Mohon tunggu...
Priya Purnama
Priya Purnama Mohon Tunggu... -

Tuhan yang bisa menindas dan mengkafirkan manusia. Bukan manusia!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

1965 Sejarah Kelam Bangsa Indonesia

4 Agustus 2012   07:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:15 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi Indonesia, tahun 1965 merupakan suatu tahun yang luar biasa penting. Sebab saat itu adalah tahun terjadinya peristiwa 1 Oktober 1965, yang memutar balik proses sejarah perkembangan Negara ini. Sejarah Indonesia sendiri pada masa Orde Baru Soeharto adalah merupakan penjaga kekuasaan bagi rezim yang berkuasa dalam hal ini termasuk ketika rezim Orde Baru memaknai tafsir mengenai peristiwa tragedi nasional 1 Oktober 1965 yang berujung kepada kesimpulan bahwa PKI menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atau dalang atas semua kejadian berdarah yang berujung pada tragedi pembunuhan massal yang diperkirakan menghilangkan nyawa setengah hingga satu juta nyawa orang Indonesia oleh orang Indonesia sendiri.

Tragedi65 adalah merupakan titik tolak dari krisis kebangsaan di Indonesia, dikarenakan ketika membicarakan mengenai tragedi 65 kita tidak hanya membicarakan mengenai pembunuhan 7 jenderal di Lubang Buaya, ataupun adanya sebuah gerakan yang pada akhirnya mengarah kepada pergantian kekuasaan di Indonesia, tetapi ketika kita membicarakan permasalahan tragedi 65 maka di Indonesia dimulailah sebuah masa yang penuh dengan ketakutan dimana budaya teror dan kekerasan menjadi sebuah hal yang lumrah bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan dan hegemoninya jauh lebih terstruktur dari era Soekarno.

Dalam praktek politiknya pemerintahan Orde Baru menerapkan tiga hal: Pertama, melakukan proses ideologisasi, yaitu menerapkan tunggal Negara. Pada fase ini berkembang jargon-jargon yang sifatnya top down, seperti ide pembangunanisme. Kedua, kalaupun terdapat protes dari adanya ideologisasi tersebut, masih menyisakan ketidaksepakatan di tingkat massa rakyat, yang berlaku kemudian adalah proses stigmatisasi dengan mengembangkan jargon politik: anti pembangunan, anti ideologi Negara (Pancasila) dan berpaham komunis dan lain sebagainya. Sedangkan yang ketiga adalah bila terdapat perlawanan yang keras, seperti demonstrasi maka pemerintah dengan segera menggunakan pendekatan keamanan.

Adanya praktik tindak kekerasan dan budaya teror yang diwariskan baik pada masa Soekarno maupun Soeharto terus berlangsung pada era reformasi yang dianggap jauh lebih demokratis. Tercatat peristiwa Madiun (1948), DI/TII (1960), PRRI/Permesta (1960), Peristiwa Aksi Sepihak (1964), Peristiwa G-30-S (1965), Pembunuhan Massal pasca G-30-S (1965-1966), Pemenjaraan, Penyiksaan, pembuangan massal pasca G-30-S (1966-1980), Pemenjaraan, Penyiksaan Kyai (1971), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Peristiwa Talangsari (1989), Peristiwa Kudatuli (1996), Peristiwa Mei, Trisakti, Semanggi, Dukun Santet (1998), DOM Aceh (1980-2000), Tragedi Monas (2008).

Yang juga patut menjadi perhatian, selain kasus-kasus yang bersifat massal, ada lagi perkara kekerasan yang bersifat pribadi-pribadi terhadap orang-orang yang dianggap membahayakan. Kekerasan yang terjadi bukan dikaitkan pada tanggal atau tempat terjadinya, melainkan identitas si korban. Si korban dianggap sebagai representasi yang memiliki banyak perbedaan bahkan berlawanan dengan visi Negara. Bisa jadi Negara maupun pendukung-pendukungnya terusik dengan perlawanan ini sehingga berusaha mencari jalan untuk menghentikannya. Caranya tentu beragam, mulai dari yang halus sampai yang kasar, tercatat nama Tan Malaka, Marsinah, Fuad Muhammad Syafrudin (Udin), Wiji Thukul, Baharudin Lopa, dan Munir.

Akhirnya sebuah kata-kata bijak yang diungkapkan oleh Amstutz, “Ingatan bagi korban kekerasan masa lalu bukan hanya sekedar rekaman sebuah peristiwa, melainkan juga bentuk penagihan atas masa lalu yang pernah dideritanya sangat diperlukan untuk mendudukkan persoalan pada tempatnya untuk memulai hidup baru yang terbebas dari dendam sejarah. Ingatan perlu disampaikan kepada generasi selanjutnya agar mereka dapat belajar untuk memahami derita orang lain, berlapang dada memaafkan masa lalu, dan berupaya memutus spiral kekerasan dengan menciptakan peradaban yang anti kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun