Nothing endures but changes, tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Cara berpikir manusia kini telah banyak berubah. Hal ini dirasakan betul pada saat membaca buku. Ketika dulu begitu mudahnya tenggelam dalam buku atau artikel panjang, kini konsentrasi mulai hilang setelah membaca satu atau dua halaman. Sering kali kita kehilangan fokus, gelisah, dan mulai mencari-cari aktivitas lain. Tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa kini kita masuk dalam generasi web 2.0.
Beberapa tahun terakhir ini media online menunjukkan eksistensinya. Banyak orang menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer, laptop, atau memanfaatkan fasilitas smartphone, mobile web, tablet PC, dan perangkat teknologi lainnya. Mulai dari mengirim email, membayar tagihan, berbelanja, menulis di blog, membaca e-book, meng-update Facebook atau Twitter, menonton video, mengunduh musik, atau sekadar melihat-lihat dari satu link ke link lainnya. Berbagai kemudahan yang ditawarkan melalui media online tersebut akhirnya membuat kebanyakan orang saat ini tak lagi kuat membaca teks-teks panjang. Kualitas pikirannya telah menjadi staccato, yang mencerminkan caranya melihat dengan cepat potongan teks pendek dari pelbagai sumber online (Carr. 2011). Bahkan saat ini semua media konvensional seperti koran, radio, televisi, memiliki versi online yang memudahkan audience untuk mengaksesnya.
Internet yang disebut sebagai new media memiki sifat interaktif dan memberikan kebebasan bagi penggunanya untuk menjadi audience aktif. Kelebihannya sebagai multimedia capability di mana bisa menampilkan teks, audio, video juga membantu kebanyakan orang saat ini yang cenderung berpikir praktis. Pengaturan dasar dari internet dan penggunaannya mengarah pada efek perpecahan sosial, namun di sisi lain internet membuka jalan untuk berhubungan serta jaringan tidak langsung yang menyatu dengan cara berbeda (Slevin, 2000 dalam McQuail. 2011:154). Dampak positifnya tentu saja memberikan kemudahan bagi tiap orang untuk mencari informasi. Namun sisi negatifnya dapat mengubah gaya hidup di masyarakat sehingga justru menimbulkan sikap malas.
Koran sebagai salah satu media cetak pun kini tersedia dalam bentuk e-paper. Kelemahannya yang tidak aktual karena harus menunggu hingga keesokan harinya, akhirnya didukung dengan informasi yang disajikan melalui media online. Bila dibandingkan dengan media online tentu media cetak membutuhkan lebih banyak biaya produksi. Kertas-kertas yang digunakan, peralatan, dan proses berita yang masuk hingga disajikan menghabiskan waktu yang tidak sebentar. Berbeda dengan sistem kerja di media online yang lebih ringkas dan singkat karena mengutamakan kecepatan.
Di banyak kota di Amerika Serikat, media cetak lokal selalu dibagikan secara gratis. Bahkan di beberapa kota besar, terdapat boks yang berisi berbagai edisi koran dan majalah di persimpangan yang dibagikan secara gratis kepada setiap orang yang melalui jalan tersebut. Pengecualian bagi koran yang memiliki tiras besar dan memiliki coverage area secara internasional seperti NY Times, kita tetap diwajibkan untuk membayar. Koran gratis sebenarnya telah lama ada sejak 1947 ketika Dean Lesher menerbitkan koran gratis Contra Costa Times di California, Amerika Serikat. Koran gratis juga muncul di Indonesia pada tahun 2007 bernama Bisnis Jakarta. Sebanyak 10 ribu eksemplar koran Bisnis Jakarta dibagikan gratis kepada penumpang kereta api ekspres Bogor – Jakarta setiap hari. Iklan menjadi modal utama bagi koran tersebut untuk tetap bertahan. Kebanyakan orang saat ini, lebih memilih untuk mengakses berita maupun informasi lainnya melalui smartphone, mobile web, atau tablet PC karena lebih cepat dan dan tidak perlu direpotkan untuk membuka halaman koran yang berukuran cukup besar. Tak berbeda jauh dengan media penyiaran seperti televisi atau radio. Televisi masih kalah cepat dalam update informasi bila dibandingkan dengan media online. Tak jarang pula televisi mendapatkan sumber berita dari media online. Bentuk konvergensi media pun juga dilakukan televisi dengan menyediakan fasilitas streaming melalui web yang tersedia. Bahkan pada web stasiun televisi swasta di Indonesia kini telah menyediakan penyimpanan program-program acara bagi audience yang tidak sempat menyaksikan di televisi secara langsung.
