Mohon tunggu...
Priska Puspita
Priska Puspita Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

perempuan dari kota kecil bernama "Jember"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Samar – Samar Suara Rakyat

9 Oktober 2014   17:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:44 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa pun pasti sudah mengetahui, Indonesia adalah negeri yang terdiri dari beberapa pulau – pulau, negeri dengan beragam suku, beragam bahasa, beragam adat dan kebudayaan tapi bisa menjadi satu kesatuan bernama Indonesia. Negeri yang membantang dari sabang dan merauke dengan lautan yang luas, gunung – gunung yang menjulang ke langit, hutan – hutan hijau, sawah petani yang luas serta banyak kekayaan lainnya. Pelajaran seperti itu sudah kita terima saat sekolah di bangku Sekolah Dasar saat mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Pada Mata Pelajaran kewarganegaraan atau PPKN (karena pada jaman saya sekolah begitu namanya) kita mendapatkan ilmu bagaiamana seorang warga negara yang hidup di negara dengan beranekaragam suku, agama dan kepercayaan harus saling bertenggang rasa,saling menghormati, gotong royong serta bermusyawarah dalam menyelesaikan permasalahan. Kira – kira apakah begitu pelajaran yang anda dapatkan ketika di bangku Sekolah Dasar ? Lalu apakah kita akan membahasnya? Tidak.! Saya tidak sedang mengajak anda para pembaca untuk membahas itu, hanya ingin mengingatkan kembali bahwa kita pernah menerima ilmu – ilmu luhur itu, dan bukankan kita tidak bertanggung jawab atas apa yang kita ketahui bila kita mengetahui keluhuran ilmunya tetapi tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari – hari ?.

Indonesia yang luas dengan pulau – pulaunya ini, dengan berbagai agama, ras, suku, kebudayaan dan kepercayaannya memiliki wakil – wakil rakyat yang di akui sebagai perantara rakyat menyampaikan aspirasinya. Coba kita ingat – ingat lagi pelajaran Sekolah Dasar kita, Indonesia terdiri dari 34 provinsi, 403 Kabupaten dan 98 Kota dengan jumlah yang demikian banyaknya, tidak mungkin rasanya seluruh penduduk di Indonesia duduk di kursi pemerintahan, karena itu ada wakil – wakil rakyat dari masing – masing daerah yang mewakili aspirasi rakyat di seluruh pelosok negeri, bukankah begitu logika sederhananya? Saya harap itu benar.

Sekarang sejauh mana para wakil rakyat itu mampu menyerap aspirasi? Bukan lagi dekat dengan kehidupan politik , para wakil rakyat tentunya sudah berada di dalam kehidupan politik, mereka berada pada panggung teratas kehipuna politik di negeri ini. Tentunya masyarakat kita di Indonesia ini tidak seluruhnya memahami kehidupan politik, memahami kepentingan – kepentingan di dalamnya, memahami pembagian – pembagian kekuasaan, tidak semua orang menaruh simpatik terhadap keidupan pemerintahan. Tidak bisa dipungkiri, ada stigma negatif ketika masyarakat ditanya tentang “politik”, tidak sedikit yang berpikir itu adalah hal kotor, menjeijikan, perebutan kekuasaan namun ada pua yang menganggapnya seksi, hobi atau sesuatu yang menarik dipelajari. Mestinya para wakil rakyat sudah memahami hal kecil semacam itu, tetapi tungu sebentar... sepertinya para wakil rakayat mulai melupakan hal kecil itu, bukankah demikian? Kenapa?

