Dalam beberapa hari ini Pak Wapres Budiono menyita perhatian saya. Pertama adalah adanya surat pembaca di Kompas soal pengutipan sebuah tulisan di sebuah blogger tanpa sepengetahuan si penulis yaitu pak Melvin Siagian oleh pengelola situs "kewapresan". Untungnya buru-buru pengelola situs yakni Yopie Hidayat yang juga juru bicara Pak Wapres meminta maaf dan telah menghilang dari situs tersebut.
Peristiwa kedua adalah pidatonya di depan Civitas Academia UGM dengan tajuk Membangun Demokrasi di Indonesia (http://www.wapresri.go.id/index/preview/pidato/36). Pidato itu cukup panjang saya baca di situs resminya Pak Wapres, kebanyakan soal perjalanan sejarah demokrasi , sangat literal khas rujukan pedanka. Pak Wapres mengambil kesimpulan dari penjabaran yang panjang itu bahwa kunci keberhasilan demokrasi adalah dengan pemerintahan yang efektif, nah key success factors yang ditentukan adalah pertama, suasana yang stabil, kedua, ada birokrasi yang berjalan baik dan yang ketiga ada kebijakan dasar yang rasional dan realistis.
Pak Wapres, mari kita bicara fakta mengenai pemerintahan yang efektif. Bobot pidato Pak Wapres bahwa tanggungjawab adanya pemerintahan efektif ini adalah tanggungjawab bersama, terutama rakyat. Pak, dalam demokrasi kita dikenal mandate. Rakyat memilih para warganegaranya sebagai pembawa mandate, para penerima mandate ini bapak sebut sebagai elit politik, dimana Pak Wapres termasuk di dalammnya. Rakyat memberikan mandate agar para penerima mandate ini menjalankan pemerintahan yang efektif. Jadi bobot tanggungjawab ada di pundak penerima mandate, termasuk juga para parlementaria itu. Mandat yang Pak Wapres terima itu bersama Pak Pres nya adalah membentuk pemerintahan yang baik dan Pak Wapres dapat menggunakan seluruh sumberdaya yang ada agar digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan, keadilan rakyat yang memberikan mandate kepada Pak Wapres.
Fakta yang ada mengenai keefektifan pemerintahan yang sekarang sedang Pak Wapres jalankan adalah sebagai berikut:
1.      Pak Wapres dan Pak Pres saat ini membentuk banyak satuan tugas, juru bicara dan sebagainya yang tentu tujuannya untuk membantu tugas Pak Wapres. Tapi apa jadinya dengan tenaga ahli yang demikian banyak, setiap tenaga ahli merasa ia berhak menjadi juru bicara pemerintahan, bahkan ada staf ahli anda yang berurusan dengan bencana, malah membuat bencana baru. Pak Wapres tidak pernah menertibkan hal ini, atau mungkin ini strategi yang Pak Wapres jalankan agar meminimalkan slipped of tongue, jadi pihak Pak Wapres selalu aman karena ada bumper-bumper di depan. Ingat Pak Wapres, tugas pemimpin itu juga harus di depan.
2.      Soal komunikasi dan informasi yang amburadul itu telah menyebabkan anak bangsa kehilangan jiwanya, sebut saja seorang siswi smk yang bunuh diri karena tidak lulus UN. Ia bahkan tidak tahu bahwa ada UN susulan. Kemudian kasus koja dan banyak lagi dimana kejadiannya adalah disinformasi dan misunderstanding dan mis-mis yang lain.
