yaitu Burhanuddin Abdullah pernah dinobatkan sebagai salah satu gubernur bank sentral terbaik (best central bankers) versi Global Finance Award tahun 2007, serta memperoleh penghargaan Bintang Maha Putra dari Pemerintah pada tahun 2007. Sebuah pengakuan yang akhirnya tidak cukup bermakna dalam fase kehidupan selanjutnya.

Besar kemungkinan posisi gubernur BI yang lowong saat ini akan mulai diramaikan kembali setelah Pansus Century menyampaikan laporan pandangan akhirnya. Laporan tersebut saat ini konon sedang disusun di sebuah hotel bintang lima di Jakarta, dan akan disampaikan ke masyarakat pada rapat Pansus awal Maret nanti.

Siapapun nanti yang akan menduduki jabatan gubernur BI mesti bersiap diri sejak dini. Tantangan tugas sebagai otoritas moneter yang dihadapi tidaklah ringan. Pemulihan ekonomi global masih rentan terhadap goncangan, misalnya mulai mencuatnya permasalahan seperti krisis di Yunani, Spanyol dan beberapa negara Eropa. Perubahan tatanan pasar finansial global sedang pada tahap awal. Di sisi lain, permasalahan domestik seperti isu pembentukan otoritas jasa keuangan (OJK) sudah jelas di depan mata. Hal yang sudah pasti mempengaruhi mekanisme kerja bank sentral ke depan. Hal yang lebih penting adalah kondisi politik yang memasuki fase dinamika baru yang seringkali menegangkan.

Seperti sudah diulas di atas, posisi bank sentral adalah yang paling rentan dan berisiko tinggi secara politik. Kedudukan bank sentral, dengan status independen yang mulai mengemuka sejak awal tahun 1990-an merupakan salah satu faktornya. Status independen, yang semula dimaksudkan untuk menjamin agar kebijakan moneter suatu negara tetap terjaga untuk menggawangi pembangunan ekonomi negara secara berkekelanjutan. Terbebas dari kepentingan politik penguasa yang seringkali menyimpang dari program pembangunan jangka panjang dengan kebijakan populis jangka pendek demi meraih popularitas untuk kepentingan memenangkan pemilihan umum berikutnya.

Kedudukan bank sentral yang memang didesain sedemikian rupa untuk menjamin keseimbangan kebijakan ekonomi, sehingga harus berani ‘berakit-rakit ke hulu dan berenang-renang ke tepian’ dalam situasi tertentu, untuk menjamin tercapainya kesejahteraan masyarakat yang sesunggguhnya dalam jangka panjang. Tantangan lain adalah tugas dan cara kerja bank sentral yang sesungghunya lazimnya tidak banyak dikenal oleh masyarakat dan mengharuskan pejabatnya sebagai sosok yang tidak populis di masyarakat. Sebuah konsep yang mulia dan berjalan dengan baik ketika kondisi ekonomi baik-baik saja, namun terbukti tidak cukup sukses ketika perekonomian dalam tekanan. Jaminan dan perlindungan hukum secara undang-undang seringkali tidak cukup kuat, luluh lantak di tengah tekanan politik.

Maka, siapapun nanti yang dicalonkan dan maju seleksi menjadi gubernur BI hendaklah kuat hati, tabah dan berhitung seribu kali sebelumnya. Jangan lupa untuk selalu memperhatikan bisikan nurani dan senantiasa memohon bimbingan dan perlindungan Yang Maha Kuasa, pemberi perlindungan yang sesungguhnya.

 

Artikel terkait : Tiga hal untuk para calon menteri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun