Selepas shalat ashar saya dan seorang teman asyik ngobrol di teras mushallahnya daeng (begitu saya memanggilnya karena dia tidak suka dipanggil udztas apalagi kyai), saya ingat saat pertama bertemu, “panggil saja daeng” ucapnya.
Sore itu matahari masih “unyu-unyu”nya saya mempertahankan argumen pilkada langsung sebagai hak dasar warga negara, hak memilih dan dipilih, sedangkan teman saya tetap bersikukuh dengan pilkada via DPRDnya, alasannya cukup logis biar yang masuk neraka para wakil rakyat saja.
Lha kok bisa? Saya melongo sambil mengambil sebuah pisang goreng yang baru dibawa sama daeng dari dalam rumahnya. “Iya, bayangkan sekarang setiap pilkada selalu saja ada istilah serangan fajar, mau anak baru gede sampai ibu-ibu majelis taklim pasti mau nerima , dan bukankah disuap sama menyuap sama-sama masuk neraka? Nah kalau pemilihan kepala DPRD kan yang disuap wakil kita saja, nah dengan begitu mereka yang masuk neraka”.
Tapi memilih pemimpin adalah hak asasi manusia bro, kalau begitu hasilnya nanti pemimpin daerah yang korup dan bukan pilihan murni rakyat, lagipula sekarang ini rakyat mulai pintar, buktinya mereka bisa memilih pemimpin-pemimpin hebat, Ridwan Kamil, Nurdin Abdullah, Risma bahkan Jokowi itu lahir dari rakyat, ujarku.
Daeng hanya tersenyum mendengarnya, saya dan kawan saya menanyakan pendapatnya. Jadi begini “pilkada langsung maupun melalui DPRD ada plus minusnya, yang membuat kisruh yaitu ada kepentingan politik dan tidak ikhlas memperjuangkan demi rakyat. Coba kalian lihat PDIP dulu itu mendukung pilkada tidak langsung, nah PKS dulu mendukung pilkada langsung, lalu kemudian demi politik mereka berubah haluan, lalu saling menjatuhkan dengan menjual nama rakyat”.
Tapi daeng, menurut daeng bagaimana sistem pemilihan yang baik?, “kalau saya setuju dengan sila keempat pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Jadi daeng setuju pilkada tidak langsung? “Iya asal permusyawaratan perwakilan sudah dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, kalau tidak yah biarkan rakyat belajar dulu memilih wakil dan pemimpinnya, dan partai-partai itu belajar mengkader anggotanya agar lebih mencintai Indonesia daripada golongannya sendiri.
Saya dan teman saya menggut-manggut sambil menikmati teh hangat yang menemani pisang goreng buatan istri daeng, saya masih mengunyah sepotong pisang, ketika daeng berujar.
“Saya senang kalian melek politik, tapi ingat dalam mempelajari politik jangan terlalu jauh menjadi simpatisan atau kader partai, karena partai-partai sekarang sama bullshitnya, bisa-bisa kalian malah jadi bagian tai, Part- TAI” ujarnya sambil menunjuk tai dari sapi yang menunggu jadwal dikorbankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H