Mohon tunggu...
Prita Djokonugroho
Prita Djokonugroho Mohon Tunggu... -

Virtus, Intelligantia, Robus

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Silver Linings Playbook - There's No Such Thing as Ordinary

10 April 2013   07:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:26 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pada dasarnya, ada banyak alasan untuk menonton film yang diadaptasi dari novel karya Matthew Quick dengan judul The Silver Linnings Playbook ini. Sebut saja deretan pemainnya; sang sexiest man alive 2011 versi People magazine; Bradley Cooper, Jennifer Lawrence yang makin bersinar setelah The Hunger Games, juga Robert DeNiro dan Jacki Weaver – para pelakon lama yang membuat kita berharap mendapatkan suguhan permainan watak kelas satu. Nama besar David Russell, sang sutradara yang juga telah sukses menggarap film sekaliber The Fighter pun rasanya menjadi suatu jaminan mutu. Sampai mungkin, kebiasaan “award-minded” yang bisa bikin Anda penasaran untuk membuktikan sendiri kualitas film ini.

Nah, setelah menontonnya sendiri, saya bisa menambahkan satu alasan lain yang cukup simpel untuk merekomendasikan Silver Linings Playbook sebagai film yang layak Anda tonton; film ini merupakan sebuah romantic comedy yang cerdas, dan (dengan kondisi kejiwaan para tokohnya) surprisingly, menyenangkan!

Selamat datang di kehidupan Pat (Bradley Cooper), yang selama hidupnya tak pernah sadar bahwa dia menderita bipolar, sampai ketidakstabilan mental itu mencapai klimaks sewaktu dia menangkap basah istrinya selingkuh dengan teman kerjanya – di rumah mereka sendiri! Boom! Kejadian itu membuat Pat hilang kendali, hingga akhirnya, dia harus menjadi pasien di rumah sakit jiwa selama delapan bulan, plus restraining order yang melarangnya untuk menghubungi istrinya, maupun berkeliaran di sekitarnya.

Di dalam pusat rehabilitasi itu, Pat mendapat suatu pegangan hidup baru berupa “semboyan” excelsior; dia selalu berusaha menarik silver linings (hikmah atau sisi positif) dalam hidup, sehingga dapat menjadi orang yang selalu berpikiran sehat dan terbuka. Tekadnya sudah bulat; menjadi pribadi baru yang stabil, untuk kemudian meraih tujuan utamanya – mendapatkan kembali istri yang begitu dicintainya.

Berkat usaha dari sang ibu (Jacki Weaver), Pat akhirnya berhasil keluar dan kembali ke rumah orang tuanya. Dengan mindset barunya, Pat pun kembali berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya; sang ayah (Robert DeNiro) dengan bermacam obsesi, mitos, dan taruhan football-nya, sang ibu dengan kesabaran dan kebesaran hatinya, sang kakak dengan segala kesuksesannya, sang sahabat yang sedang ragu dengan kondisi rumah tangganya, sampai perjuangan batinnya sendiri untuk tidak melanggar restraining order dan menghubungi istrinya.

Alur cerita kian “ajaib” seiring perkenalan Pat dengan Tiffany (Jennifer Lawrence), adik istri sahabatnya, yang setelah kematian sang suami menjadi seorang sex addict dan menyalurkan kesedihannya dengan bercinta dengan semua orang di kantornya!

Satu perjanjian disepakati oleh Pat dan Tiffany; Tiffany akan menyampaikan surat Pat untuk istrinya tanpa mengadu pada siapapun, jika Pat mau menjadi partner dansanya untuk berlomba di suatu kompetisi. Dan dari situlah, segala “kegilaan” mengalir sampai pada klimaks di mana (seperti halnya hampir setiap film dengan genre ini) sang tokoh utama mesti menentukan siapa cinta sejatinya...

Buat saya, yang membuat film ini benar-benar “gila” (dalam artian positif!) adalah kemampuannya untuk mengemas kehidupan penderita mental illness dalam balutan komedi yang luar biasa cerdas. Mengapa luar biasa? Karena salah sedikit saja, bisa-bisa film ini justru akan dihujat habis-habisan. Bayangkan, menjadikan para penderita mental illness sebagai bahan tertawaan? That’s not good at all. Tapi itulah hebatnya! Film ini tidak membuat kita merasa menjadikan para karakternya sebagai objek (walaupun mungkin karena terlalu tingginya kesadaran saya, kadang saya masih merasa sedikit bersalah setelah tertawa). Tapi yang lebih membekas adalah perasaan melebur dalam kehidupan mereka, sehingga setiap karakter terasa layaknya sahabat-sahabat tersayang di sekitar kita. Dan sayapun terpesona! Tidak sekalipun saya merasa kasihan, saya justru jatuh cinta. Setiap karakternya begitu riil, begitu manusiawi, tanpa ada dramatisasi berlebih terhadap kondisi mental sang tokoh utama. Bradley Cooper membawakan karakter Pat dengan kesederhanaan yang begitu pas, sama halnya dengan setiap karakter lain di sekitarnya. Benar-benar tidak ada yang kurang, dan terlebih lagi, tak ada yang berlebihan.

Karenanya, sayapun tertawa lepas melihat setiap adegan jogging Pat dan Tiffany yang menggelikan sekaligus menyenangkan itu, tersenyum tulus sekaligus getir mendengar segala percakapan “ajaib” mereka yang mengalir seolah tanpa filter, tersentuh dan merasa sayang pada sang ibu yang dengan begitu polos sekaligus hebat dan kuatnya mampu bertahan di tengah segala “kekacauan” dalam rumahnya, sampai hampir menangis; bukan saat akhir romantis (yang sudah bisa ditebak!) itu disajikan, melainkan saat sang ayah “membuka diri” pada Pat dengan mengakui bahwa segala obsesi berlebih pada tim football kesayangannya merupakan satu-satunya hal yang membuat dia merasa bisa mendekatkan diri pada anak bungsunya itu – yang mana dia memang sangat merindukan kedekatan itu. (Robert DeNiro melakukannya dengan sempurna! Buat saya, dia berhasil mengingatkan saya bahwa dia memang luar biasa). Lalu akhirnya, hati saya ikut merasa hangat karena kehangatan dari kebersamaan keluarga luar biasa ini, yang ditampilkan di akhir cerita.

Satu-satunya yang terasa klise buat saya adalah jalan cerita dan, tentu saja, ending-nya. (Mungkin ini akan berbeda dengan saat membaca novelnya, yang mana saya tak bisa berkomentar karena memang belum pernah membacanya). As I say before, jalan cerita plus ending film ini memang begitu mudah ditebak hingga (sekali lagi; buat saya!) terlalu klise. Tapi yang pasti, bahkan hal itupun sama sekali bukan alasan untuk melewatkan film ini. Karena pengemasan “ke-klise-an” itu sangatlah luar biasa! Dan yang terutama, bravo for the great acting ensemble!

P.S.: It’s good to always look for your silver linings in life, it will keep your mind open, and then, make you survive!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun