Mohon tunggu...
Prita Ramadiani
Prita Ramadiani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Urban and Regional Planning Diponegoro University| I'm a writer, not a planner (yet)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Karena Kita Harus Tahu Mereka Tahu dan Karena Mereka Harus Tahu Kita Tahu

9 Mei 2014   14:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:41 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu, saat teman-temannya sibuk menerima tawaran kursi parlemen atau jadi kaya mendadak, Soe Hok Gie mengungkapkan kegundahan hatinya dengan lantang bahwa, “mereka bukan lagi mahasiswa yang berpolitik, tetapi poitisi yang punya kartu mahasiswa.” Aku rasa hal itu ada benarnya juga. Bahwa mahasiswa telah kebablasan dalam berpolitik, sungguh nyata terlihat saat itu, saat ini, dan tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang.

Tolong jangan mencapku sebagai orang yang anti terhadap organisasi atau golongan tertentu. Bahwa orang-orang yang tergabung dalam golongan-golongan itu mengisi kegiatannya untuk mencari ilmu, pengalaman, dan tambahan kenalan, it’s ok. It’s totally ok. Tetapi jika pihak-pihak tersebut mulai mengarahkannya kepada hal yang lain, yang disebut sebagai “kebablasan”, agaknya kita perlu waspada. Kader? Kader seperti apa yang kau maksud, kawan? Aku mungkin terlalu bodoh untuk memahaminya. Sungguh, kau boleh mengejekku untuk hal itu. Sungguh!

Agaknya kita perlu tengok kembali konsepsi Soe Hok Gie yang terangkum dalam buku hariannya, yang 14 tahun setelah ia meninggal justru baru diterbitkan. Salah satu bagian paling menarik (setidaknya menurutku pribadi) dari buku berjudul “Catatan Seorang Demonstran” tersebut memaparkan pemikirian Soe mengenai posisi mahasiswa. Begini kira-kira bunyi ungkapan itu:

Aku ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.

Jelas! Sungguh jelas!

Aku jadi teringat dengan ungkapan George Bernard Shaw, yang di suatu kesempatan dipahami agak berbeda oleh seorang doktor ilmu politik lulusan Amerika. Shaw, yang meraih nobel pada tahun 1925 berujar bahwa "Siapapun yang tidak komunis di usia 20-an adalah bodoh. Siapapun yang tetap komunis di usia 30-an adalah lebih bodoh lagi". Ia berkata mengenai komunisme sebagai bentuk paling ekstrim dari sosialis atau yang biasa kita sebut sebagai “kiri”. Tenang saja kawan, jangan terlalu anti dengan mahzab ini. Sesungguhnya, ia tidak mengajarkan kita untuk menjadi kafir tetapi mengarahakan kita untuk berpikir. Berpikir bahwa kepentingan masyarakat luas harus selalu didahulukan ketimbang kepentingan sebagian golongan. Sama halnya dengan yang diungkapkan Soe sebelumnya. Mahasiswa sebagai kaum intelegensia adalah pihak yang memiliki kapasitas untuk itu. Mahasiswa pada dasarnya jauh  lebih tidak memiliki kepentingan dibandingkan dengan elemen masyarakat lainnya yang sudah habis digerogoti kemunafikan.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya, apakah yang berpolitik disini hanyalah mahasiswa? Bahwa ada elemen-elemen yang lebih paham, lebih mengerti, dan lebih-lebih lainnya disamping mahasiswa, memang nyata adanya. Jika pergerakan yang ada ditujukan semata-mata untuk kebaikan tentu tidak jadi masalah. Tapi apakah benar hal itu yang menjadi tujuannya? Agaknya kita harus memperhatikannya sekali lagi. Pergerakan? Pergerakan seperti apa yang kau maksud kawan? Yang marak saat ini adalah politik yang hanya diasosiasikan sebagai ajang cari kekuasaan, cari posisi. Bahwa politik juga merupakan alat untuk mengorganisasi masyarakat agar memiliki tujuan yang sama berupa kebaikan, ah apa juga pentingnya! Pemikiran seperti inilah yang nyata-nyata keliru namun merasuk di alam bawah sadar banyak orang. Hingga banyak yang tidak mengerti (bukan tidak peduli) selalu saja diarahkan, menjadi boneka, dan tidak dapat berdiri diatas kakinya sendiri, Sendiri!

“Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas disegala arus-arus masyarakat yang kacau, seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanannya. Lalu hiduplah dengan keyakinan teguh…” (Soe Hok Gie)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun