1908-1928
Muncul berbagai organisasi yang mengedepankan pemuda sebagai penggerak utamanya. Ada Jong Java sebagai representasi pemuda Jawa, Jong Sumatranen Bond yang diisi oleh pemuda-pemuda asal Suamatera, Jong Ambon sebagai perhimpunan pemuda Ambon, dan masih banyak lagi organisasi-organisasi pemuda lainnya. Saat itu, semangat pergerakan sudah begitu terasa, berkecamuk di jiwa masing-masing pemuda. Namun apa lacur, pergerakan-pergerakan tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan. Pasalnya, organisasi pemuda itu berjuang sendiri-sendiri, atas nama kelompoknya, atas nama daerahnya.
Oktober 1928
Sebuah kongres kepemudaan kembali diadakan. Kongres itu tak lagi berbicara tentang agenda kegiatan pada segi-segi sosial, ekonomi, maupun budaya.Lebih dari itu, Kongres Pemuda II merupakan sebuah momentum persatuan yang berhasil dibangun oleh para pemuda Indonesia. Para pemuda saat itu, bersepakat untuk mengesampingkan kelompoknya, golongannya, dan segala unsur kedaerahan yang ada. Ya, para pemuda itu dengan bulat mengamini sebuah ikrar yang menjunjung tinggi persatuan, menjunjung tinggi Indonesia. Menyepakati bahwa yang ada hanyalah Tanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia.
Akhir 1965 dan Awal 1966
Pergerakan pemuda terus berlanjut. Kali ini bukan penjajah yang menjadi musuh utamanya, melainkan pemimpin-pemimpin dari generasi tua yang mengarah pada sikap korup. Sayangnya, pemuda yang diwakili oleh para mahasiswa tak lagi murni bergerak atas nama perjuangan. Friksi-friksi sungguh jelas terjadi. Pemuda memisahkan diri menurut agama, ormas dan golongannya. Mengedepankan kepentingan kelompok, ormas, dan rekan seideologi.
Lamban laun, situasi semakin mendesak. Organisasi-organisasi mahasiswa terdorong menggabungkan diri pada Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau yang disebut sebagai KAMI. Mereka tak segan turun ke jalan, menyuarakan tiga tututan. Mendesak sebuah revolusi untuk hadir di tengah negeri yang tengah kacau ini.
Mei 1998
Mahasiswa lagi-lagi melakukan pergerakan. Mendesak rezim berkuasa untuk lengser keprabon. Alasannya? Jelas karena Orde Baru ternyata tak kalah korup dari rezim sebelumnya. Mahasiswa bersatu padu menguatkan barisan, menuntut pemimpin selama 32 tahun untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Reformasi memang berhasil dihadirkan, namun tragedi tak bisa serta merta dihindari. Jiwa-jiwa pemuda yang tak bersalah menjadi korbannya. Ya, jiwa-jiwa pemuda yang menuntut sebuah reformasi dari sebuah sistem yang korup disana-sini.
Hari Ini
Aku berpendapat bahwa ada dua golongan besar mahasiswa yang ada pada saat ini.
Yang pertama adalah golongan yang apatis, tidak peduli, dan tidak menganggap pergerakan sebagai sesuatu yang penting untuk dilakukan dalam era reformasi. Biasanya, mereka menganggap politik sebagai sesuatu yang hina dan kotor. Ya, pemikiran ini menjadikan mahasiswa alergi untuk bersentuhan dengan unsur-unsur politik. Jangankan untuk bersentuhan, untuk memahami atau sekadar tahu saja adalah sebuah kemustahilan.
Golongan yang lain diwakili oleh mahasiswa penggiat aksi. Mereka sangat gemar turun ke jalan, menyuarakan pendapat walau entah pendapat siapa yang mereka suarakan. Aku bisa saja memiliki prasangka buruk bahwa aksi-aksi yang ada selama ini ditunggangi oleh berbagai macam kepentingan. Bahwa lembaga-lembaga mahasiswa yang ada sudah disusupi oleh berbagai kepentingan kelompok dan golongan, adalah satu lagi fakta yang tak bisa terelakkan.
Epilog
Hari ini, tepat 85 tahun Sumpah Pemuda bergulir dan semangat-semangat pemuda yang menjunjung persatuan agaknya mulai memudar. Pemuda kini kembali terbagi atas nama kelompok dan golongan. Ya, faksi-faksi yang dahulu muncul bukannya semakin menghilang justru malah semakin gencar geliatnya. Merasuk ke dalam jiwa-jiwa pemuda atas nama ideologi. Ya, ideologi katanya.
Kita, pemuda, telah menempuh jalan panjang untuk bersepakat bahwa kita adalah satu: Indonesia. Telah mengesampingkan setiap unsur kelompok, golongan, maupun kedaeraahn untuk menjujung tanah air yang satu: Indonesia. Telah melakukan perjuangan panjang yang diiringi dengan pengorbanan yang tak kalah besarnya demi bangsa yang satu: Indonesia. Tetapi kini, agaknya kita harus kembali mengulang perjalanan panjang itu. Mahasiwa yang dianggap sebagai provokator persatuan, kini justru sibuk dengan urusan kelompok dan golongannya masing-masing. Sibuk mementingkan kelompoknya, golongannya, dan rekan seideologinya. Kenyataan-kenyataan ini membuat kita harus rela menelan pil pahit bahwa kita pemuda, telah kembali seperti zaman terdahulu. Ya, pergerakan pemuda kembali pada titik awal: zero point zero.
“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.” —Soe Hok Gie
Tulisan ini juga dapat dilihat di:
http://pritaramadiani.blogspot.com/2013/10/kembalinya-pergerakan-pemuda-pada-titik.html
@pritaramadiani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H