Di sebuah lapangan badminton kemarin dimana saya biasa bermain bersama rekan-rekan kantor dijumpai seorang bapak memakai tongkat penyangga di kedua sisi tubuhnya karena kakinya lunglai tidak mampu menopang tubuhnya.
Ia sepertinya menawarkan pijatan bagi orang-orang yang butuh jasanya sehabis olahraga.
Setelah bermain dua set, saya mendekatinya untuk meminta jasanya dalam pijat memijat dan ia dengan mata berbinar, dengan sigap menyiapkan segala sesuatunya untuk memulai prosesi pijat memijat di pinggir lapangan. Saya pun nunut aja dalam prosesi tersebut. kedua tangannya memang kekar, pertanda ia memang tukang pijat dan ia sebut sebagai tukang refleksi. Prosesi itu dimulai dari kaki-kaki saya yang tampak kaku.
Sambil menikmati aksi urut mengurut itu, saya memulai perbincangan.
"Pak, sejak kapan kena polio?"
"loh... kok bapak tahu saya cacat saya ini karena polio?" sambil menatap saya heran.
"jarang loh pak yang bisa membedakan mana cacat polio, mana bawaan mana karena kecelakaan"
"oh... saya pernah menangani kampanye imunisasi polio, jadi saya paham betul"
"emang bapak dulunya enggak divaksinasi polio?"
"Aah, bapak , saya kelahiran 62 mana ada vaksinasi polio ketika itu..."
"sekarang penyandang cacat seperti saya ini susah pak sejak Ibu Tien tiada."
"Tidak ada yang perhatian lagi, bahkan markas kami di cempaka putih digusur oleh Probosutedjo dan mungkin sudah dijadikan apartemen."
"emang Bu Tien melakukan apa buat para penyandang cacat" tanya saya memancing
"Dulu ada yayasan tiara nusantara, Ibu Tien sebagai pembina di sana pak"
"Lalu?"
"Selain dilatih keterampilan kita juga sering disalurkan ke perusahaan-perusahaan sesuai ketrampilan kita. di Cempaka Putih itu bahkan kita dibuatkan pabrik gelas yang dikelola penyandang cacat pak"
"kalo kantor ypac yang di Hang Lekiu masih ada pak?"
"Loh, kok bapak tahu juga sih?"
"Oh.. iya saya tahu juga karena pembinanya atau ketuanya gitu Ibu Rian Wanandi pernah meminta bantuan saya untuk beberapa pekerjaan"
"Iya, saya jebolan ypac juga pak, sekarang namanya ypoc... yayasan penyadang orang cacat, kan yang cacat bukan anak-anak saja"
"Sekarang ypoc fokusnya ke yang cacat mental pak"
"masa sih?"
"Iya pak bener"
"jadi banyak anggota dpr sama pejabat dong yang masuk ypoc?"
"maksud bapak" tanyanya heran.
"kan banyak anggota dpr sama pejabat yang cacat mental..."
"oh bukan pak"
"maksudnya anak cacat karena keterbelakangan mental" saya sambil tersenyum getir.
"emang sekarang ibu negara ga ngurus penyandang cacat lagi?" tanya saya
"boro-boro pak... pokoknya sejak bu Tien tidak ada tidak ada lagi yang peduli sama kita-kita lagi"
"Ngomong-ngomong bapak tahu ga ibu negara sekarang?"
"yah tahu lah pak, ibu ani kan pak?'
"iya"
saya kemudian terdiam, hampir tertidur karena pijatannya yang memang enak banget. Dan ia pun serius dan tekun memijat syaraf-syaraf kaki saya.
Dalam peraturan ketenagakerjaan kita sebenarnya ada hak penyandang cacat itu untuk bekerja di perusahaan-perusahaan. Banyak juga sih perusahaan-perusahaan yang sudah memenuhi peraturan ini termasuk perusahaan dimana saya bekerja saat ini walau untuk kantor di Jakarta belum.
Ah, seandainya saja tiap perusahaan dapat menampung mereka walau ketrampilan mereka cuma memijat, saya rasa masalah mereka sudah cukup tertangani. Loh... piye kok memijat bisa ditampung di perusahaan? Saya rasa memang bisa, karena karyawan akan terbantu, kalo saja tiap hari dipijat setidaknya 15 menit... karyawan akan segar kembali dan pasti lebih produktif.
Kadang saya memang menempatkan diri sebagai penyandang cacat, betapa susahnya hidup mereka mulai dari steriotipe bahwa cacat adalah kutukan tuhan, aksesibiltas tempat umum yang tidak ramah hingga diskriminasi.