Kenapa? Mari kita lihat berita – berita di media massa, tidak perlu memutar waktu jauh kebelakang. Kita mulai ketika Pilpres, ramai sekali bukan? Partipasi masyarakat sangat besar, tetapi ketika hasil sudah disampaikan salah satu calon tidak bisa menerima dengan berbagai alasan kecurang yang ketika di bawa ke bangku persidangan bukti yang disampaikan ternyata tidak mampu membenarkan. Belum lagi ketika para dewan yang terhormat bersitegang mengenai pilkada langsung dan tidak langsung, ketika hak – hak rakyat untuk menentukan pemimpinnya secara langsung seolah ingin dirampas begitu saja dan diserahkan kepada para wakil rakyat yang belum tentu juga mewakili rakyat, Oh Tuhan... pendidikan politik macam apa lagi ini?. Kondisi demikian belum selesai, sebuah harapan besar kami gantungkan ketika para wakil kami masyarakat Indonesia dilantik dan disumpah, tapi ketika tidak semua mengucapkan dengan tegas dan lantang ada keraguan di hati kami dan ternyata benar, saat sidang paripurna berikutnya masyarakat disuguhkan kondisi yang panas dan membingungkan.

Kalaupun ini masih buntut dari Pilpres yang lalu, kalau pun didalamnya berebut posisi kursi, kalaupun kepentingan – kepentingan harus dipenuhi, ah..kami masyarakat awam kurang mempedulikan itu. Dari sini kami hanya melihat, panggung itu menyuguhkan perseteruan, menyuguhkan noda – noda dari etika para birokratnya. Kami disuguhkan oleh berita – berita kasus korupsi besar yang merugikan uang yang seharusnya untuk rakyat, disuguhkan kondisi sidang para wakil rakyat yang panas, entahlah...apakah para dewan yang menyebut dirinya wakil rakyat tidak takut kehilangan kepercayaan dari orang yang mempercayainya? Siapa itu? “Rakyat”.!!

Kehendak rakayat dan kepercayaaannya bukan tidak mungkin akan mengubah hal besar. Sejarah memberikan pelajaran bagaimana sebuah rezim bisa digulirkan ketika rakyat bersatu dan tidak mempercayainya. Pramoedya, Seorang penulis maestro dari Blora dalam karyanya berjudul “Jejak Langkah” menceritakan seorang tokoh bernama Minke dalam melawan kekuasan Hindia yang telah berabad – abad menguasai negeri, perlawanannya tanpa senjata tapi melalui tulisan atau melalui dunia jurnalistik. Minke menekankan tiga hal dalam perlawanannya : meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan budaya feodalistik. “Didiklah rakyat dengan berorganisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan” begitu yang ditekankan Minke dalam perlawanannya. Lalu, apakah kita harus menjadi Minke? Tidak.! Kita hanya perlu mencotoh kegigihannya.

Para Dewan yang terhormat mungkin sedang lupa akan besarnya kekuasaan dan kekuatan rakyat. Pelan – pelan hak dicabut, bahkan hak untuk memilih pemimpinnya dan harus mempercayakan kepada wakil rakyatnya, sedangkan para wakil rakyatnya menunjukan banyak perilaku yang sama sekali tidakpatut untuk dicontoh. Korupsi besar – besaran menjadi hal yang paling mencoreng, lalu masyarakat masuh harus dipakasa menerima? Tidak.!

Pendidikan dan kesehatan belum juga tuntas, pengemis dan rumah – rumah kumuh masih berjejer di pinggiran kota, belum lagi tidnak kriminal yang semakin meresahkan. Kiranya hal itu yang dibutuhkan oleh masyarakat. Beri kami pendidikan politik yang bisa dan patut kami ajarkan pada anak – anak kami, etika pimpmin yang baik, ta ada lagi korupsi, KKN atau hal – hal memalukan lainya. Kami adalah rakyat yang memberikan kepercayaan kepada para Wakil rakyat, bagimana ketika kami sudah tidak mau percaya lagi apada anad Tuan? Perlawanan tidak harus dengan bersenjata dan berdarah – darah bukan?.

Saya memang bukan seorang ahli dalam urusan politik, bukan seorang pengamat politik yang paham kehidupan politik, saya hanya bagian dari masyarakat. Hanya ingin bicara mewakili nurani rakyat.

-Jember, 09 Oktober 2014-

Iriadini, Perempuan dari kota kecil bernama Jember.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun