Mohon tunggu...
Priska Puspita
Priska Puspita Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

perempuan dari kota kecil bernama "Jember"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penguasa, ini Beras Raskin atau Beras Sisa ?

8 Januari 2015   16:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:33 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini tentang beras bantuan atau Raskin yang dirasa kurang layak, kurang layak bagaimana? Kok nuduh sembarangan? Tidak, saya tidak menuduh sembarangan karena ini asumsi saya berdasarkan kenyataan yang ada, kalau memang asumsi saya tidak benar mari saling mencerahkan.

Sebenarnya saya bukan penerima Raskin tersebut, tetapi seorang janda tua beranak satu yang menerimanya. ‘mak’ begitulah saya memanggilnya, Mak Hamani ini atau Mak Ni  adalah buruh cuci atau bersih – bersih di rumah saya. Hal ini berawal ketika sore hari saya mendengar Mak Ni sedang mengeluh pada Ibuk. Begini yang Mak Ni katakan dengan berbahasa madura “Engak riah se e beggi ke oreng tak endik, se e soro kakan” (Maaf bila salah penulisannya, saya hanya menulis berdasar lafal yang saya dengar) yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia : “Seperti ini yang diberikan kepada orang tidak mampu, yang di suruh makan”. Awalnya saya tidak begitu memperhatikan, saya pikir hanya obrolan biasa dua ibu –ibuk yang sedang memasak di dapur.

Paginya, Ibu saya memasak nasi goreng dan meminta saya untuk mencicipinya dan Ibu yang bagi saya seorang koki handal saya rasa gagal dalam memasak pagi itu. Nasinya hancur, butirannya kecil – kecil, dari aromanya saja apek, di makan pun terasa aneh seperti tengik atau bau apek yang sangat kuat, sungguh in di luar kebiasaan ibu yang selalu berhasil dalam memasak. Mungkin ibu melihat saya yang sedang makan, sebelum saya protes karena maskannya beliau sudah mendahului saya berbicara dan mengatakan “ndak enak ya? Ya itu, rasanya beras raskin. Raskin memang untuk orang gak mampu tapi jangan sembarangan juga ngasihnya.”

Ternyata Mak Ni menjual beras Raskinnya pada Ibu untuk membeli beras yang lebih layak di makan,karena kasihan, Ibu membelinya dengan harga Rp 5500/kg. Raskin ini Mak ni tebus di kantor desa dengan harga Rp 9500 untuk 4,5 Kg Beras. Kembali pada Ibu saya yang protes, kemudian saya melihat beras Raskin ini den mencoba membandingkannya dengan beras lain yang saya beli di toko, berikut perbandingannnya :

Dari segi bentuk sangat terlihat butirannya tidak utuh, patah – patah  seperti tidak menyerupai beras lagi. Dari aroma apalagi, beras Raskin apek berbeda dengan bau khas berasa pada umumnya. Dari warnanya terlihat lebih pucat, kuning kotor agak kecoklatan dan jangan tanya soal rasa, yang cukup mewakilinya hanya kata “Aduh”. Aduh karena rasa apekknya sangat terasa dan sedikit tengik.

1420683159401676020
1420683159401676020

Saya bersyukur dengan adanya beras bantuan ini, tetapi yang bagi saya memprihatinkan adalah dari berasnya itu sendiri. Bolehlah beras dengan kualitas rendah, tetapi jangan beras dengan kualitas buruk yang sudah tidak menyerupai beras ini. Saya kira, negeri kita ini kan kaya sumber daya alamnya tetapi kenapa terkesan sisa – sisa yang diberikan? Orang miskin juga manusia. Kalau boleh memilih mereka tidak mau terlahir miskin. Saya yakin, mereka yang sangat tidak mampu akan sangat tertolong dan bersyukur dengan adanya beras Raskin ini, tetapi sebagai manusia yang punya nurani kok jadi saya yang kurang terima melihat berasnya seperti ini. Terkesan asal karena itu murah dan bantuan kepada orang miskin.

14206816351572733111
14206816351572733111

Yaaa... semoga saja, bantuan raskin selanjutnya tidak separah ini. Coba cek di tempat pembaca, apakah beras bantuan Raskinnya juga sama seperti di desa saya ini? Di mana desa saya ini? Nantilah, kita cari tau dulu kebenarannya, tulisan ini hanya perwakilan dari Mak Ni yang meminta saya untuk melaporkan keluhannya. Hehee.... saya mau melapor kemana? Saya bisanya menulis, jadi saya tulis saja curhatannya.

Begini kata Mak Ni “Jek ra sarah mun magi ke reng tak endik, padeh manussah

(Jangan terlalu parah memberikan pada orang tidak mampu, sama – sama manusia)

08 Januari 2015

-Iriadini, Perempuan dari kota kecil bernama Jember-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun