Kita harus menerima fakta bahwa menikahkan korban kekerasan seksual dengan pelaku demi alasan untuk menjaga kehormatan agar tidak menjadi "aib" bagi keluarga telah menjadi budaya di berbagai daerah. Stigma ini merupakan isu sensitif dan kompleks yang melibatkan berbagai aspek, seperti hukum, psikologis, sosial, dan budaya. Tindakan dan pemikiran yang tidak etis ini juga telah melanggar hak asasi manusia. Persepsi individu yang menyetujui hal ini seperti mengabaikan realitas yang dirasakan korban serta menjadi praktik yang melanggengkan ketidakadilan bagi korban.
Kekerasan seksual merupakan tidakan yang ekstrem, seperti pemaksaan atau penggunaan kekerasan fisik, psikologis, atau emosional untuk melakukan tindakan seksual terhadap korban. Kekerasan seksual mencakup pemerkosaan, pemaksaan hubungan seksual, serta ancaman kejahatan yang berbau seksual. Intinya yang disebut tindakan kekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak disetujui oleh kedua belah pihak dan tindakan merugikan sebelah pihak. Adanya pemaksaan dalam tindakan ini menimbulkan trauma baik psikologis maupun fisik pada korban.
Menurut Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual meningkat setiap tahunnya, dengan ribuan korban yang memerlukan bantuan fisik, psikologis, dan hukum. Namun, mirisnya beberapa korban bukannya menerima bantuan tetapi malah dipaksa untuk menikahi pelaku yang menjadi sumber traumanya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Judical Research Society (IJRS) yang bekerja sama dengan International NGO Forum on Indonesian Decelopment (INFID) menunjukkan hasil bahwa 60% dari korban kekerasan seksual tidak mendapatkan bantuan atas kasus yang mereka alami, 39.9% korban berdamai dengan penyelesaian menggunakan uang, dan 26.2% lainnya diselesaikan dengan pernikahan. Tindakan jahat ini telah merenggut hak asasi korban untuk hidup bebas dari ancaman dan trauma yang diterimanya akibat kekerasan seksual. Menikahkan korban hanya akan memperpanjang trauma yang dirasakannya karena terpaksa tinggal bersama orang yang telah menyakitinya.
Menurut Vice Indonesia, tindakan menikahkan korban kekerasan seksual dengan pelaku, seringkali mengatasnamakan "keadilan restoratif", yang mana didefinisikan sebagai pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban dan pelaku dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan untuk kedua pihak. Namun, nyatanya persepsi ini telah salah dipahami oleh banyak orang. Bukannya membantu korban, tindakan ini malahan seolah memaksa korban untuk memaafkan tindakan pelaku kekerasan seksual dan menghilangkan hak korban pada keadilan.
Meningkatkan edukasi masyarakat dapat menjadi langkah konkret yang dapat kita lakukan bersama. Memberikan pemahaman bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan kejahatan yang tidak diinginkan korban dan memiliki pengaruh jangka panjang negatif terhadap psikologis korban. Perlunya peraturan dan hukum yang lebih kuat dalam mendukung dan memberikan bantuan pada korban. Pelaku harus diberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya yang telah merusak masa depan sebuah individu. Bertanggung jawab di peradilan, bukannya menyembunyikan kesalahannya di balik pernikahan.
Menikahkan korban dengan pelaku kekerasan seksual bukanlah sebuah solusi, melainkan penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Sudah saatnya masyarakat melihat lebih dalam mengenai apa yang dirasakan korban. Hilangkan stigma yang malah memberatkan korban yang tidak bersalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H