“ We went round with mobile phones and left our cameraman behind the car. We got some extraordinary pictures on our mobiles, just like the people of Iran have been doing,”
Mengutip kalimat John Simpson yang berprofesi sebagai BBC world affairs editor semakin menegaskan bahwa kini media online ternyata sangat membantu tugas jurnalis dalam mengumpulkan berita. Smartphone atau mobile web sebagai perangkat yang ringan dan mudah dibawa tentu sangat memudahkan tugas jurnalis dalam mengumpulkan fakta di lapangan. Kemudahan ini yang kemudian dimanfaatkan pula oleh masyarakat umum untuk turut berbagi informasi melalui media online, hingga muncul istilah citizen journalism. Akhirnya semua informasi kini pun dihadirkan melalui media online. Ibarat sebuah pertokoan, media online adalah toko serba ada yang menyediakan beragam kebutuhan akan informasi yang kita inginkan. Namun kembali lagi, tidak semua informasi itu bermanfaat bagi kita. Disebutkan oleh John Vernon Pavlik dalamNew Media Technology: Cultural and Commercial Perspectivesbahwa pencarian online bisa menghasilkan sejumlah besar informasi, tetapi pengetahuan yang dapat digunakan sedikit. Artinya di sini media online menawarkan berbagai macam informasi dengan jumlah tak terbatas, namun tidak semuanya benar-benar informatif dan bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.Seperti diungkapkan McLuhan (Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extension of Man, 1964), media bukan hanya saluran informasi tapi media menyediakan isi pikiran dan juga membentuk proses pikiran. Dalam hal ini batasan antara produsen, distributor, konsumen, dan pengamat dalam media online menjadi semakin kabur.
Melihat fenomena ini dapat kita lihat bahwa saat ini sedang terjadi revolusi dengan hadirnya generasi yang selalu menginginkan kemudahan saat mengakses informasi, semudah menekan tombol pada telepon selular. Tak perlu lagi menunggu loper koran yang tiap pagi datang ke rumah-rumah atau sekadar berjualan di perempatan lampu merah. Terdapat beberapa karakteristik kunci untuk membedakan media lama dengan media baru dari perspektif pengguna (McQuail. 2011:157) :
·Interaktivitas (interactivity): sebagaimana ditunjukkan raiso respons atau inisiatif dari sudut pandang pengguna terhadap sumber/pengirim
·Kehadiran sosial (sociability): kontak personal dengan orang lain dapat dimunculkan oleh penggunaan media
·Kekayaan media (media richness): jangkauan di mana media dapat menjembatani kerangka referensi yang berbeda
·Otonomi (autonomy): derajat di mana seorang pengguna merasakan kendali atas konten dan penggunaan
·Unsur bermain-main (playfullness): kegunaan untuk hiburan dan kesenangan
·Privasi (privacy): berhubungan dengan kegunaan media atau konten tertentu
·Personalisasi (personalization): derajat di mana konten dan penggunaan menjadi personal dan unik.
Perubahan gaya hidup karena adanya media online ini tentu juga berpengaruh terhadap cara berpikir kita. Media lama tak perlu khawatir akan eksistensinya dengan munculnya media baru yang kini tengah naik daun. Perubahan adalah suatu keniscayaan, maka hal terbaik untuk menghadapinya adalah dengan beradaptasi.
Referensi:
Carr, Nicholas. 2011. The Shallows – Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita. Mizan: Jakarta
John Vernon Pavlik. 1998. New Media Technology: Cultural and Commercial Perspectives. Allyn and Bacon
McQuail, Dennis. 2011. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Salemba Humanika
http://nasional.kompas.com/read/2010/06/03/11261350/Media.Baru.Bukan.Pembunuh.Media.Lama (akses 19 April 2012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H