Ternyata generasi itu dikelompokkan. Dua kakak saya kelahiran 1962 dan 1964 termasuk generasi baby boomers (lahir 1946-1964), sedangkan saya dan istri masuk kelompok generasi X (lahir 1965-1980), dan ketika masih ditingkat dua IKIP Semarang mulai merintis menjadi guru di beberapa SMP dan SMA swasta yang saya hadapi masih generasi X karena murid SMP mulai kelahiran 1973 dan murid SMA kelahiran 1970. Ketika mulai bertugas menjadi guru negeri tahun 1995 sampai 2005 di kecamatan Rembang kabupaten Purbalingga, saya menghadapi generasi Y (lahir 1981-1994).
Pola belajar generasi baby boomers, generasi X yang menjadi pengalaman masa kecil, tidak beda jauh dengan cara belajar generasi X maupun generasi Y yang saya ajar, karena belum ada booming era cyber atau era digital. Di mata umumpun mereka menekuni jenjang belajar sampai bekerja berkesan selamat dan tidak aneh.
Setelah pindah lagi ke Semarang tahun 2006 sampai sekarang saya dihadapkan pada generasi Z (lahir 1994-2004). Generasi ini sejak lahirnya dipenuhi dengan era digital yang unik, aneh, dan penuh tantangan. Berbagai peralatan super canggih, khususnya handphone, komputer, internet, play station/PS, iPot, iPat, home theatre, TV layar lebar, dll secara tidak langsung telah merubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Mengajar generasi ini sangat aneh motivasinya dan perlu kiat-kiat khusus.
Generasi Z, yang sekarang sudah berusia ABG, remaja dan pra-dewasa, dalam banyak hal berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, yakni anak-anak generasi Z ini menunjukkan ciri-ciri di antaranya memiliki kemampuan tinggi dalam mengakses dan mengakomodasi informasi sehingga mereka mendapatkan kesempatan lebih banyak dan terbuka untuk mengembangkan dirinya. Secara umum, generasi Z ini merupakan generasi yang banyak mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi, bermain, dan bersosialisasi.
Para ahli sebagian menamakan generasi Z sebagai generasi digital, ada pula yang memberikan terminologi lain, seperti net generation, naturally gadget generation, platinum generation, dan silent generation, dan diperkirakan akan terjadi booming Generasi Z sekitar tahun 2020, di mana aktivitas-aktivitas generasi Z ini sangat mengandalkan alat berformat digital.
Disamping dampak positifnya, ketergantungan berlebihan terhadap peralatan canggih secara otomatis juga akan membawa dampak negatif bagi mereka, antara lain: anak cenderung berkurang dalam komunikasi secara verbal, cenderung bersikap egosentris dan individualis, cenderung menginginkan hasil yang serba cepat, serba-instan, dan serba-mudah, tidak sabaran, dan tidak menghargai proses. Kecerdasan Intelektual (IQ) mereka mungkin akan berkembang baik, tetapi kecerdasan Emotional Intelligence (EQ) mereka akan menjadi tumpul.
Maka, yang paling penting dilakukan sekarang, khususnya oleh orang tua dan guru (tenaga pendidik), adalah mendampingi dan memberikan pengertian yang benar mengenai peralatan itu  dan cara memanfaatkannya dengan benar.
Beberapa kiat yang dapat diterapkan oleh orang tua dan guru agar tidak salah langkah dalam mendidik anak generasi Z, antara lain:
Pertama, mendekati anak lewat peralatan digital, dengan langkah ini, orangtua atau guru menjadi setara dengan si anak dan nyambung dengan kemampuan si anak.
Kedua, memberikan keseimbangan perkembangan otak kepada anak. Menurut para ahli aneka peralatan digital hanya akan membuat salah satu sisi otak manusia yang terstimulasi. Padahal seharusnya kedua belahan otak, baik belahan otak kanan maupun kiri distimulasi secara seimbang. Cara menyeimbangkannya antara lain dengan melibatkan anak-anak dalam kegiatan seni, seperti melukis, menari, musik dan lain sebagainya.
Ketiga, menumbuhkan kebersamaan si anak dalam keluarga. Kita tidak boleh membiarkan anak berlarut-larut dalam kesendirian dan terlalu akrab dengan peralatan digital nya. Oleh karena itu orang tua harus menciptakan suasana yang hangat dalam keluarga sehingga anak menjadi pribadi yang peduli, dan senang bersosialisasi dengan orang lain.