Mohon tunggu...
Priya Purnama
Priya Purnama Mohon Tunggu... -

Tuhan yang bisa menindas dan mengkafirkan manusia. Bukan manusia!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cemburu dengan Si Cacat

26 April 2012   14:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:04 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1335449336495785972

Bumi berderak. Tanah berguncang. Angin berputar menghempas. Pohon-pohon tak merindangi sosok yang berlarian di bawah namun malah mencekik mereka. Rumah bukan lagi tempat tinggal yang sekejap beralih fungsi menjadi kuburan. Aku limbung. Aku baru saja memetik buah durian yang akan kuserahkan kepada warga kampung sebagai perayaan menyambut datangnya bulan puasa. Suka cita berlalu berganti derita. Sempat kupikir jeritan anak-anak adalah kegirangan mendengar rebana mulai bertabuh. Tapi aku salah. Itu adalah jerit memilukan orang-orang yang berusaha mempertahankan napas mereka.

Aku lari. Sempoyongan. Terbentur-bentur. Kulindungi kepala menghindari reruntuhan rumah dan balok kayu. Satu yang melintas begitu cepat di dalam benak, aku harus menyelamatkan diri. “Merapi Muntah lagi,” jelas dokter di rumah sakit Betesdha Yogyakarta,

Aku tak tahu apa itu. Sejujurnya, aku tak peduli. Kami baru dievakuasi pada hari kelima karena jalur Magelang-Yogyakarta terputus terserang lahar dingin Merapi. Ibu setia menemaniku yang menderita patah tulang paha dan telapak kaki sekaligus beliau tak ragu ikut mengurus Joel bocah dua belas tahun yang menderita perdarahan di kepala kirinya. Joel terbaring bersebelahan dengan ranjangku. Aku tak suka Ibu memperhatikannya sementara aku sendiri tengah kesusahan. “Kenapa kamu, Roy?” gumam Ibu tajam. “Tak terpikir dalam otakmu siapa ayah dan ibu anak ini?” Aku meringis. Sekedar buang air kecil saja aku harus dibantu, apalagi... “Bukan begitu, Mbok,” sanggahku. “Aku juga prihatin melihatnya. Tapi kita bisa apa? Biarkan pemda atau pemerintah pusat yang menolongnya.” “Jahat betul hatimu,” tuduh Ibu menghujam. “Kau seperti bapakmu. Biarkan orang lain yang menanggung, biarkan aku terbebas. Itu juga yang kamu lakukan saat terjadi gempa Gunung Merapi? Biarkan yang lain asalkan kau selamat?” Kepalaku terlalu pening untuk berdebat. Aku hanya tak setuju Ibu menambahi beban hidup kami, beban hidupku, dengan seorang anak yang diperkirakan cacat mental karena kerusakan otak parah akibat benturan hebat.

##########

Aku tak pernah menyukai Joel. Bagiku keberadaan Bang Paimin dan Bang Sudairin yang seperti benalu masih lebih baik daripada pemuda cacat sepertinya. Sekalipun Ibu dan adik bungsuku, Tora, senang berkawan dengan Joel. Tentu saja Tora suka. Seperti kembarannya, pikirku sengit, walaupun jarak usia Tora dan Joel jauh. Tora hanya dua tahun di bawahku sementara Joel masih bocah. Sesekali memang lidah Joel dan matanya yang berputar-putar terasa lucu, di lain waktu aku ingin sekali menggencetnya karena ia selalu mengotori sarung dan sajadahku dengan pipisnya. “Sabar!” Ibu mengingatkan. “Dia itu masih seperti anak kecil!” Ibu masih menjadi juru masak PTP di Klaten. Sekarang beliau tidak bekerja sendiri tapi memiliki dua asisten. Rupanya Pak Haji melihat ibu yang mulai tua harus dibantu, sementara keterampilannya memasak tak dapat diwariskan begitu saja. Orang enggan meninggalkan meja makan hingga selesai ketika mencicipi gule kepala kakap, sambal cabe hijau, dan daun ubi rebus masakan Ibu. Peristiwa Gempa dan meletusnya gunung Merapi  rawan gempa. Lalu apa bedanya dengan Krakatau dan bencana lain yang juga bernasib serupa? “Musibah di mana-mana ada, Roy,” nasihat Ibu. “Maut selalu mengintai kan? Tak peduli kau sedang tidur di atas ranjang. Makanya ibadahmu tuh diperkental. Kadang kau mirip Bang Sarimin dan Bang Suharto. Kau lebih berhasil, tapi ibadahmu sama saja. Tengoklah macam adikmu Joel sama Tora.” Aku tersenyum masam. Gempa  menyebabkan aku tak mau kembali ke Klaten. Ibu pun tak memaksaku kembali ke sana. Tinggal jauh suasana Yogyakarta sering membuatku merasa sepi sendiri. Ingin kuajak Ibu saat aku bekerja di sana namun beliau merasa masih bertanggung jawab atas kelangsungan hidupnya. Terkadang aku sendiri tak habis pikir dari mana Ibu memperoleh rezeki untuk menghidupi semua anak-anak lelakinya termasuk Joel. Bahkan bagi Ibu sendiri, Joel sekarang adalah bagian dari hidupnya. Atas bencana yang terjadi Gempa beberapa waktu lalu, aku justru mendapat kemudahan untuk mutasi kerja ke daerah yang lebih ‘aman’ seperti Semarang. Musibah itu justru membawa berkah bagi diriku.

