Pernah sekali waktu kala memasuki fasilitas transportasi kereta api di daerah Gambir Jakarta, penulis ikut antrian entry pengenalan wajah. Ini kali kedua setelah pertama kali penulis mendaftarkan wajahnya di smart gate salah satu objek vital nasional. Turun di Stasiun Semarang dan keluar melalui titik penjemputan, penulis membuka aplikasi salah satu ojek online lalu bergegas menyusuri kota menuju penginapan. Terlihat banyak titik strategis di jalanan yang dipasangi kamera CCTV pengawas lalu lintas dalam memantau pelanggar rambu atau batas kecepatan. Apa yang saya ceritakan barusan keliatan biasa aja bukan? Anda akan menjawab "ya" jika itu sudah menjadi pengalaman sehari-hari yang praktis tak jadi atensi. Namun ini wonderful bagi penulis yang berstatus penimba ilmu di Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang sedang memecut otak menemukan inspirasi topik penelitian (thesis) di bidang Rekayasa Energi Terbarukan. Siang hari yang terik itu, saya menonton sebuah "Sang Fenomena" sedang menunjukkan prestasi.
Dikutip Laman [aptika.kominfo.go.id], dekade 2000-an ini masyarakat telah tiba pada Tahap Industri ke-empat (Industry 4.0). Dimana ada lima teknologi yang menjadi pilar Utama progresi industry yakni: Internet of Things (Internet Benda-benda), Big Data (Mega Data), Cloud Computing (Komputasi Awan), Additive Manufacturing dan yang terakhir adalah apa yang penulis deksripsikan sebagai "Sang Fenomena" yaitu Artifisial Intelligence a.k.a Kecerdasan Buatan. Akhir tahun 2010-an adalah milestone yang signifikan ketika ditandai masifnya proses bisnis perusahaan yang bertumpu pada cloud computing, cognitive computing, mengandalkan mega-data dan semua serba membutuhkan internet. AI atau Kecerdasan Buatan adalah pengumpan yang baik bagi aspek Industri 4.0 lain untuk bekerja secara efektif karena dia bak prosesor yang memungkinkan sistem kita berjalan otomatis dan pintar. Layaknya setiap gagasan yang bersifat "baru", tak jarang orang mengalami metathesiophobia terhadapnya. Kendatipun begitu Kecerdasan Buatan wajib kita kuasai atau paling tidak, ya, kita pelajari.
Visual Recognition. Visual artinya yang diindera secara optik & ditangkap dengan sensor kamera baik menangkap Wajah (Facial Recognition), Objek (Object Detection), atau Tulisan (Text Detection). Teknologi ini memampukan computer mengenali dan memahami objek, kondisi, dan aktivitas dalam gambar maupun video layaknya mata bagi kepala manusia. Meluasnya aspek ini bahkan masuk ke bidang Autonomous Vehicle, Layanan Kesehatan, Penjualan dan Pemasaran, Keamanan dan Pertahanan, Robotika, Agrikultur dan lain sebagainya. Biar tidak melebar, kita kembali ke cerita awal artikel perihal Implementasi Facial Recognition di bidang keamanan (Security & Surveillance). Sistem Gerbang Otomatis berbasis Kenal-Wajah sudah lama digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti PT. PLN (Persero), ada juga Automatic-Vehicle yang mampu menyetir sendiri mengikuti programmed-path seperti di kampus ITS. Jangan lupa mungkin anda punya ponsel dengan wewenang akses berbasis wajah user atau pernah menonton Iron Man dengan JARVIS-nya yang "mengucap salam" setiap kali Tony Stark masuk ruang lab?
Kali ini kita bicarakan salah satu applied AI yang lazim;Memahami Kecerdasan Buatan itu sama saja seperti menitip cara berpikir manusia kedalam suatu device yang dibekali perangkat input dan output untuk menghasilkan hasil yang diharapkan. Untuk mengawinkan cara berpikir manusia kedalam mesin digunakanlah Algoritma (tentu pada akhirnya harus dijembatani oleh Bahasa program). Seymour Lipschutz dan Marc Lipson, dua pakar matematika dan computer mendefinisikan algoritma sebagai langkah demi langkah yang finite (terhingga) dibentuk oleh sekumpulan instruksi yang didefinisikan secara jelas dan dirancang untuk memecahkan masalah. Algoritma di dunia Kecerdasan Buatan sungguh bervariasi, terbentang mulai dari Fuzzy Logic, Bee Colony, Swarm Optimazion, Neural Network, Harris Hawk, Genetic Algorithm dan lain-lain. Spesifik untuk pengolahan citra gambar dan video dalam Visual Recognition terdapat suatu sub-kelas Neural Network yang disebut Convolutioned Neural Network-suatu algoritma yang bersaudara dekat dengan Recurrent Neural Network (RNN) yang ideal untuk analisis teks dan percakapan.
Dalam pengembangannya suatu sistem ber-artifisial intelligence, mesin dilatih memahami dataset yang diberikan sebagai bahan belajar (training). Algoritma dilatih menggunakan Deep Learning Machine yang tersedia di platform developer penulisan program seperti VS Code atau Google Collab. Penulis pernah menggunakan YOLO dari Roboflow untuk menyiapkan database gambar yang sudah ditraining agar siap dicerna oleh program. YOLO (You Only Look One) adalah model deep learning berbasis CNN yang dikembangkan oleh Ultralytic yang prinsip kerjanya mengenali objek berdasarkan bounding box atau frame/bingkai dalam gambar. Training dilakukan dengan memberikan multisampel dari satu objek dengan beragam instances. Semisal untuk mengenali wajah satu orang, kita butuh menginput paling tidak belasan gambar orang yang sama dengan pose berbeda. Tujuan training ini semata-mata untuk membiasakan algoritma agar mampu mengenali suatu objek dan membedakannya dengan sampel lain sehingga meskipun objeknya digeser, diubah-ubah, atau dimodifikasi dari bentuk semula sistem masih menghasilkan pengenalan yang akurat.
Output yang di-display dari suatu pengenalan wajah bersifat unik dan spesifik. Seketika setelah menangkap citra gambar, program lalu menginstrusikan algoritma CNN pada YOLO untuk mencocokkan, sistem kemudian menampilkan bounding box dengan label persentasi tingkat keyakinan tertentu bergantung kejelasan tangkapan kamera. Faktor ini dependen terhadap pose dan lighting quality dan bermuara pada keberhasilan prediksi. Gambar berikut menunjukkan output display pengenalan wajah dengan label akurasi tercantum di sudut kanan atas.
kecerdasan buatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Berbicara tentang perubahan selanjutnya terbersit pertanyaan; apakah kita mampu mengimbangi perkembangan jaman dan melampauinya atau; malah tergerus dan memilih berlindung dibalik rasa enggan dan utopia inferioritas?.
Implementasi AI terasa sangat membantu kecepatan pekerjaan termasuk yang membutuhkan repetisi dan kompleks. Fungsionalitas AI yang serbabisa dan serbaguna dapat diberdayakan untuk menopang hampir semua lini kehidupan manusia modern. Melihat hal ini dalam agenda besar Indonesia Emas 2045, penulis memandang Artifisial Intelligence dapat dimanfaatkan untuk mencerdaskan bangsa asal digunakan dengan baik. Masih banyak opportunity dan space yang tersedia jika manusia mau mengembangkanSaya rasa kita bangga untuk sama-sama memilih yang pertama.
Andika SAM_ Mhsw REB ITS 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H