3.      Walk the talk, biasanya efektif itu selalu diikuti oleh efiesiensi atau kemangkusan. Boleh tahu apa yang Pak Wapres buat untuk kedua hal ini, jangan jauh-jauh deh, dari kantor anda. Bapak mungkin kelihatan bijaksana dan bersahaja, namun Pak Wapres seakan terdiam kelu (berarti merestui) terhadap kemewahan yang ada di sekitar Pak Wapres. Coba tengok mobil para menteri anda. Atau ngga usah jauh-jauh, merek minuman yang disajikan dalam rapat yang bapak pimpin adalah dari merek terkenal mahal yang botolnya hijau. Atau sejauh mana kantor bapak lebih berhemat dibanding sebelumnya.  Walk the talk berikutnya adalah ketika KPK mendatangi Pak Wapres di Wisma Negara. Atas nama symbol Negara, Pak Wapres senang-senang saja KPK yang menghampiri. Saya yakin dibenak rakyat kecil, persepsi yang terbentuk adalah keadilan memang pilih kasih, setidaknya satu tukang bajaj bicara seperti itu. Padahal, jika Pak Wapres dating ke Kantor KPK, Pak Wapres telah meletakkan dasar-dasar demokrasi, kesetaraan dalam proses hukum. Jadi Pak Wapres dan tim tidak perlu menghabiskan energy berdebat soal ini. Mulailah Pak Wapres panutan demokrasi dengan hal sederhana seperti ini.
4.      Sedikit bicara, banyak bekerja sebuah tagline yang Pak Wapres gunakan. Tagline ini mengingat saya pada sebuah cerita klasik dari dunia marketing komunikasi, dimana neraka pun bila memiliki strategi komunikasi yang pas, banyak yang milih. Sedangkan surga bukan sebuah pilihan karena tidak menganggap komunikasi pemasaran sebagai alat meyakinkan para pemangku kepentingan. Sama seperti tagline Pak Wapres, walaupun Pak Wapres banyak bekerja namun bapak diam, masyarakat tidak tahu bahwa bapak bekerja.
5.      Tingkat kepercayaan. Pak Wapres selalu mengasumsikan bahwa birokrasi berjalan dengan baik dalam setiap kebijakan yang diambil dalam kabinet ini. Kalau boleh jujur Pak Wapres, level confidence yang Pak Wapres patok harusnya hanya 40%, level confidence sisanya harus Pak Wapres dapatkan sendiri, yah misalnya turun langsung tanpa protokoler ke masyarakat. Seperti beberapa waktu lalu pada sebuah acara peringatan hari penyandang cacat sedunia, dimana Pak Wapres tersedu karena orangtua Pak Wapres juga seorang dari kalangan ini, harusnyanya justru Pak Wapres lebih empati terhadap kaum ini. Nyatanya, ketika beberapa hari lalu saya sempat berbincang dengan salah satu penyandang tunanetra yang bagi saya dari segi umur dan fisik sebenarnya ia mampu bekerja ketimbang menjadi pengemis. Ketika itu saya bertanya apakah ada perubahan di rezim pemerintahan sekarang terhadap nasib penyandang cacat? Ia jawab bahwa zaman sekarang mencari sesuap nasi saja sangat susah. Ia bilang ia menjadi pengemis di siang hingga sore hari karena mencari tambahan dimana malamnya ia menerima panggilan pijat yang semakin hari semakin berkurang pelanggannya. Pak wapres rupanya terjebak dalam birokrasi seremonial.
6.      Keberpihakan. Salah satu pilar ideology demokrasi adalah pilar keberpihakan. Entah saya alpa atau tidak, saya belum pernah membaca, mendengar, melihat, apa pendapat Pak Wapres terhadap orang atau kelompok yang paling lemah. Misalnya waria yang kemarin diserbu, atau rumah ibadah yang dirusak, atau aniaya kaum minoritas lainnya. Sebagai wapres, Pak Wapres jangan berkutat pada masalah ekonomi aja loh, apalagi kebanggaannya dari hanya melihat indicator makro.
Itu aja dulu Pak Wapres, pendapat saya mengenai anda. Untuk tulisan ini, kalau berani dan saya dengan senang hati, dimunculkan di situs resmi Pak Wapres, itu kalau berani loh. Soal isi pendapat saya yang tidak sistematis, yah harap maklum, saya kan bukan professor, cuman seorang otodidak.
Bintaro, 4 Mei 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H