#######

Tora sekarang sudah dewasa. Tidak sepertiku yang sejak awal berambisi menjadi pegawai, Tora lebih ulet menjadi pedagang. Pengalaman hidup kami yang tertindas di perkebunan justru membuatnya jeli melihat pasaran. Ia suka berdagang apapun mulai dari hasil bumi hingga kerajinan. Dari Yogyakarta ia biasa membawa bertruk-truk Salak pondo, rambutan atau cengkeh. Setiba di sini ia akan mengangkut balik Dadagangannya. Di samping membawa hasil bumi, ia kerap membawa Batik khas Tamansari yang halus dan indah. Atau kerajinan khas Malioboro dan pernak pernik cindera mata yang biasa dijajakan untuk turis asing. Siapa lagi asistennya kalau bukan Joel. “Apa kau tak ingin cari pembantu yang lebih pintar, Tor?” Tora tersenyum. “Dia itu polos dan bersih, Jujur kang mas,” sahutnya. “Orang macam itu malah sering mengingatkan aku sholat bila adzan tiba, mengingatkan aku ‘tuk sedekah saat orang kesusahan.” Mboten seng aneh-aneh. Kang mas Aku hanya melirik sekilas pada Joel yang tak pernah jauh dari Tora, wajahnya yang polos dengan mulut selalu tertawa hingga liur kadang berceceran. “Kapan Kang mas menengok kiosku di Malioboro?” ajaknya semangat. “Aku juga buka kios buah di Pasar Klaten. Mirip kios buahku di Malioboro.” Aku tersenyum. Tentu aku ingin mengunjunginya bila liburan tiba nanti. Cutiku tahun ini belum diambil lantaran tiap Lebaran aku memang tidak pergi ke mana-mana. Ibu sudah lama ingin pergi ke Semarang, kudengar Tora mengontrak sebuah rumah di daerah Simpang lima sebagai tempat peristirahatan bila ia sedang berada di Semarang. “Kita ke sana ya, Roy,” Ibu memintaku mengantar beliau. Kadang aku berpikir Ibu lebih menyayangi adik bungsuku karena ia lebih segala-galanya daripada aku. Memang ia hanya tamat SMA sepertiku, tapi lahan dagangnya mulai membuahkan hasil. Pendapatannya sebulan jauh di atas penghasilanku. Bahkan Tora sudah berani mendaftarkan Ibu untuk naik haji tahun depan. “Kau tuh punya prasangka buruk Cah bagus,” tegur Ibu yang melihatku sering menggerutu menghadapi Tora dan Joel. “Mereka berdua baik ibadahnya, baik perangainya. Pantaslah Tuhan membukakan pintu rezeki-Nya. Kaupun bisa begitu kalau mau sikit berubah. Nyatanya, bertahun hidup bersama Joel belum membuatmu makin dewasa bersikap.” Aku hanya diam. Selalu begitu. Kata-kata Ibu menohok jantungku. Memang terkadang kupikir, kenapa rezeki yang diraih Tora lebih mudah daripada yang diperoleh tiga Kang masnya. “deh e bener cah lanang seng tanggung jawab, Roy,” Ibu tersenyum. Telingaku memerah. “Dia berani menanggung resiko. Memangnya memelihara Joel nggak ada dukanya? Waktu Tora belum berhasil dagangannya, dia sering mengalah makan demi Joel.” Begitulah. Sekalipun batinku sering gondok melihat keberhasilan Tora, bagaimanapun ia tetap adik yang kusayangi. Ia lebih muda tapi lebih dewasa. Sewaktu masih kanak-kanak, aku lebih cengeng dibanding dirinya. Aku sering menangis bila ditinggal Ibu lembur memasak hingga larut saat perkebunan menghadapi kerja ekstra. Kang masku lebih suka membentakku untuk tutup mulut. Sebaliknya, Tora datang mendekap, mengatakan bahwa aku tak perlu sedih karena ia akan selalu menemani. Tora adalah saudaraku yang paling dekat, apalagi dengan hadirnya Joel, hubungan kami merenggang. (Bersambung) Tulisan ini merupakan Duet dengan Rya Bintang Lestari Prameswari,

“ Thanks Mbul, atas ajakannya yang menghibur. Lanjutkan petualangan ini. Imajinasi akan terus berputar seperti poros bumi yang bercumbu dengan Matahari”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun